Kebijakan ini merupakan bagian dari Merdeka Belajar Episode Ke-26 Tentang Transformasi Standar Nasional dan Akreditasi Pendidikan Tinggi.

Nadiem mengatakan, kebijakan lulus tanpa skripsi ini bertujuan untuk memberikan kebebasan dan otonomi kepada perguruan tinggi untuk menentukan tugas akhir yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik program studinya.

“Skripsi bukanlah satu-satunya cara untuk mengukur kompetensi mahasiswa. Masih banyak metode lain yang bisa digunakan,” kata Nadiem dalam keterangannya.

Nadiem mengatakan, perguruan tinggi tetap bisa menetapkan skripsi sebagai syarat kelulusan jika memang dirasa diperlukan.

Namun, perguruan tinggi juga bisa menetapkan tugas akhir lain yang relevan dengan program studinya, seperti proyek, karya tulis ilmiah, atau pengabdian masyarakat.

Kebijakan lulus tanpa skripsi ini disambut baik oleh berbagai pihak, termasuk mahasiswa. Mereka menilai kebijakan ini akan memberikan keleluasaan kepada mahasiswa untuk memilih tugas akhir yang sesuai dengan minat dan kemampuannya.

Pemaparan terkait perubahan standar kompetensi lulusan

“Skripsi itu cukup berat dan menyita waktu. Dengan adanya kebijakan ini, mahasiswa bisa lebih fokus pada hal-hal yang memang mereka sukai,” kata seorang mahasiswa di Jakarta.

Meskipun demikian, ada juga pihak yang mengkritik kebijakan ini. Mereka menilai skripsi merupakan salah satu cara untuk mengukur kemampuan mahasiswa dalam melakukan penelitian.

“Skripsi itu penting untuk melatih mahasiswa dalam berpikir kritis dan menyelesaikan masalah,” kata seorang dosen di Bandung.

Ananditha Nursyifa
Editor