Selain itu, ada juga tekanan dari lingkungan. Misalnya, kamu takut dicap “beda sendiri” atau “nggak asik” kalau nggak ikut tren tertentu. Lingkungan kita secara nggak sadar bikin standar yang kadang melelahkan untuk diikuti.

Tanda-Tanda Haus Validasi dalam Hubungan Sosial

Kalau kamu penasaran apakah kamu sedang berada di fase “haus validasi,” berikut tanda-tandanya:

  • Selalu Mengunggah Segalanya di Media Sosial: Apa pun yang kamu lakukan, rasanya kurang afdol kalau nggak dipamerkan. Lagi makan, liburan, bahkan saat olahraga, semua harus diunggah.
  • Overthinking pada Komentar Orang: Kalau ada satu komentar negatif, kamu langsung kepikiran semalaman. Padahal, seribu komentar positif sudah ada.
  • Mengubah Diri Demi Orang Lain: Kamu sering merasa harus menyesuaikan diri dengan ekspektasi orang, bahkan sampai mengorbankan apa yang sebenarnya kamu suka.
  • Takut Sendiri: Rasanya nggak nyaman kalau harus duduk sendiri di kafe atau pergi tanpa teman, karena takut dianggap aneh.

Kalau tanda-tanda haus validasi ini ada di kamu, jangan khawatir. Kita akan bahas cara mengatasinya nanti!

Apakah Haus Validasi Merupakan Fenomena Modern atau Kebutuhan Psikologis Dasar Manusia?

Di satu sisi, haus validasi memang fenomena modern yang diperparah oleh teknologi. Namun, di sisi lain, ini juga bagian dari kebutuhan dasar manusia untuk merasa diterima.

Menurut Abraham Maslow dalam teori hierarki kebutuhannya, kebutuhan akan pengakuan berada di level yang cukup tinggi setelah kebutuhan fisiologis dan keamanan.

Namun, zaman dulu, validasi lebih sering diperoleh melalui interaksi langsung, seperti pujian dari keluarga atau tetangga.

Sekarang, kita bergantung pada layar kaca dan orang asing yang belum tentu peduli. Jadi, meski kebutuhan ini alami, cara kita memenuhinya yang perlu dievaluasi.

Psikologi memandang bahwa kebutuhan validasi adalah bagian dari self-esteem (harga diri). Ketika kita merasa dihargai, kita cenderung lebih percaya diri dan bahagia. Namun, masalah muncul saat validasi eksternal menjadi satu-satunya sumber kebahagiaan.

Ananditha Nursyifa
Editor