Atik menambahkan, petani teh jangan minder dengan kondisi industri teh nasional saat ini. Menurutnya, dengan kepemilikan lahan yang tidak terlalu luas, sekitar 0,5 hingga 2 ha per orang, petani bisa berhimpun ke dalam paguyuban.

“Apalagi sekarang harga pucuk teh basah segitu-gitu saja, sekitar Rp2.000 hingga Rp2.800 per kilogram. Perlu ada integrasi antara kebun, pengolahan, dan pemasaran agar petani teh semakin bersemangat,” imbuh dia.

Atik mengemukakan, dari tahun ke tahun, surplus ekspor impor teh nasional terus mengalami penurunan. Pada 2010, surplus ekspor impor teh Indonesia berada di kisaran USD16 juta, dengan angka impor hanya 5 ton. Sedangkan pada 2021, surplus ekspor impor teh nasional hanya tinggal USD6 juta.

Veronika Ratri, dari Business Watch Indonesia (BWI) menjelaskan, kualitas produk petani sekarang sudah bagus. BWI ingin mendorong promosi produk petani teh rakyat agar semakin diminati pasar.

“Kita butuh dukungan dari semua pihak untuk bantu promosikan produk petani. Semoga penghasilan petani bertambah, semangat petani melestarikan perkebunannya semakin kuat,” ungkap Veronika.

Sementara itu, Ketua Paguyuban Tani Lestari, Waras Paliant mengatakan, di sisi lain, pengolahan mandiri untuk memotong rantai pasok belum banyak dilakukan oleh kelompok dan koperasi tani.

Alasannya beragam, mulai dari akses modal susah, manajemen kurang, hingga dependensi pada bantuan pemerintah dan lembaga pendamping.

“Untuk bertahan di tengah himpitan permasalahan tersebut perwakilan para petani teh dari 14 kabupaten dari Jawa Barat dan Jawa Tengah berinisiatif melakukan gerakan bersama untuk membentuk Paguyuban Tani Lestari pada tahun 2016,” ujar Waras.