Hyperempathy Syndrome: Ketika Merasakan Emosi Orang Lain Terlalu Dalam

Hyperempathy Syndrome

Prolite – Pernah Ngerasa Terlalu Ikut Merasakan Perasaan Orang Lain? Bisa Jadi Kamu Punya Hyperempathy Syndrome!

Pernah nggak sih kamu merasa terlalu terbawa emosi ketika melihat teman curhat atau menonton film sedih? Bahkan, sampai kepikiran berjam-jam atau berhari-hari. Kalau iya, bisa jadi kamu mengalami Hyperempathy Syndrome, kondisi di mana seseorang terlalu peka terhadap emosi orang lain sampai mempengaruhi kesejahteraan dirinya sendiri.

Empati memang hal yang baik, tapi kalau berlebihan, justru bisa bikin seseorang kelelahan emosional. Nah, yuk kenali lebih jauh tentang Hyperempathy Syndrome dan bagaimana cara mengelolanya biar nggak merugikan diri sendiri!

Apa Itu Hyperempathy Syndrome?

Secara sederhana, Hyperempathy Syndrome adalah kondisi di mana seseorang memiliki tingkat empati yang sangat tinggi hingga sulit membedakan antara emosi diri sendiri dan emosi orang lain. Akibatnya, mereka mudah merasa sedih, stres, atau bahkan sakit fisik saat melihat atau mendengar penderitaan orang lain.

Orang dengan kondisi ini cenderung menyerap emosi dari sekelilingnya seperti spons. Bukan hanya dari orang-orang terdekat, tetapi juga dari berita, film, atau bahkan cerita yang mereka baca. Hal ini bisa membuat mereka merasa lelah secara emosional karena terus-menerus terbebani oleh perasaan orang lain.

Ciri-Ciri Seseorang yang Mengalami Hyperempathy Syndrome

Bagaimana cara mengetahui apakah kamu mengalami Hyperempathy Syndrome? Berikut beberapa tanda yang bisa dikenali:

  1. Mudah Terbawa Perasaan
    • Ketika melihat seseorang sedih, kamu langsung ikut merasa sedih seperti mengalami hal yang sama.
  2. Sering Overthinking Setelah Mendengar Cerita Sedih
    • Bahkan setelah teman curhat, kamu masih kepikiran tentang masalah mereka berjam-jam atau berhari-hari.
  3. Merasa Bertanggung Jawab Atas Emosi Orang Lain
    • Kamu merasa harus selalu membantu atau menyelesaikan masalah orang lain agar mereka tidak sedih.
  4. Sulit Menetapkan Batasan Emosional
    • Kamu kesulitan memisahkan emosi orang lain dengan emosi diri sendiri.
  5. Mudah Kelelahan Secara Emosional
    • Karena sering menyerap emosi orang lain, kamu jadi cepat merasa lelah, stres, atau bahkan cemas berlebihan.

Faktor Penyebab Hyperempathy Syndrome

Ada beberapa faktor yang bisa menyebabkan seseorang mengalami kondisi ini, antara lain:

  1. Pengalaman Trauma Masa Lalu
    • Orang yang pernah mengalami trauma, seperti kekerasan emosional atau pengabaian, cenderung mengembangkan empati berlebihan sebagai bentuk mekanisme bertahan.
  2. Pola Asuh yang Mendorong Sensitivitas Berlebih
    • Jika sejak kecil seseorang diajarkan untuk selalu mengutamakan perasaan orang lain tanpa memikirkan dirinya sendiri, maka ia bisa tumbuh menjadi individu dengan empati berlebihan.
  3. Neurobiologi Otak
    • Beberapa penelitian menunjukkan bahwa otak orang dengan Hyperempathy Syndrome memiliki aktivitas yang lebih tinggi di bagian yang mengatur empati dan emosi.

Perbedaan Antara Empati Sehat dan Hyperempathy

Meski terdengar mirip, empati sehat dan Hyperempathy Syndrome sebenarnya sangat berbeda. Berikut perbedaannya:

Empati Sehat Hyperempathy Syndrome
Bisa memahami emosi orang lain tanpa harus ikut terbebani. Terlalu menyerap emosi orang lain hingga mempengaruhi kesejahteraan diri sendiri.
Mampu menetapkan batasan emosional yang jelas. Sulit memisahkan antara emosi sendiri dan emosi orang lain.
Tidak merasa bertanggung jawab atas kebahagiaan atau kesedihan orang lain. Merasa harus selalu membantu dan memikul beban emosi orang lain.
Bisa mengontrol emosi dan tetap berpikir rasional. Cenderung mudah stres, cemas, atau overthinking.

Dampak Hyperempathy Syndrome dalam Kehidupan Sosial dan Kesehatan Mental

 

Jika tidak dikelola dengan baik, kondisi ini bisa berdampak negatif dalam berbagai aspek kehidupan, seperti:

  • Dalam hubungan sosial: Bisa merasa kewalahan dalam pertemanan atau hubungan karena terlalu banyak menyerap emosi orang lain.
  • Dalam kesehatan mental: Rentan mengalami stres, kecemasan, bahkan depresi karena terlalu sering memikirkan perasaan orang lain.
  • Dalam kehidupan sehari-hari: Bisa menjadi mudah lelah dan sulit menikmati hidup karena selalu terbebani oleh perasaan orang lain.

Cara Mengelola Hyperempathy Syndrome Agar Tidak Merugikan Diri Sendiri

Berita baiknya, Hyperempathy Syndrome bukanlah sesuatu yang tidak bisa dikendalikan. Berikut beberapa teknik yang bisa dilakukan untuk mengelola kondisi ini:

  1. Terapkan Batasan Emosional
    • Latih diri untuk membedakan antara emosi sendiri dan emosi orang lain. Ingat, kamu tidak harus selalu ikut merasakan apa yang mereka rasakan.
  2. Belajar Mindfulness dan Teknik Relaksasi
    • Meditasi dan pernapasan dalam bisa membantu menenangkan pikiran dan menjaga keseimbangan emosional.
  3. Kurangi Paparan Berita atau Cerita yang Menguras Emosi
    • Batasi konsumsi berita yang terlalu emosional agar tidak terlalu menyerap perasaan negatif dari luar.
  4. Jangan Takut untuk Berkata ‘Tidak’
    • Kamu tidak harus selalu menjadi tempat curhat atau solusi bagi masalah orang lain.
  5. Fokus Pada Diri Sendiri dan Self-Care
    • Lakukan aktivitas yang menyenangkan dan menenangkan diri, seperti membaca, berolahraga, atau melakukan hobi.

Empati itu baik, tapi kalau berlebihan malah bisa bikin kita kelelahan secara emosional. Hyperempathy Syndrome bisa menjadi tantangan, tapi dengan memahami diri sendiri dan menerapkan batasan yang sehat, kita tetap bisa peduli pada orang lain tanpa mengorbankan kebahagiaan kita sendiri.

Kalau kamu merasa punya tanda-tanda Hyperempathy Syndrome, jangan ragu untuk mulai menerapkan teknik coping yang sudah disebutkan ya! Yuk, jaga kesehatan mental kita bareng-bareng! 💖




Healing Trauma : Langkah Kecil untuk Merangkul Kembali Kebahagiaanmu!

Healing Trauma

Prolite – Healing Trauma: Menyembuhkan Luka Batin dengan Cara yang Lebih Tenang dan Penuh Cinta

Pernah nggak, kamu ngerasa ada sesuatu yang berat di hati, tapi kamu nggak yakin apa? Mungkin itu bukan cuma perasaan biasa, tapi trauma yang diam-diam masih kamu bawa sampai sekarang.

Trauma bisa datang dari berbagai pengalaman hidup yang bikin kita terluka, baik secara fisik maupun emosional. Meski kelihatannya udah berlalu, dampaknya bisa terus terasa dan mempengaruhi hidup kita sehari-hari.

Tapi, kabar baiknya adalah trauma bisa disembuhkan. Healing mungkin nggak mudah, tapi bukan berarti nggak mungkin.

Yuk, kita bahas langkah-langkah awal untuk healing trauma dengan cara yang lebih ringan dan penuh cinta pada diri sendiri!

Langkah Awal untuk Healing Trauma : Mengakui dan Memahami Luka Batin

Ilustrasi trauma – Freepik

1. Mengakui Keberadaan Trauma sebagai Langkah Pertama dalam Penyembuhan

Langkah pertama yang harus kamu ambil untuk healing trauma adalah dengan mengakui bahwa kamu punya luka batin.

Terkadang, kita cenderung menutupi atau bahkan mengabaikan trauma yang kita alami karena merasa nggak kuat untuk menghadapinya.

Padahal, mengakui bahwa trauma itu ada adalah langkah awal yang sangat penting. Ini bukan tanda kelemahan, justru ini adalah bentuk kekuatan—keberanian untuk jujur pada diri sendiri dan mulai proses penyembuhan.

2. Memahami Jenis Trauma yang Dialami dan Dampaknya pada Kehidupan Sehari-hari

Setelah kamu berani mengakui keberadaan trauma, langkah berikutnya adalah mencoba memahami trauma itu sendiri. Trauma itu bisa macam-macam, mulai dari trauma fisik, emosional, hingga psikologis.

Penting banget buat kamu untuk menyadari jenis trauma yang kamu alami dan bagaimana hal itu mempengaruhi kehidupanmu sehari-hari.

Misalnya, trauma emosional bisa bikin kamu jadi lebih cemas, sulit percaya sama orang lain, atau bahkan merasa selalu cemas tanpa alasan yang jelas.

Dengan memahami jenis trauma dan dampaknya, kamu jadi lebih sadar dan bisa mulai mencari cara untuk menyembuhkannya.

Mendengarkan Tubuh: Bagaimana Trauma Tersimpan dalam Tubuh dan Cara Menyembuhkannya

Ilustrasi healing trauma – Freepik

1. Bagaimana Trauma Bisa Memengaruhi Tubuh Secara Fisik

Kamu mungkin nggak sadar, tapi trauma nggak cuma mempengaruhi pikiranmu, tapi juga tubuhmu.

Saat kamu mengalami trauma, tubuhmu bisa bereaksi dengan berbagai cara—mungkin kamu sering ngerasa tegang, sakit kepala, atau bahkan perut mual tanpa alasan jelas.

Ini karena tubuh kita juga menyimpan trauma yang kita alami, terutama kalau trauma itu nggak pernah diatasi dengan baik.

Tubuh kita ibaratnya jadi “tempat penyimpanan” untuk segala emosi dan rasa sakit yang belum terselesaikan.

2. Teknik-teknik Somatik untuk Melepaskan Trauma yang Tersimpan di Tubuh

Nah, kalau trauma bisa tersimpan di tubuh, gimana caranya buat melepaskannya? Salah satu cara yang efektif adalah dengan menggunakan teknik somatik, seperti yoga dan mindfulness.

Yoga nggak cuma buat bikin tubuh lebih fleksibel, tapi juga membantu kita terhubung dengan tubuh dan emosi kita. Setiap gerakan yoga bisa membantu melepaskan ketegangan yang tersimpan di tubuh.

Selain itu, mindfulness atau kesadaran penuh juga penting untuk proses healing. Dengan mindfulness, kamu belajar untuk fokus pada saat ini, merasakan apa yang terjadi di tubuh tanpa menghakimi, dan menerima dirimu apa adanya.

Beberapa teknik somatik yang bisa kamu coba untuk healing trauma di antaranya:

  • Deep Breathing (Pernapasan Dalam)
    Pernapasan dalam bisa membantu kamu merasa lebih tenang dan rileks. Ini juga membantu tubuh untuk melepaskan ketegangan yang mungkin tersimpan akibat trauma.
  • Progressive Muscle Relaxation
    Teknik ini melibatkan mengencangkan dan merilekskan otot-otot di tubuh secara bergantian. Ini membantu kamu untuk lebih sadar akan ketegangan di tubuh dan secara perlahan melepaskannya.

By – Rizkina Diana

Healing trauma memang butuh waktu dan kesabaran, tapi setiap langkah kecil yang kamu ambil untuk mengenali, memahami, dan menyembuhkan luka batin itu sangat berarti.

Ingat, healing bukan tentang melupakan apa yang pernah terjadi, tapi tentang bagaimana kita bisa hidup dengan damai dan penuh kebahagiaan meski pernah terluka.

Jangan ragu buat mencari bantuan kalau kamu merasa butuh, entah itu dari teman, keluarga, atau bahkan profesional.

Kamu berhak untuk hidup dengan tenang dan bebas dari beban trauma yang selama ini mungkin masih kamu bawa.

Yuk, mulai perjalanan healing-mu sekarang! Peluk dirimu sendiri, cintai setiap prosesnya, dan ingat, kamu nggak sendirian dalam perjalanan ini. Selamat memulai langkah baru menuju kebahagiaan!




5 Sebab Kamu Bisa Overthinking, Simak Penjelasannya!

Overthinking

Prolite – Overthinking menjadi salah satu permasalahan kesehatan mental yang ada pada generasi muda saat ini. Lalu apa yang menyebabkan seseorang itu bisa overthinking?

Pertama-tama kita harus tahu dulu nih, apa sih overthinking itu? Sederhananya, overthinking merupakan sebuah perilaku atau kebiasaan dimana seseorang memikirkan sesuatu secara berlebihan seolah-olah tak ada ujungnya.

Menurut ilmu psikologi, pemikiran ini bisa mengarah ke arah yang negative dan hal tersebut dapat menimbulkan rasa kekhawatiran berlebih hingga menyebabkan stress.

Selain itu juga, menurut Dictionary of Psychology dari American Psychological Association, overthinking atau bahasa klinisnya disebut rumination merupakan pemikiran obsesif yang melibatkan pemikiran berlebih dan berulang yang mengganggu bentuk aktivitas mental lainnya.

Jika kamu sudah paham mengenai pengertian dari overthinking, mari kita simak penjelasan berikut mengenai penyebab kenapa kamu bisa overthinking:

  1. Self-Love yang Rendah

Ketika self-love kamu rendah maka kamu akan mudah mengalami insecure, dan ketika kamu mudah insecure maka kamu akan semakin sering untuk overtinking.

Kamu akan selalu berusaha untuk terlihat perfect, baik untuk dirimu sendiri ataupun orang lain, karena kamu terus peduli dengan apa yang orang lain pikirkan tentang kamu.

Dengan meningkatkan self-love kamu akan berusaha untuk tidak terlalu memikirkan pendapat negative dari orang lain tentang diri kamu. Selain itu, kamu juga akan menolak pikiran-pikiran yang terlalu over dengan sendirinya.

  1. Trauma

Kamu mungkin pernah mengalami sesuatu yang membuatmu ketakutan hingga membekas lama dan menjadi sebuah trauma.

Trauma yang belum bisa kamu sembuhkan itu dapat menyebabkan kamu menilai sesuatu berdasarkan apa yang kamu alami sebelumnya.

Kamu cenderung ingin melindungi diri sendiri agar traumamu tidak terulang kembali sehingga kamu overthinking dan overreacting karena takut sesuatu tersebut akan sama seperti traumamu yang dahulu.

Padahal tak jarang sesuatu tersebut, entah peristiwanya, waktunya bahkan tempatnyapun bisa sangat berbeda dengan traumamu yang dahulu.

  1. Anxiety dan Depression

Anxiety dan depression yang dimaksud disini ialah, overthinking biasanya disebabkan karena kamu ’khawatir akan masa depan’ dan bahkan ‘menyesal akan masa lalu’.

Padahal, keduanya hanyalah ilusi, hanya masa sekarang yang nyata adanya. Bisa jadi masa depan itu tidak pernah ada, dan masa lalu tak dapat diubah atau diulang kembali.

Salah satu cara yang agar tidak terlalu memikirkan kedua hal tersebut ialah, membuat prinsip bahwa lupakan masa lalu, hidup dimasa kini dan raih masa depan. Biarlah hal tersebut mengalir dengan sendirinya.

  1. Berandai-andai

Hampir mirip dengan pembahasan sebelumnya, berandai-andai akan masa lalu dan masa depan membuat kita overtinking.

Sebagai manusia, wajar bila kamu selalu ingin memastikan bahwa semuanya berjalan sesuai dengan rencana atau bahkan menyesali sesuatu yang berjalan tidak sesuai rencana.

Akan tetapi, satu hal yang perlu diingat bahwa, manusia boleh berencana namun Tuhan yang menentukan.

Oleh karena itu, kamu tidak perlu muluk-muluk ingin mengendalikan segala sesuatu dan harus sesuai dengan apa yang kamu rencanakan. Tetaplah berusaha dan setelah itu berserah dirilah kepada Yang Maha Kuasa.

  1. Keseimbangan

Yang terakhir ialah, keseimbangan antara ‘berdiam diri saja’ dengan ‘melakukan sesuatu’. Kita harus menyadari bahwa berdiam diri terlalu lama itu tidak bagus bagi pikiran kita, namun terlalu banyak melakukan kegiatan juga sama tidak bagusnya.

Karena dengan begitu otak kita akan mulai memikirkan banyak sekali hal dalam satu waktu yang bersamaan. Inilah mengapa sangat penting untuk menemukan balance dalam kegiatan sehari-hari kamu.

Itulah 6 penyebab mengapa kamu bisa overtinking. Perlu diingat pula, merenungkan sesuatu terlalu lama tidak akan menyelesaikan masalah yang sedang kita hadapi, itu hanya akan memperberat masalah dan akhirnya semakin sulit untuk kamu atasi. Terkadang berikap masa bodoh itu sangat diperlukan, lho!




Bocah Korban Penyiksaan Ayah Kandung Jalani Therapy

Ilustrasi penyiksaan ayah kandung

BANDUNG, Prolite – Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Bandung mengunjungi bocah korban penyiksaan ayah kandung.

Itu dilakukan karena ayah korban ber KTP Kota Bandung. Selain kepada korban selamat, DP3A pun melayat kakak korban yang telah meninggal serta menyempatkan bertemu dengan pelaku atau ayah korban.

Kepala DP3A Kota Bandung, Uum Sumiati.

“Kami melihat langsung kondisi anak atau korban penyiksaan ayah kandung, yang terjadi beberapa hari yang lalu,” ujar Kepala DP3A Kota Bandung, Uum Sumiati, Rabu (08/02/2023).

Berdasarkan pantauannya kata Uum, korban terlihat masih trauma, namun bisa diajak berkomunikasi. Masih ada bekas luka di beberapa bagian wajah dan tubuh korban, sehingga korban belum bisa dipulangkan dari rumah sakit.

“Secara kasat mata, memang ada bekas luka di beberapa bagian muka dan tubuh, tapi sudah berangsur membaik,” tuturnya.

Kata Uum, selanjutnya, pihaknya akan melakukan pendampingan, untuk mengetahui perkembangan anak secara psikologis. Sehingga bisa melupakan trauma dan meneruskan kehidupan dan beraktifitas seperti biasanya.

“Bagaimanapun juga, yang sudah dialaminya, pasti menimbulkan trauma dalam, sehingga harus kita lakukan pendampingan dan therapy dengan melibatkan psikolog,” paparnya.

Dan karena si anak masih semangat meneruskan pendidikan. Maka, pihaknya akan berkomunikasi dengan Dinas Pendidikan Kota Bandung untuk membuka kemungkinan anak tersebut meneruskan pendidikan.

“Usianya sudah 12 tahun, namun masih duduk di kelas 3 sekolah dasar. Padahal semestinya, sudah duduk di kelas 6,” ucapnya lirih.

Masih kata Uum, sepulang dari rumah sakit, si anak akan tinggal bersama adik dari ayah kandungnya.

“Sebelumnya juga anak ini tinggal bersama adik dari ayahnya. Tapi beberapa tahun belakangan, ayahnya membawanya,” jelasnya.

Berkaca dari kasus ini, Uum mengajak warga Kota Bandung untuk lebih peduli pada tetangganya dan segera melapor jika mengetahui ada tindak kekerasan, walaupun itu di dalam rumah tangga.

“Kami kan tidak mungkin memantau setiap rumah tagga di Kota Bandung. jadi kami sangat senang jika ada warga yang melaporkan jika mengetahui ada tidak kekerasan dalam rumah tangga,” imbuhnya.

Disinggung motif sang ayah melakukan tidak kekerasan terhadap anaknya, kata Uum, kemungkinan besar karena masalah ekonomi.
Namun Uum kedua orang tua anak tersebut, bukan tanggungjawabnya untuk melakukan pengawasan.

“Kan pelaku, jadi di bawah pengawasan kepolisian. Kami hanya mendampingi anaknya sebagai korban,” pungkasnya.(kai)