Misalnya, beberapa sekolah di Jakarta dan Bandung mulai menerapkan pendidikan kesetaraan gender dan workshop kesehatan mental untuk siswa SMP dan SMA. Langkah seperti ini membantu mengurangi stigma dan meningkatkan empati antar siswa.
Dysphoria pada remaja bukanlah tanda kelemahan, melainkan sinyal bahwa mereka sedang berjuang memahami diri. Sebagai orang tua, pendidik, atau teman, kita bisa mulai dengan langkah sederhana: mendengarkan tanpa menghakimi. Kadang, dukungan emosional kecil bisa berarti besar bagi mereka yang sedang berjuang menemukan siapa dirinya.
Di era digital ini, penting bagi kita untuk menciptakan ruang aman — baik offline maupun online — di mana remaja bisa belajar mencintai diri apa adanya. Karena setiap remaja berhak untuk merasa nyaman menjadi dirinya sendiri.




Tinggalkan Balasan