Sementara itu, Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Gunungkidul, Wibawanti Wulandari, mengatakan bahwa tradisi ini dilakukan warga sebagai bentuk gerakan warga untuk mengganti rugi ketika ada ternak yang mati atau sakit kemudian dikonsumsi bersama.
Dalam tradisi ini, kadang dagingnya juga dijual murah dan uangnya diberikan untuk membantu pemilik sapi.
“Mungkin karena faktor ekonomi, jadi ketika ada sapi mati dibiarkan atau dikubur itu sangat disayangkan. Padahal, kalau tradisi (brandu atau porak) ini diakhiri, kasus ini tak akan berulang setiap tahun karena penyebab utamanya warga mengonsumsi daging ternak yang terpapar,” sambung Wibawanti.
Dalam penanganan kasus antraks ini, Kementan sudah ngirim logistik, obat-obatan, antibiotik, vitamin, sama cairan desinfektan sebagai perangkat utama ke dinas setempat.
Tinggalkan Balasan