Mengenal Toxic Positivity : Kita Gak Harus Selalu Keliatan Bahagia!

Toxic Positivity

Prolite – Halo! Kali ini kita akan ngobrol serius tentang sesuatu yang penting banget dalam hidup kita, yaitu “Toxic Positivity”. Eh, tunggu dulu, jangan ketipu sama kata “positivity” di situ ya! Karena sebenarnya, dibalik kata itu ada sisi gelap yang gak boleh diabaikan.

Kalian pasti pernah ngalamin momen-momen ketika lagi sedih, marah, atau down, tapi temen-temen atau bahkan diri kita sendiri maksa banget buat selalu tersenyum dan tetap berpura-pura bahagia.

Nah, tanpa kita sadari itu tuh udah termasuk perilaku toxic. Loh kok bisa ya? Kalau kamu penasaran, stay tuned sampe akhir ya!

Apa sih Toxic Positivity itu?

Happiful Magazine

Kamu sering banget denger istilah ini sewaktu lagi hangout bareng temen kamu, atau gak sengaja liat postingan di instastory mereka soal toxic positivity, tapi sampe saat ini kamu masih bingung ini tuh apa sih sebenernya? Yuk, kita pahami bareng-bareng, jangan sampe salah kaprah ya!

“Toxic Positivity adalah sikap atau pola pikir yang mendorong seseorang untuk selalu memandang segala hal dengan sudut pandang positif, tanpa memberi ruang untuk merasakan emosi negatif atau kesulitan.”

Jadi, ini tuh kondisi ketika kita maksa diri sendiri atau orang lain untuk selalu berpikir positif dan nolak emosi negatif. Emang sih, liat dunia dengan pandangan positif itu oke banget, tapi kalo sampe ngelarang emosi negatif, justru gak sehat buat kesehatan mental kita, lho!

Jadi, misalnya kita lagi kecewa, marah, atau sedih, kalo terjebak di toxic positivity, kita bakal berusaha nahan emosi negatif itu. Padahal, sebenernya, kita perlu banget rasain dan ungkapin emosi negatif itu.

Gak perlu malu atau takut buat ngejalaninnya, karena itu emang bagian dari hidup kita. Asalkan kamu bisa tau batasannya melalui manajemen emosi.

Penyebab Toxic Positivity bisa bikin hidup jadi rumit, nih!

Yang pertama, ini bisa muncul karena tekanan sosial yang gila-gilaan buat kita selalu keliatan bahagia dan sempurna setiap saat. Padahal, beneran deh, gak mungkin kan kita selalu bahagia dan sempurna terus?

Kedua, ini dia yang bikin tambah runyam, takut dianggap lemah atau gak mampu menghadapi masalah. Jadi, kadang kita merasa terpaksa untuk sembunyiin perasaan negatif kita, biar gak dibilang rapuh sama orang lain. Padahal, hal ini bisa bikin kita gak jujur sama diri sendiri.

Selain itu, media sosial juga berperan besar di balik toxic positivity. Kita suka banget nampilin sisi bahagia kita di medsos, sementara masalah atau kesulitan kita gak pernah ditunjukin. Akhirnya, kita selalu lihat hidup orang lain yang kayak sempurna, sementara hidup kita kayak roller coaster.

Dampaknya Bisa Bikin Hidup Kacau!

1. Untuk Orang di Sekitar

Foto :

Toxic positivity itu sering muncul lewat kata-kata yang kita ucapin. Orang-orang yang kayak gitu bisa sering banget ngomongin hal-hal yang terkesan positif, tapi sebenernya mereka juga punya emosi negatif yang gak diungkapin.

Yang sering banget terjadi nih, kita sebenernya cuma pengen bantu dan kasih semangat, tapi ternyata kalimat yang kita ucapin bisa bikin orang lain ngerasa meremehkan, terbandingkan, atau bahkan disalahkan.

Misalnya, kita bilang “jangan menyerah, begitu saja kok tidak bisa” “kamu lebih beruntung, masih banyak orang yang lebih menderita dari kamu” “Coba, deh, lihat sisi positifnya. Lagi pula, ini salahmu juga, kan?”

Semua kalimat itu malah bisa kasih efek negatif ke penerimanya, mungkin aja orang itu lagi berjuang dengan sesuatu yang berat, dan malah dianggap gampang aja untuk menyerah. Ini bisa bikin orang lain ngerasa diremehin, gak dihargai dan bikin semangatnya drop.

Jadi, sebenernya memberi semangat itu bagus, tapi kita juga harus hati-hati dalam pilih kata-kata yang kita ucapin. Kita harus lebih empati dan mengerti perasaan orang lain. Jangan mengandalkan kata-kata yang meremehkan, membandingkan, atau menyalahkan.

Lebih baik, kita kasih semangat dengan kalimat yang mendukung dan menghargai perjuangan orang lain. Kita bisa bilang, “sabar ya, pasti bisa dihadapin dengan baik,” atau “gak apa-apa, kita bisa cari solusi bareng.”

Dengan begini, semangat kita gak cuma memberi energi, tapi juga bikin orang lain merasa didukung dan dihargai. Yuk, lebih bijaksana dalam memberi semangat dan kasih dukungan yang tulus, ya!

2. Untuk Diri Sendiri

MentayaNet

Kalo kita selalu pura-pura bahagia dan gak ngeliat masalah yang ada, akhirnya malah bisa bikin masalah makin gede dan ngeganggu kesehatan mental kita.

Penyangkalan emosi negatif itu bisa bikin masalah mental yang gak main-main! Kalo kita terus-terusan nolak emosi negatif itu, akhirnya kita bisa kena stres berat, cemas yang gak kelar-kelar, sampe tidur juga jadi kacau. Bahkan bisa jadi kita nyerah sama hidup, sampe masuk dalam depresi atau bahkan PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder).

Nah, yang lebih serius lagi, penyangkalan emosi negatif bisa memicu penyalahgunaan obat terlarang. Kita berusaha mencari jalan keluar dari emosi negatif kita dengan cara yang salah, seperti mengandalkan obat-obatan yang gak sehat. Waduh gak kebayang deh gimana seremnya!

Intinya, kita harus lebih sadar sama perasaan kita sendiri, dan gak usah malu buat ngungkapin emosi negatif. Kita manusia, punya hak buat merasa sedih, marah, atau kecewa. Gak usah pura-pura sempurna atau bahagia terus. Lebih baik jadi diri sendiri, tulus, dan autentik, biar bisa menjaga kesehatan mental dengan baik.

Dan gak cuma sama diri sendiri, kita juga harus jadi lebih jujur sama orang lain. Kita bisa ngomongin perasaan dan masalah kita dengan mereka, biar bisa saling dukung dan bantu mengatasi masalah. Jangan takut buat berbagi, karena itu adalah bentuk keberanian dan kejujuran.

Jadi, mari jadi manusia yang lebih sadar dan jujur dengan perasaan kita sendiri dan orang lain. Dengan begitu, kita bisa menjaga kesehatan mental kita dan membangun hubungan yang lebih bermakna dengan orang-orang di sekitar kita. Stay true and be yourself, guys!

Baca juga artikel serupa :

Manajemen Emosi: 5 Cara Kendalikan Emosi dan Hadapi Tantangan Hidup

Kenali 5 Tanda Si Toxic People! Dia atau Malah Aku yang Toxic?




Saatnya Hadapi Toxic Masculinity dan Jadi Versi Terbaik dari Dirimu!

Prolite – Halo! Kali ini kita bakal bahas topik yang agak serius dan penting banget buat cowok-cowok. Mari kita bahas tentang “Toxic Masculinity” atau maskulinitas beracun.

Jangan khawatir, nggak ada yang bakal nge-judge kamu kok! Artikel ini cuma buat mengedukasi dan memahami apa itu toxic masculinity dan kenapa kamu harus lepaskan pola pikir yang gak sehat ini. So, mari kita mulai!

Apa itu Toxic Masculinity?

Toxic masculinity adalah pandangan, standar atau tekanan yang mendorong cowok untuk nampilin sifat-sifat tertentu yang sebenernya nggak sehat buat dirinya sendiri dan orang lain.

Shepherd Bliss – foto : pressdemocrat

Istilah “toxic masculinity” pertama kali digunakan oleh seorang psikolog bernama Shepherd Bliss pada tahun 1990. Istilah ini diciptakan untuk membedakan antara aspek positif dan negatif dari konstruksi gender laki-laki.

Biasanya, ini termasuk gak boleh nunjukin emosi, gak boleh nangis, harus selalu kuat tanpa menunjukkan kelemahan, dan menganggap perempuan lebih lemah. Jadi, intinya, toxic masculinity ini menempatkan stereotipe tertentu tentang bagaimana cowok seharusnya bertingkah laku dan berpikir.

Dampak Toxic Masculinity

innovationunit

Nah, yang bikin toxic masculinity berbahaya adalah dampak negatifnya. Pertama, ini bisa bikin kamu susah buat ngungkapin perasaan dan emosi kamu dengan jujur. Padahal, mengekspresikan emosi itu hal yang wajar dan malah bikin kamu sehat! Nangis itu bukan tanda kelemahan, tapi menunjukkan kita sebagai manusia yang punya perasaan.

Kedua, toxic masculinity juga menyebabkan kesulitan dalam berkomunikasi dan membangun hubungan yang sehat dengan teman-teman atau pasangan. Kamu jadi cenderung menutup diri dan gak bisa menghargai perasaan orang lain.

Ketiga, ini juga mempengaruhi kesehatan mental kamu, lho! Harus terus menerus menutup perasaan dan menghadapi tekanan tanpa keluar dari comfort zone bisa menyebabkan stres dan kecemasan yang berlebihan. Di beberapa kasus orang yang ngalamin hal kayak gini memilih untuk mengakhiri hidupnya karena tekanan yang terus datang dari segala arah.

Mengapa Harus Lepaskan Pola Pikir Toxic Masculinity?

Para cowok, saatnya kamu melepaskan pola pikir toxic masculinity! Kenapa? Karena selain dampak negatif di atas, hal ini membatasi pertumbuhan kamu sebagai individu yang seutuhnya. Saat kamu lepaskan, kamu bisa lebih merdeka untuk menjadi diri sendiri tanpa takut dinilai oleh standar yang nggak realistis.

Selain itu, dengan melepaskan toxic masculinity, kamu bisa jadi teman, sahabat, atau pasangan yang lebih baik. Kamu akan lebih bisa mendengarkan dan berempati terhadap orang lain, termasuk perempuan. Kamu juga jadi bisa bersikap lebih adil dan menghargai kontribusi mereka dalam kehidupan.

Langkah Menghadapi Toxic Masculinity

Toxic Masculinity

Nggak gampang memang melepaskan pola pikir yang sudah tertanam lama, tapi berikut ada beberapa langkah yang bisa kalian coba:

1. Mengakui perasaan

Jangan takut untuk mengakui dan mengekspresikan perasaan kamu. Itu bukan tanda kelemahan, tapi keberanian.

2. Ajarkan generasi mendatang

Mari ajarkan adik-adik atau anak-anak kamu untuk melepaskan toxic masculinity. Jadi, mereka nggak bakal tumbuh dengan pola pikir yang sama.

3. Mendengarkan perempuan

Dengarkan dan hargai pendapat perempuan, baik itu di tempat kerja, di rumah, atau di lingkungan sosial. Mereka punya perspektif berharga yang perlu kita hargai.

Intinya, menjadi seorang laki-laki tidak harus mengikuti norma sempit dan terpaku pada harapan sosial yang tidak sehat. Jadilah dirimu sendiri, hargai dirimu sendiri, dan dukung orang lain untuk menjadi diri mereka yang autentik.

Satu Hal yang Tak Boleh Kamu Lupakan Sebagai Seorang Laki-Laki

Freepik

Dalam proses ini, penting banget untuk gak ngelupain norma agama dan tetap menjadi laki-laki yang taat dan hidup sesuai dengan ajaran agama.

Agama memberikan kerangka moral dan nilai-nilai yang kuat yang bisa membimbing kita dalam perilaku dan tindakan kita sehari-hari. Agama mengajarkan kita tentang cinta, kesabaran, pengampunan, dan menghormati hak-hak orang lain. Semua ini adalah prinsip-prinsip yang penting untuk dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Melawan toxic masculinity tidak berarti menolak agama atau ajaran agama. Sebaliknya, kalian dapat menggabungkan kedua hal ini dengan menjadi laki-laki yang taat dan menghormati nilai-nilai agama, sambil tetap menghindari perilaku yang merugikan dan membatasi diri serta orang lain.

Jadi, mari lanjutkan perjuangan kalian melawan toksik maskulinitas, sambil menjadikan ajaran agama sebagai pedoman dalam hidup kalian. Ayo tinggalkan stereotipe lama dan menjadi cowok yang lebih baik untuk masa depan yang lebih baik juga! 💪👦