Propaganda di Era Digital : Saat Fakta dan Manipulasi Sulit Dibedakan

Prolite – Propaganda di Era Digital: Saat Fakta dan Manipulasi Sulit Dibedakan
Di tengah maraknya aksi massa yang terjadi di berbagai daerah Indonesia sepanjang Agustus 2025, publik kembali dihadapkan pada derasnya arus informasi yang simpang siur.
Isu-isu politik, kebijakan, hingga kemanusiaan menjadi bahan bakar percakapan di media sosial. Namun, di balik kebebasan berekspresi, terdapat ancaman yang sering luput dari perhatian: propaganda.
Secara sederhana, propaganda adalah upaya sistematis untuk memengaruhi opini publik melalui pesan-pesan tertentu, baik dengan tujuan positif maupun negatif.
Dalam sejarah, propaganda sering digunakan untuk menggalang dukungan politik atau membentuk persepsi masyarakat. Namun, di era digital, bentuknya telah berevolusi menjadi lebih masif dan sulit dikenali.
Computational Propaganda: Wajah Baru Manipulasi Opini
Konsep computational propaganda merujuk pada penggunaan teknologi digital untuk mengarahkan opini publik. Bentuk praktiknya antara lain:
- Bot politik yang secara otomatis memperbanyak narasi tertentu sehingga tampak populer.
- Akun palsu yang berpura-pura menjadi warga biasa, padahal digerakkan untuk memperkuat agenda politik tertentu.
- Algoritma media sosial yang tidak netral—ia bisa dimanfaatkan untuk memperbesar eksposur isu tertentu, sekaligus menenggelamkan isu lain.
Laporan Oxford Internet Institute (2024) mencatat Indonesia sebagai salah satu negara yang paling rentan terhadap propaganda digital. Temuan terbaru dari Katadata Insight Center (Agustus 2025) menunjukkan 67% pengguna media sosial di Indonesia mengaku kebingungan membedakan informasi asli dengan propaganda politik, terutama ketika isu aksi massa mendominasi ruang publik.
Relevansi dengan Kondisi Indonesia
Situasi politik pasca-Pemilu 2024 masih menyisakan polarisasi. Aksi-aksi massa di berbagai kota pada Agustus 2025 memperlihatkan bagaimana opini publik cepat sekali dipolarisasi melalui media sosial.
Hashtag yang dibuat oleh bot, narasi manipulatif yang didorong akun palsu, hingga konten lama yang didaur ulang untuk memicu emosi publik, semuanya menjadi bukti nyata praktik propaganda digital.
Pentingnya Pendidikan Literasi Media
Dalam menghadapi gelombang manipulasi opini, literasi media menjadi tameng utama. Literasi ini bukan hanya tentang bisa membaca dan menulis, melainkan juga kemampuan mengidentifikasi strategi manipulasi digital.
Beberapa langkah praktis yang bisa dilakukan antara lain:
- Periksa akun penyebar informasi: cek usia akun, pola interaksi, dan apakah akun tersebut terlihat asli atau otomatis.
- Cek tanggal dan konteks berita: banyak propaganda menggunakan informasi lama yang dipoles seolah-olah baru.
- Uji konsistensi: bandingkan dengan media kredibel, laporan riset, atau sumber independen.
- Sadari bias algoritma: jangan hanya bergantung pada timeline media sosial; carilah sudut pandang alternatif.
Peran Guru, Orang Tua, dan Komunitas
Propaganda digital tidak hanya menyasar orang dewasa, tetapi juga generasi muda yang sehari-harinya hidup di dunia online. Karena itu, peran guru, orang tua, dan komunitas menjadi sangat vital. Guru bisa menanamkan keterampilan berpikir kritis di kelas. Orang tua dapat berdialog secara terbuka dengan anak terkait sumber informasi. Sementara komunitas bisa menyediakan ruang diskusi sehat yang menumbuhkan daya analisis kolektif.
Di tengah riuhnya aksi massa dan derasnya arus informasi, kita tidak boleh lengah. Propaganda digital bisa dengan mudah membentuk persepsi dan memanipulasi emosi publik. Namun, dengan literasi media yang kuat, masyarakat bisa memilah mana yang fakta, mana yang manipulasi.
Mari bersama-sama menjadi warga digital yang kritis, sadar, dan bertanggung jawab. Jangan biarkan opini kita dikendalikan oleh bot atau algoritma, melainkan oleh nalar dan kesadaran kita sendiri demi Indonesia yang lebih cerdas dan demokratis.
