Perlu diingat, kata Ledia, kejadian ini bukan dari anak-anak yang secara “sukarela” melepas jilbab, justru bermula saat BPIP membuat kebijakan yang menabrak konstitusi dan mencederai nilai-nilai Pancasila.

“Kronologisnya, sejak lama hijab atau jilbab bukan hal terlarang dipakai oleh pasukan paskibraka. Bahkan Peraturan Presiden no 51 Tahun 22 yang dikuatkan dengan Peraturan BPIP RI No 3 Tahun 2022 menguatkan hal ini dengan memuat poin 4 dalam kelengkapan seragam paskibraka yang berbunyi ciput warna hitam (untuk putri berhijab) tapi kemudian terbitlah keputusan Kepala BPIP (yang notabene kedudukannya di bawah Peraturan Presiden) nomor 35 Tahun 2024 tentang standar pakaian, atribut dan tampang paskibraka yang meniadakan poin yang mengakomodir pasukan putri yang berhijab. Apakah ini bukan sebuah kejadian yang disengaja?” protes Ledia.

Lanjut dia, saat penerimaan pasukan paskibraka diketahui bahwa setiap peserta diminta menandatangi surat pernyataan bermaterai kesediaan bila diminta melepas hijabnya saat bertugas, hingga tak salah bila tindakan ini nampak sebagai sebuah “pemaksaan” kepada seluruh peserta berhijab.

Tambahan lagi, lanjut Ledia, alasan Kepala BPIP dalam konperensi pers yang menyatakan bahwa lepasnya jilbabnya ini “hanya dilakukan” pada saat upacara pengukuhan paskibraka dan pengibaran bendera merah putih pada upacara kenegaraan menunjukkan betapa pemerintah tidak memiliki penghormatan pada nilai-nilai agama.

“Apakah Bapak Kepala BPIP mengira jilbab itu sekedar fashion penutup kepala? Kita harus sama-sama ingat, jilbab itu tuntanan agama, sebuah ibadah kepada Allah Swt. Menyebutkan lepas jilbab hanya saat upacara pengukuhan sungguh menunjukkan kalau pemerintah tidak memiliki sensitivitas beragama, mencederai konstitusi yang menjamin setiap warga negara menjalankan tuntunan agamanya dan lupa pada esensi nilai-nilai Pancasila yang menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa pada sila pertama,” tegas Ledia lagi