Yayat Hendayana Berpulang : Tanah Sunda Kehilangan Tokoh Budayawan dan Jurnalis Senior

Yayat Hendayana

BANDUNG, Prolite – Rabu, 26 Juli 2023, tanah sunda kehilangan seorang tokoh budayawan Kota Bandung sekaligus sorang wartawan senior, Yayat Hendayana.

Berita duka menyatakan bahwa beliau meninggal dunia pada usia 80 tahun. Sebelumnya, almarhum sempat dirawat di rumah sakit selama beberapa hari sebelum berpulang.

Saat ini, jenazah Yayat Hendayana disemayamkan di rumah duka yang berlokasi di Jalan Buana Sari 1 No 6, Jalan Logam, Kota Bandung, sebelum akhirnya dikebumikan.

Plh Wali Kota Bandung, Ema Surmarna, turut menyampaikan belasungkawa atas kabar duka tersebut.

“Atas nama pribadi dan Pemerintah Kota Bandung, saya turut berduka. Semoga almarhum diterima di sisi Allah SWT,” ucap Ema.

Selain itu, Ema juga mendoakan agar keluarga yang ditinggalkan diberikan kekuatan dan ketabahan menghadapi cobaan ini.

Kehidupan dan Kiprah Yayat Hendayana Sebagai Seorang Budayawan dan Wartawan

Facebook Yayat Hendayana

Yayat Hendayana, seorang tokoh budayawan dan wartawan senior, dilahirkan di Bandung pada tanggal 7 Juni 1943.

Di masa mudanya, ia mengejar pendidikan di Akademi Teater dan Film Bandung pada tahun 1965. Selain itu, ia juga mengambil kuliah di bidang Sastra Sunda di Universitas Padjadjaran.

Perjalanan pendidikan Yayat tidak hanya berhenti di dalam negeri. Ia mendapatkan kesempatan yang luar biasa ketika menerima beasiswa dari UNESCO untuk melanjutkan studi di International Institute of Journalism di Berlin, Jerman. Di sana, ia menimba ilmu dan pengalaman yang berharga dalam dunia jurnalisme internasional.

Selain aktif di dunia teater, Yayat Hendayana juga merupakan seorang penyair dan penulis cerita pendek yang berbakat. Karyanya yang penuh inspirasi sering dimuat di berbagai media terkemuka seperti Pikiran Rakyat, Budaya Jaya, Horison, Majalah Sunda, Mangle, dan Gondewa.

Pengakuan atas kualitas karyanya tidak hanya datang dari pembaca, tetapi juga dari Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda (LBBS) yang memberikan penghargaan kepadanya pada tahun 1998.

Buku kumpulan sajak Sunda karyanya, antara lain, adalah “Katiga” (Kemarau, 1979), “Sasambat” (2005), dan “Doa Angkatan Kami”.

Tidak hanya berkarier sebagai penyair dan penulis, Yayat juga memiliki peran penting dalam dunia editorial. Ia pernah menjabat sebagai redaktur majalah Mangle dari tahun 1968 hingga 1972, redaktur Gondewa dari tahun 1972 hingga 1975, dan redaktur di Pikiran Rakyat.

Tak hanya berkiprah dalam dunia sastra dan jurnalisme, Yayat Hendayana juga terlibat aktif di berbagai organisasi dan bidang kebudayaan.

Ia merupakan anggota Persatuan Wartawan Indonesia dan terlibat dalam Pengurus Badan Pertimbangan Kebudayaan Jawa Barat. Selain itu, ia pernah menjadi anggota DPRD Kota Bandung dari tahun 1982 hingga 1987.

Kehidupan dan kiprah Yayat Hendayana sebagai seorang budayawan, wartawan, penyair, penulis, dan aktivis budaya memberikan sumbangan berarti bagi perkembangan seni dan budaya, serta jurnalisme di Indonesia.

Ia adalah sosok yang menginspirasi banyak orang dan warisan karyanya akan tetap dikenang dan diapresiasi oleh generasi-generasi mendatang. Kami, segenap tim redaksi mengucapkan turut berbela sungkawa.




Jais Darga Namaku, Novel Karya Ahda Imran

Ahda Imran, penuli novel " Jais Darga Namaku"

Prolite – Dengan mengandalkan pengetahuan mendalam terhadap Jais Darga sebagai tokoh utama, Ahda Imran menuliskan novel autobiografi berjudul ‘Jais Darga Namaku’ yang dirilis pada 2018.

Menuangkan persepsi pribadi terhadap seseorang ke dalam bentuk novel, Ahda Imran memilih prosa sebagai bentuk karya tulisnya.

Di mata Ahda, Jais Darga bukan hanya perempuan pertama yang memiliki galeri seni, melainkan juga sosok menak sunda yang berhasil mendunia, dengan kemampuan sendiri.

“Bahkan Jais Darga berhasil ‘menundukan’ laki-laki, di tengah dominasi kaum adam di jagad Eropa. Hal itu yang bisa menjadi inspirasi bagi perempuan di Indonesia,” tutur Ahda.

Ahda memang mengenal Jais Darga dengan baik. Selama tiga tahun proses penulisan novel ini, Ahda mencoba berada di tengah-tengah kehidupan perempuan Sunda ini.

Untuk melahirkan autobiografi ini, Ahda Imran juga mempelajari benar bagaimana kehidupan anak muda pada 1970, perkembangan seni rupa dan perekonomian di Perancis.

“Hal ini perlu saya lakukan untuk bisa melihat dan merasakan langsung apa yang dialami Teh Jais saat itu,” tambahnya.

Bahkan Ahda dipersilahkan membaca surat cinta Jais Darga dan beberapa dokumen lain. Sudah sedemikian intens komunikasi Ahda, Jais dan keluarga besarnya, sehingga bagi Jais Darga, Ahda bukan lagi rekan kerja, namun lebih sebagai sahabat.

“Saya memang dimudahkan dengan surat-surat cinta dan dokumen lain milik Teh Jais yang masih disimpan rapi,” katanya.

Dalam karya ini, Ahda Imran menolak ada intervensi bahkan dari sang tokoh.

“Apa yang saya tuangkan ini, semua murni mengenai persepsi saya terhadap Teh Jais. Mungkin akan berbeda jika orang lain yang menulis,” tuturnya.

Meski demikian, Ahda Imran memperislahkan Jais untuk mengoreksi data dan kisah yang terkait dengan orang lain. Karena bagaimanapun juga dalam menulis autobiografi pasti melibatkan orang lain dalam penulisannya.

“Jadi setiap saya menyelesaikan satu bab, saya akan meminta Teh Jais mengecek dan mengoreksi jika ada data yang salah. Dan jika ada kisah orang lain yang tidak boleh dipublikasi, maka akan diedit,” jelasnya.

Di sisi lain, Jais Darga memepersilahkan Ahda untuk mengetahui kehidupannya lebih dekat. Bukan hanya karirnya sebagai art dealer, namun juga kehidupa pribadinya. Bahkan dengan ibunya.

“Bahkan saya mengenal ibu saya, melalui buku ini. Demikian juga denga ibu saya, mengenal saya lebih jauh dari buku ini,” terang Jais.

Jais juga menceritakan, bagaimana sang ibu menangis setelah membaca buku ini, karena menegtahui apa yang dirasakan Jais, demikian juga sebaliknya.

Menurut Jais, sebenarmya niat awal membuat buku ini, hanya untuk kebutuhan dokumentasi keluarga besar. Bahkan awalnya hanya dicetak sebanyak 500 copy, hanya untuk memenuhi kebutuhan minimal pencetakan buku.

“Ini awalnya hanya untuk keluarga dekat, dan untuk Mamih,” katanya.

Tak disangka, buku ini ditermia masyarakat luas, bahkan sekarang terjual laris di pasaran.

Ada kepuasan dalam diri Jais Darga setelah berhasil meraih kesuksesan yang ditandai dengan kemandirian finansial dan bagaiamana pencapaianya di dunia yang digelutinya, sehingga tidak bisa dinilai dengan materi. Karena awalnya, apa yang dia lakukan ini hanya untuk menyenangkan ibunya.

“Saya senang bisa membahagiakan orang tua terutama ibu saya. Tidak ada rasa jumawa dalam diri saya, hanya perasaan senang bisa membahagiakan orang tua,” pungksnya. (*)