Kasus Anthraks Gunungkidul: Tradisi Masyarakat Diduga Jadi Faktor Pemicu

Anthraks

YOGYAKARTA, Prolite – Ternyata tradisi ini diduga jadi penyebab kasus anthraks di Gunungkidul yang baru-baru ini bikin heboh semua orang. Yuk simak penjelasannya!

Bicarain tentang penyakit anthraks, masyarakat biasanya tau kalo itu lebih sering menyerang hewan ternak kayak sapi. Tapi kenyataannya, manusia juga bisa kena, lho. Seperti yang terjadi baru-baru ini di Gunungkidul, Yogyakarta, hampir seluruh warganya tertular penyakit ini akibat mengonsumsi daging hewan ternak tersebut.

Freepik

Ternyata, wabah ini bukan yang pertama kali terjadi di sana. Menurut Kompas TV (7/7/2023), kasus wabah ini pertama kali muncul di Kecamatan Karangmojo pada bulan Mei 2019. Lalu, kasusnya juga menyebar ke Kecamatan lain, seperti Pojong, pada bulan Desember 2019 dan Januari 2020.

Pada tahun 2022 kemarin, kasus anthraks juga terjadi di Kecamatan Gedang Sari. Dan yang terbaru, pada bulan Mei-Juni 2023 ini, kasusnya muncul di Dusun Jati, Candirejo, Kecamatan Semanu, Kabupaten Gunungkidul. Sebanyak satu orang meninggal dunia positif antraks dan 87 orang lain suspect.

Tradisi Mbradu Menjadi Pemicu Wabah Anthraks

Nuryani Zaenuddin – rmolsumut

Menurut keterangan yang diberikan oleh Direktur Kesehatan Hewan (Dirkeswan) Kementrian Pertanian, Nuryani Zaenuddin, ada salah satu tradisi di salah satu wilayah Gunungkidul yang diduga menjadi faktor yang meningkatkan resiko terjadinya anthraks.

“Mereka mengkonsumsi dan membagi hewan yang sudah mati atau hewan yang sudah kelihatan sakit, kemudian mereka sembelih lalu membagikannya secara gratis kepada tetangga-tetangganya, nah itu yang disebut sebagai mbradu atau purak.” jelas Nutyani.

Wibawanti Wulandari

Sementara itu, Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Gunungkidul, Wibawanti Wulandari, mengatakan bahwa tradisi ini dilakukan warga sebagai bentuk gerakan warga untuk mengganti rugi ketika ada ternak yang mati atau sakit kemudian dikonsumsi bersama.

Dalam tradisi ini, kadang dagingnya juga dijual murah dan uangnya diberikan untuk membantu pemilik sapi.

“Mungkin karena faktor ekonomi, jadi ketika ada sapi mati dibiarkan atau dikubur itu sangat disayangkan. Padahal, kalau tradisi (brandu atau porak) ini diakhiri, kasus ini tak akan berulang setiap tahun karena penyebab utamanya warga mengonsumsi daging ternak yang terpapar,” sambung Wibawanti.

Dalam penanganan kasus antraks ini, Kementan sudah ngirim logistik, obat-obatan, antibiotik, vitamin, sama cairan desinfektan sebagai perangkat utama ke dinas setempat.

Nuryani juga mengatakan bahwa mereka juga sudah memberikan suntik antibiotik ke semua hewan yang rentan terkena di daerah yang terancam. Mereka juga melakukan dekontaminasi lokasi penyembelihan dan penguburan ternak pake desinfektan.