Ada stigma bahwa orang yang belum bisa memaafkan berarti pendendam. Padahal, kenyataannya berbeda. Belum bisa memaafkan adalah keberanian untuk jujur pada diri sendiri: bahwa kamu pernah disakiti, bahwa kamu butuh waktu, dan bahwa kamu memilih untuk tidak membohongi hatimu sendiri.
Psikoterapis Brené Brown pernah mengatakan, “Healing is not linear.” Artinya, penyembuhan itu bukan garis lurus. Ada kalanya kita merasa sudah lebih baik, lalu tiba-tiba sakit itu muncul lagi. Dan itu normal.
Proses yang Perlu Dihargai
Setiap orang punya kecepatan masing-masing dalam memaafkan. Ada yang butuh hitungan hari, ada yang butuh bertahun-tahun. Yang penting, selama proses itu, kita belajar untuk:
- Mengakui luka – dengan menerima bahwa kita pernah disakiti.
- Memberi waktu pada diri – tanpa memaksa diri untuk cepat pulih.
- Membangun rasa aman – lewat dukungan sosial, terapi, atau aktivitas yang menenangkan.
- Menjaga kesehatan mental – supaya luka itu tidak berkembang menjadi trauma yang lebih dalam.
Dengan begitu, kalau suatu saat maaf itu datang, ia hadir sebagai pilihan tulus, bukan paksaan. Dan itu jauh lebih berharga.
Kala Nanti Maaf Itu Datang…
Bayangkan suatu hari kamu bangun pagi dan sadar bahwa amarahmu sudah tidak sekuat dulu. Saat itulah mungkin maaf mulai mengetuk pintu hatimu. Bukan karena orang lain memaksa, bukan karena lingkungan menuntut, tapi karena kamu sudah cukup kuat untuk berdamai dengan luka. Dan kalaupun hari itu belum tiba, tak masalah. Yang penting, kamu sedang melangkah ke arah yang benar.
Memberi Waktu untuk Diri Sendiri
Kalau kamu sedang berada di fase “belum bisa memaafkan,” ingatlah: itu bukan kelemahan, apalagi kejahatan. Itu adalah bagian dari prosesmu menyembuhkan luka. Jangan biarkan orang lain membuatmu merasa bersalah hanya karena belum bisa memaafkan. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana kamu merawat dirimu sendiri.
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan