Dalam beberapa kasus ekstrem, mereka bahkan bisa ngalamin kecemasan berlebih, depresi, gangguan makan dan tidur, karena gak bisa capai apa yang mereka anggap sempurna. Rasanya gak enak banget, kan?

Jadi, apakah sifat perfeksionis itu menguntungkan atau merugikan?

Jawabannya tuh sebenarnya tergantung gimana sifat ini dijalanin dan dikendaliin sama orang itu sendiri. Jika perfeksionis bisa mengelola kecemasan dan tekanan, serta belajar untuk menerima ketidaksempurnaan, maka sifat ini bisa menjadi modal yang kuat untuk sukses. Namun, jika sifat perfeksionis menghambat kebahagiaan, kesejahteraan, dan hubungan sosial, maka hal itu yang bisa menjadi kerugian.

Terus, gimana cara ngatasinnya?

Yang paling penting adalah belajar menerima bahwa kesempurnaan itu gak mungkin ada, cuma ilusi semata aja. Hidup itu nggak selalu tentang hasil akhir yang sempurna, tapi proses yang kamu jalani. Cobalah untuk santai dan berikan dirimu ruang untuk berbuat kesalahan. Gak usah terlalu keras sama diri sendiri, yuk!

Ingat juga, hidup itu tentang merayakan keberhasilan dan belajar dari kegagalan. Jangan terlalu serius banget dan nikmati aja hidup ini dengan segala kelebihan dan kekurangan yang kamu punya.

Jadi diri sendiri dan tetap berusaha jadi yang terbaik buat diri kamu sendiri, bukan untuk orang lain. Lakuin aja sesuai kemampuanmu, tanpa perlu memaksakan diri untuk mencapai kesempurnaan yang cuma mitos doang. Karena menjadi sempurna dimata manusia gak akan pernah ada habisnya!

Jadi, bagi kamu si perfeksionis, relax aja. Hidup ini gak selalu harus sempurna, tapi yang penting kita menikmatinya dan belajar dari setiap pengalaman yang kita dapat. Jangan sampai sifat perfeksionis ini bikin kita terjebak dalam tekanan dan stres yang gak perlu.

Tolong nikmati hidupmu, ya!

Ananditha Nursyifa
Editor