“Jika masyarakat terlalu mudah melakukan cancel culture, maka ruang untuk memahami perspektif yang berbeda akan semakin sempit. Opini yang bertentangan dengan keyakinan mayoritas bisa langsung ditolak tanpa adanya dialog atau upaya untuk mencari titik tengah,” jelasnya.
Dalam kasus Abidzar, kritik terhadapnya bisa menjadi pelajaran bagi aktor-aktor lain dalam memahami pentingnya menghormati sumber asli dan ekspektasi penonton.
Namun, perlu juga ada keseimbangan dalam menilai sebuah kesalahan—apakah masih bisa diperbaiki atau harus berujung pada penghapusan total dari industri.
Kasus Abidzar Al Ghifari menjadi cerminan bagaimana cancel culture bisa memberikan dampak besar terhadap industri hiburan. Di satu sisi, fenomena ini mengingatkan para aktor dan pekerja seni untuk lebih berhati-hati dalam menyampaikan pernyataan.
Namun, di sisi lain, terlalu cepat membatalkan atau memboikot seseorang juga dapat membatasi ruang kreativitas dan diskusi publik.
Sebagai penonton, kita memiliki kekuatan untuk menentukan keberlanjutan suatu karya. Namun, sebelum terburu-buru melakukan boikot, ada baiknya mempertimbangkan sejauh mana kesalahan yang dibuat dan apakah ada ruang bagi sang aktor untuk belajar dan memperbaiki diri.
Dunia hiburan akan terus berkembang, dan bagaimana kita menyikapinya akan menentukan arah masa depan industri film Indonesia.
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan