Dulu, budaya belanja di kalangan anak muda erat dengan FOMO: takut ketinggalan tren, takut nggak update, takut nggak dianggap. Tapi sekarang, filter on my own jadi mantra baru. Alih-alih ngikutin apa kata algoritma, Gen Z justru pengen punya kontrol atas apa yang mereka konsumsi.
Perubahan ini bukan tanpa alasan. Paparan media sosial yang terus-menerus bikin lelah secara mental, bahkan menurut laporan Common Sense Media (2025), 68% Gen Z di Asia Tenggara mengaku merasa burnout akibat content overload. Jadi wajar kalau mindful consumption jadi cara untuk menyeimbangkan diri: lebih sadar, lebih intentional, dan nggak asal klik “add to cart”.
Dampaknya dalam Keseharian
Fenomena ini bisa dilihat dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari:
- Rutinitas sehat: banyak Gen Z lebih memilih tidur cukup ketimbang begadang maraton series demi kesehatan mental.
- Hubungan sosial: cenderung kembali ke lingkaran pertemanan yang familiar dan suportif, daripada terus memaksakan diri untuk networking di lingkaran baru.
- Konsumsi hiburan: re-watch film atau series favorit saat stres, karena familiaritas memberi rasa aman.
- Gaya fashion: tren slow fashion dan thrifting makin populer karena dianggap lebih mindful dan ramah lingkungan.
Semua itu berhubungan dengan status quo bias—kecenderungan manusia untuk memilih hal yang familiar karena terasa aman. Bedanya, Gen Z melakukannya dengan sadar, bukan pasif. Mereka tahu alasan di balik pilihannya, dan itu yang membuat mindful consumption berbeda dengan sekadar kebiasaan lama.
Saatnya Mindful dalam Hidup dan Keuangan!
Mindful consumption dan mindful investing bukan tren singkat. Ini adalah perubahan cara pandang tentang bagaimana kita hidup, belanja, dan mengelola uang. Gen Z membuktikan bahwa “bijak memilih” bisa jadi bentuk self-care, bukan sekadar strategi hemat.
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan