“RUU final, kemudian disahkan undang-undang pada hari ini. Ini sebuah cacat prosedural unprosedural proses didalam pembuatan regulasi. Yang ini menunjukan sebuah catatan formil hukun didalam pembuatan undang-undang,” bebernya.

Kemudian produk politik undang-undang kesehatan yang sejak proses penyusunan pembahasan sampai pengesahan dinilai IDI unprosedural proses.

“Sudah merusak nilai nilai demokrasi dan konstitusi negara ini kepentingan partisipasi dan aspirasi belum terakomodasi dengan baik kemudian sebuah rencana undang-undang sampai dengan menjadi undang-undang dengan metode omni bus law yang mencabut 9 undang-undang lama, yang cukup diselesaikan hanya dalam waktu hitungan 6 bulan sebuah proses yang luar biasa apakah ini sudah mencerminkan kepentingan daripada kesehatan rakyat Indonesia? Tentunya diluar nalar,” tanyanya.

Mohammad mengakui memang metode omni bus law itu sah dalam pembuatan undang-undang tetapi pihak IDI melihat ketergesa-gesaan, keterburu-buruan menjadi sebuah cerminan bahwa regulasi ini dipercepat.

Apakah kemudian ada konsekuensi karena kepentingan-kepentingan yang lain, kelompok profesi ini mengaku tidak faham.

“Benarkah undang-undang kesehatan ini akan bisa mencerminkan, mewujudkan cita-cita dalam upaya transformasi kesehatan atau kah transformasi kesehatan hanya sebuah janji manis didalam atau dilembagakan dalam sebuah regulasi lembaga kesehatan tentunya kita bisa melihat, baca jika kita sudah mendapatkan undang-undang yang disahkan pada hari,” ungkapnya.

Kearifan lokal yang menjadi dasar didalam membuat regulasi kesehatan sudah tercermin didalam undang-undang kesehatan tersebut butuh pembuktian.