The True Power of Detachment : Melepaskan Tanpa Kehilangan

The True Power of Detachment

Prolite – The Power of Detachment: Rahasia Hidup Lebih Utuh dan Tenang

Pernah nggak sih kamu merasa capek karena terlalu sering menggenggam sesuatu yang sebenarnya nggak pernah bisa kamu kontrol? Entah itu hubungan, pekerjaan, atau pengakuan dari orang lain.

Nah, di dunia psikologi dan mindfulness, ada konsep menarik yang disebut detachment alias melepaskan keterikatan berlebihan. Bukan berarti cuek atau nggak peduli, tapi lebih ke sadar bahwa kita tetap utuh meski tanpa semua hal itu.

Detachment ini sering dianggap sebagai salah satu kunci menuju kesehatan mental yang stabil. Bahkan penelitian terbaru dari Journal of Personality and Social Psychology (2025) menemukan bahwa orang yang melatih detachment cenderung lebih rendah tingkat stresnya, lebih bahagia, dan lebih mampu mengambil keputusan dengan jernih.

Apa Itu Detachment?

Detachment bisa dipahami sebagai kemampuan untuk tetap hadir dan peduli, tanpa merasa hidupmu bergantung pada sesuatu atau seseorang.

Kalau biasanya kita merasa “aku harus punya ini biar bahagia” atau “aku butuh dia biar hidupku makin lengkap,” detachment justru mengajarkan kita untuk menyadari: kita sudah utuh dari awal.

Dalam filsafat Buddhisme, konsep ini mirip dengan non-attachment, yaitu melepaskan kelekatan emosional yang berlebihan terhadap hasil, orang, atau benda.

Sementara dalam psikologi modern, hal ini dipandang sebagai keterampilan regulasi emosi yang sehat, bukan sikap apatis.

Ketika Kamu Tidak Membutuhkan Apa pun, Kamu Sudah Merasa Utuh

Bayangin deh, kalau kamu nggak lagi meraih, menggenggam, atau mengejar sesuatu karena merasa kurang, hidup rasanya lebih ringan. Saat kamu sadar bahwa kamu cukup dicintai oleh dirimu sendiri, kamu nggak perlu lagi berburu validasi atau cinta dari orang lain.

Psikolog positif menyebut kondisi ini sebagai inner completeness, sebuah perasaan cukup dari dalam. Ketika kita sampai di titik ini, hubungan jadi lebih sehat, pekerjaan terasa lebih jujur, dan kita lebih bebas mengekspresikan diri.

Detachment Bukan Berarti Cuek

Zodiak

Nah, penting banget buat diluruskan: detachment bukan berarti kamu jadi dingin, menutup diri, atau nggak peduli. Justru sebaliknya, detachment membuatmu bisa hadir sepenuhnya tanpa rasa takut kehilangan. Kamu bisa mencintai orang lain dengan tulus, tanpa terjebak pada rasa “aku nggak bisa hidup tanpa dia”.

Menurut penelitian American Psychological Association (APA, 2025), individu yang berlatih mindful detachment justru punya tingkat empati yang lebih tinggi. Karena ketika kita tidak sibuk dengan rasa takut kehilangan, kita punya ruang untuk benar-benar mendengarkan dan memahami orang lain.

Manfaat Psikologis dari Detachment

  1. Kesehatan mental lebih stabil – nggak gampang terbawa drama atau ekspektasi.
  2. Mengurangi stres – karena nggak semua hal harus digenggam erat.
  3. Hubungan lebih sehat – karena kamu hadir dari rasa cukup, bukan kekurangan.
  4. Pengambilan keputusan lebih jernih – kamu nggak dikaburkan rasa takut gagal atau kehilangan.

Cara Melatih Detachment Sehari-hari

  1. Latih self-love – belajar menerima diri sendiri tanpa syarat.
  2. Mindfulness practice – meditasi, journaling, atau sekadar tarik napas dalam bisa bantu melepaskan pikiran obsesif.
  3. Sadari kontrol – bedakan mana yang bisa kamu kontrol (aksi, sikap) dan mana yang nggak bisa (reaksi orang lain, hasil akhir).
  4. Batasi ekspektasi – fokus pada proses, bukan cuma hasil.
  5. Hidup di momen sekarang – berhenti replay masa lalu atau overthinking masa depan.

Dengan kekuatan ini, kamu nggak lagi didefinisikan oleh status, pencapaian, atau validasi dari luar. Kamu tetap bisa punya mimpi dan tujuan, tapi nggak lagi terikat sampai bikin cemas.

Kamu bisa bilang: “Aku ingin ini, tapi aku tetap baik-baik saja kalau nggak dapat.” Dan itu adalah kebebasan sejati.

Saatnya Belajar Melepaskan

The power of detachment bukan tentang menjauh dari dunia, tapi tentang hidup dengan cara yang lebih sadar, cukup, dan bebas.

Jadi, yuk mulai tanyakan ke diri sendiri: hal apa sih yang selama ini terlalu erat kamu genggam sampai bikin capek? Berani coba melepas sedikit demi sedikit?




Lack of Self-Love: Capek Gak Sih, Kalau Bahagiamu Selalu Bergantung Pada Orang Lain?

lack of self-love

Prolite – Lack of Self-Love: Capek Gak Sih? Kalau Bahagiamu Selalu Tergantung Orang Lain

Pernah nggak sih kamu merasa bahagia banget hanya kalau ada orang yang memuji atau memberi perhatian? Atau merasa dunia runtuh ketika orang yang kamu sayang nggak merespons seperti yang kamu harapkan? Kalau iya, bisa jadi kamu sedang terjebak dalam jebakan lack of self-love.

Di era sosial media yang penuh validasi instan ini, makin banyak orang yang tanpa sadar menggantungkan kebahagiaan pada sumber eksternal. Padahal, kalau kita nggak punya pondasi cinta dan penghargaan terhadap diri sendiri, kebahagiaan kita bisa goyah kapan saja.

Apa Itu Lack of Self-Love dan Hubungannya dengan Kebahagiaan Eksternal

Lack of self-love adalah kondisi di mana seseorang kurang menghargai, menerima, dan menyayangi dirinya apa adanya. Akibatnya, standar kebahagiaan mereka jadi bergantung pada orang lain—entah itu pasangan, teman, atau bahkan followers di media sosial.

Menurut penelitian terbaru (APA, 2025), individu dengan lack of self-love cenderung lebih rentan merasa cemas, stres, dan kehilangan makna hidup ketika tidak mendapatkan pengakuan eksternal.

Ketika Kebahagiaan Terlalu Bergantung pada Orang Lain

Teori psikologi yang relevan banget di sini adalah Self-Determination Theory (SDT). Menurut SDT, ada tiga kebutuhan psikologis dasar manusia: autonomy (rasa memiliki kendali atas hidup sendiri), competence (merasa mampu), dan relatedness (terhubung dengan orang lain).

Nah, kalau kebahagiaan kita 100% tergantung pada orang lain, kebutuhan akan autonomy bisa terganggu. Akhirnya, kita merasa hidup ini bukan milik kita, melainkan milik orang yang kita “andalkan” untuk bahagia.

Daftar Tanda-Tanda Umum Kekurangan Self-Love

Kalau kamu ingin tahu apakah kebahagiaanmu terlalu bergantung pada orang lain, coba cek tanda-tanda berikut:

  • Mood berubah-ubah sesuai perlakuan orang lain: Misalnya, kamu ceria kalau pasangan perhatian, tapi langsung murung kalau mereka sibuk.
  • Butuh persetujuan terus-menerus: Kamu nggak bisa memutuskan beli baju atau ambil pekerjaan tanpa konfirmasi orang lain dulu.
  • Takut ditinggalkan: Rela mengorbankan kenyamanan dan prinsip diri demi mempertahankan hubungan.
  • Sulit bilang “tidak”: Bahkan kalau diminta tolong di saat sedang lelah atau sibuk.
  • Merasa identitas diri kabur: Nggak tahu lagi apa yang benar-benar kamu suka atau mau karena terlalu sering mengikuti keinginan orang lain.
  • Mencari validasi di media sosial: Merasa nilai diri meningkat kalau postinganmu dapat banyak likes.

Dampak Psikologis Jangka Panjang

Kekurangan self-love bisa bikin kamu:

  • Cemas berlebihan: Karena hidup rasanya penuh ketidakpastian.
  • Kehilangan jati diri: Sulit mengenali apa yang benar-benar kamu mau.
  • Rentan manipulasi: Mudah diatur atau dimanfaatkan orang lain.
  • Kualitas hidup menurun: Karena kebahagiaan jadi fluktuatif, tergantung orang lain.

Data WHO (Agustus 2025) menunjukkan bahwa orang dengan harga diri rendah memiliki risiko 35% lebih tinggi mengalami depresi jangka panjang.

Membangun Kebahagiaan Internal & Batasan Sehat

Two scenes showing woman holding mirrors in nature amongst tropical plants , one a Caucasian lady and the other Black, colored vector illustration

Kabar baiknya, self-love bisa dilatih. Beberapa langkah yang bisa dicoba:

  • Kenali dan hargai diri sendiri: Catat pencapaian kecil setiap hari.
  • Praktikkan boundaries: Katakan “tidak” ketika sesuatu melanggar nilai atau kapasitasmu.
  • Kurangi ketergantungan digital: Jangan biarkan likes di Instagram jadi patokan nilai diri.
  • Latih self-compassion: Bersikap lembut pada diri sendiri saat gagal.

Psikolog klinis Dr. Emily Roberts (2025) menekankan bahwa membangun self-love adalah proses seumur hidup, dan setiap langkah kecil menuju penerimaan diri punya dampak besar pada kesejahteraan.

Saatnya Berhenti Menyerahkan Kunci Bahagiamu!

Kebahagiaan yang kokoh datang dari dalam diri. Kalau kamu terus menggantungkan senyum di wajahmu pada orang lain, kamu ibarat menitipkan kunci rumah ke orang asing—suatu saat bisa hilang atau rusak.

Mulailah merawat self-love hari ini, perlahan tapi konsisten. Karena pada akhirnya, orang yang paling bertanggung jawab atas kebahagiaanmu adalah dirimu sendiri.




Self-Harm : Jeritan Diam dari Jiwa Remaja

Self-Harm

Prolite – Di masa remaja, yang dihadapkan pada berbagai tekanan dan tantangan hidup. Salah satu fenomena yang semakin mengkhawatirkan adalah meningkatnya kasus self-harm atau melukai diri sendiri. 

Tindakan ini seringkali dianggap sebagai upaya untuk mengatasi emosi yang intens dan sulit dikelola. 

Namun, apa sebenarnya yang mendorong remaja untuk melakukan tindakan yang tampak destruktif ini? Mari kita bahas lebih dalam.

Apa Itu Self-Harm?

– freepik

Self-harm adalah tindakan sengaja melukai diri sendiri tanpa niat untuk mengakhiri hidup. Tindakan ini bisa berupa menyayat, membakar, menumbuk, atau bentuk-bentuk lainnya.

Meskipun terlihat ekstrim, tindakan melukai diri sendiri merupakan cara bagi seseorang untuk mencari bantuan, mengelola emosi negatif, atau merasa lebih terhubung dengan diri sendiri.

Jenis-Jenis dan Penyebab Self-Harm

– Freepik

Self-harm memiliki berbagai bentuk, di antaranya:

  • Cutting: Menyayat kulit dengan benda tajam.
  • Burning: Membakar kulit dengan api atau benda panas.
  • Hitting: Menumbuk atau memukul bagian tubuh.
  • Hair pulling: Mencabut rambut.
  • Head banging: Membenturkan kepala ke dinding atau benda keras.

Penyebab self-harm sangat kompleks dan bervariasi pada setiap individu. Beberapa faktor yang sering dikaitkan dengan tindakan ini adalah:

  • Tekanan emosional: Merasa tertekan, sedih, marah, atau cemas.
  • Trauma: Pengalaman traumatis seperti kekerasan, pelecehan, atau kehilangan orang yang dicintai.
  • Kesulitan dalam mengekspresikan emosi: Sulit mengungkapkan perasaan secara verbal.
  • Perasaan tidak berharga: Merasa tidak berguna atau tidak layak untuk dicintai.
  • Gangguan mental: Depresi, kecemasan, gangguan makan, atau gangguan kepribadian borderline.

Apa  Tujuan dan yang Dirasakan Saat Melakukan Self-Harm?

– Freepik

Tujuan melakukan self-harm antara lain:

  • Mengurangi intensitas emosi negatif: Merasa lebih baik setelah meluapkan emosi melalui tindakan fisik.
  • Mendapatkan perhatian: Mencari bantuan atau dukungan dari orang lain.
  • Mengancam diri sendiri: Merasa tidak mampu mengatasi masalah dan ingin menghukum diri sendiri.

Orang yang melakukan tindakan menyakiti diri sendiri biasanya merasakan:

  • Rasa sakit fisik: Sebagai bentuk pelepasan emosi yang terpendam.
  • Rasa lega sementara: Merasa lebih tenang setelah melukai diri sendiri.
  • Perasaan terhubung: Merasa lebih dekat dengan diri sendiri atau orang lain yang mengalami hal serupa.

Dampak Bagi Kesehatan Mental dan Fisik

– Freepik

Self-harm memiliki dampak yang serius, baik secara fisik maupun psikologis, di antaranya:

  • Infeksi: Luka akibat tindakan ini dapat terinfeksi jika tidak dirawat dengan benar.
  • Bekas luka: Luka yang sembuh dapat meninggalkan bekas luka permanen.
  • Gangguan tidur: Sulit tidur atau mengalami mimpi buruk.
  • Masalah dalam hubungan: Sulit menjalin hubungan dengan orang lain.
  • Kecanduan: Seiring waktu, individu yang melakukan tindakan ini dapat menjadi semakin kebal terhadap rasa sakit fisik. Akibatnya, mereka perlu melukai diri lebih dalam atau lebih sering untuk mendapatkan sensasi yang sama atau lebih intens. 
  • Masalah emosional: Kecanduan melakukan tindakan menyakiti diri sendiri menciptakan siklus yang sulit dihentikan dan semakin memperparah kondisi emosional.
  • Peningkatan risiko bunuh diri: Meskipun tidak semua orang yang melakukan self-harm ingin bunuh diri, tindakan ini dapat meningkatkan risiko bunuh diri.

By Rizkina Diana

Self-harm adalah masalah serius yang membutuhkan perhatian dan penanganan yang tepat.

Jika Kamu atau orang yang kamu kenal melakukan self-harm, rangkul, dengarkan dengan pengertian dan jangan ragu untuk mencari bantuan profesional. 

Terdapat berbagai cara untuk mengatasi hal ini, seperti terapi, pengobatan, dan dukungan dari orang-orang terdekat. 

Menjalani hidup emang sangat erat. Namun, ingatlah bahwa Kamu tidak sendirian.




Yuk Kenalan Sama Emotional Freedom Techniques! Teknik Self-Healing yang Lagi Hits!

Emotional Freedom Techniques

Prolite – Pernah dengar tentang EFT alias Emotional Freedom Techniques? Kalau belum, siap-siap deh buat kenalan sama teknik self-healing yang satu ini.

Bayangin deh, kamu bisa mengurangi stres, kecemasan, dan emosi negatif lainnya hanya dengan mengetuk-ngetukkan ujung jari di titik-titik tertentu di tubuhmu.

Menarik, kan? Yuk, kita kupas tuntas gimana Emotional Freedom Techniques bisa jadi sahabat baru kamu dalam menghadapi segala drama hidup!

Apa Itu EFT?

Ilustrasi tapping – Freepik

EFT atau Emotional Freedom Techniques adalah metode self-healing yang menggabungkan konsep akupunktur tanpa jarum dengan prinsip-prinsip psikologi.

Kamu mungkin pernah mendengar istilah “tapping” yang sering dipakai buat menyebut teknik ini. Gimana caranya?

Kamu akan mengetuk-ngetuk titik-titik tertentu di tubuh sambil memfokuskan pikiran pada masalah emosional atau fisik yang sedang kamu hadapi.

Prinsip Dasar Emotional Freedom Techniques

Kunci dari EFT adalah prinsip bahwa gangguan emosional bisa menyebabkan ketidakseimbangan dalam sistem energi tubuh kita.

Nah, dengan mengetuk titik-titik meridian—jalur energi dalam tubuh yang sama seperti di akupunktur—kita bisa membantu memulihkan keseimbangan tersebut.

Sederhananya, EFT membantu meredakan ketegangan dengan cara mempengaruhi sistem energi tubuhmu, sehingga kamu bisa lebih merasa tenang dan terhubung kembali dengan diri sendiri.

Langkah-Langkah Melakukan EFT

Tekhnik EFT – cr. BEAM ACADEMY

Penasaran bagaimana cara mempraktikkan EFT? Berikut adalah langkah-langkah mudah yang bisa kamu ikuti untuk memulai perjalanan self-healing ini!

  1. Identifikasi MasalahPertama-tama, tentukan masalah spesifik yang ingin kamu atasi. Apakah itu kecemasan, rasa sakit, atau mungkin trauma masa lalu? Semakin jelas masalah yang ingin kamu hadapi, semakin efektif proses EFT akan berjalan.
  2. Menilai Intensitas EmosiBerikan nilai pada intensitas emosional dari masalah tersebut pada skala 0 hingga 10. Ini akan membantu kamu mengukur seberapa besar dampaknya dan melacak kemajuan seiring waktu.
  3. Setup StatementBuat pernyataan setup yang mengakui masalah dan menerima diri sendiri. Ini adalah pernyataan yang menyatukan kamu dengan masalah yang ada, sambil mengingatkan diri bahwa kamu layak untuk mendapatkan solusi. Contoh: “Meskipun saya merasa cemas, saya menerima diri saya sepenuhnya.”
  4. The Sequence (Urutan Ketukan)Sekarang saatnya mengetuk! Gunakan ujung jari untuk mengetuk titik-titik meridian di tubuh sambil mengulang pernyataan setup. Berikut adalah beberapa titik meridian yang sering digunakan:
    • Karate Chop Point: Bagian luar tangan, di bawah jari kelingking.
    • Eyebrow Point: Di awal alis, dekat hidung.
    • Side of the Eye: Di samping mata.
    • Under the Eye: Di bawah mata, di tulang pipi.
    • Under the Nose: Di antara hidung dan bibir atas.
    • Chin Point: Di bawah bibir bawah, di tengah dagu.
    • Collarbone Point: Di bawah tulang selangka, sekitar satu inci dari ujung tulang.
    • Under the Arm: Di sisi tubuh, sekitar empat inci di bawah ketiak.
    • Top of the Head: Di atas kepala, di tengah-tengah.
  5. Menilai Ulang IntensitasSetelah selesai dengan urutan ketukan, nilai kembali intensitas emosional dari masalah tersebut. Apakah ada perubahan? Jika masih ada intensitas yang tersisa, ulangi proses ini sampai kamu merasa lebih baik.

Manfaat Emotional Freedom Techniques

Ilustrasi seseorang yang mengalami kecemasan – Freepik

Sekarang, kenapa kamu harus mencoba Emotional Freedom Techniques? Berikut adalah beberapa manfaat yang bisa kamu rasakan:

  • Mengurangi Stres dan Kecemasan: Teknik ini dapat membantu menenangkan sistem saraf dan menurunkan tingkat stres serta kecemasan. Rasakan ketenangan yang mendalam setelah setiap sesi!
  • Mengatasi Trauma dan Emosi Negatif: Teknik ini efektif untuk mengatasi trauma, phobia, dan emosi negatif lainnya. Kamu bisa merasakan beban emosional yang lebih ringan seiring berjalannya waktu.
  • Meningkatkan Kesehatan Fisik: Beberapa orang melaporkan peningkatan dalam kondisi fisik mereka, seperti pengurangan rasa sakit kronis, setelah menggunakan Emotional Freedom Techniques secara rutin. Jadi, tidak hanya emosional, tapi fisik pun bisa mendapat manfaat!

Nah, itu dia, guys! Emotional Freedom Techniques memang terdengar simpel, tapi jangan salah, teknik ini bisa jadi game-changer buat kesejahteraan emosional dan fisik kamu.

Ilsutrasi melepaskan borgol yang merepresentasikan beban – Freepik

Dengan hanya mengetuk titik-titik meridian sambil fokus pada masalah yang bikin kamu stres, kita bisa bantu tubuh mengembalikan keseimbangan energi dan bikin perasaan jadi lebih ringan.

Gimana? Tertarik buat coba? Meskipun kelihatannya sederhana, banyak orang yang udah merasakan manfaat besar dari teknik ini.

Jadi, kalau kamu lagi nyari cara baru buat feel more balanced dan relax, kenapa nggak kasih EFT kesempatan?

Siapa tahu, ini bisa jadi rahasia kecil yang bikin hari-harimu jadi lebih cerah. Selamat mencoba dan semoga kamu merasa lebih baik dengan Emotional Freedom Techniques! 🌟👐




Jelajahi Keindahan Diri : 13 Cara Jitu Penerapan Self-Love dalam Kehidupan Sehari-hari

Self-Love

Prolite – Dalam keseharian yang penuh dengan tuntutan dan ekspektasi, seringkali kita lupa untuk memberikan self-love atau cinta kepada diri sendiri. 

Mungkin kita terjebak dalam jeratan standar sosial atau terlalu sibuk memenuhi harapan orang lain. 

Penerapan self-love bukan hanya sebuah tren atau kata-kata motivasional, tetapi sebuah komitmen untuk merawat diri sendiri dengan penuh kasih sayang. 

Artikel inikita telusuri bersama langkah-langkah praktis untuk menerapkan self-love dalam setiap aspek kehidupan sehari-hari, membentuk dasar kuat untuk kebahagiaan dan keseimbangan emosional.

Membangun Keseimbangan dengan Self-Love

Ilustrasi admiring yourself – Freepik

Penerapannya memainkan peran kunci dalam menciptakan keseimbangan emosional sehari-hari. Berikut langkah-langkah praktisnya:

  1. Penerimaan Diri: Terima kelebihan dan kekurangan.
  2. Merawat Tubuh: Pola makan, olahraga, tidur.
  3. Waktu untuk Diri: Lakukan aktivitas yang bahagia.
  4. Batas dan Prioritas: Tentukan batas dan fokus pada kepentingan utama.
  5. Refleksi Positif: Hargai pencapaian kecil dan potensi diri.
  6. Hubungan Positif: Bangun hubungan yang mendukung baik itu keluarga, teman dll.
  7. Belajar dari Kegagalan: Melihat kegagalan sebagai peluang belajar.
  8. Mindfulness dan Meditasi:  Mengurangi stres dan meningkatkan kesadaran diri.
  9. Jurnal Emosi: Tulis jurnal untuk memahami diri lebih baik.
  10. Perlakukan Diri dengan Kasih: Bersikap lembut pada diri sendiri.
  11. Mengelola Kritik: Terima kritik sebagai peluang pembelajaran.
  12. Aktivitas Kreatif: Salurkan kreativitas untuk kepuasan diri.
  13. Istirahat: Beri diri waktu untuk istirahat dan meresapi momen.

Ilustrasi mencintai diri sendiri – Freepik

Dengan konsistensi dalam praktik ini, self-love menjadi dasar untuk kesejahteraan holistik.

Langkah-langkah ini membantu menciptakan hubungan yang positif dan penuh kasih terhadap diri sendiri, yang pada gilirannya memperkaya kualitas hidup secara keseluruhan.

Artikel terkait :




Seni Menjaga Diri : Manfaat Self-Care dan Cara Menerapkannya dalam Kehidupan Anda

Self-care

Prolite – Dalam kehidupan yang serba cepat dan penuh tantangan, kita sering melupakan pentingnya merawat diri atau self-care. 

Artikel ini mengajak Anda menjelajahi arti merawat diri, mengungkap manfaatnya, dan memberikan panduan praktis untuk mengintegrasikan perawatan diri ke dalam kehidupan sehari-hari. 

Mari bersama-sama membuka pintu menuju ruang pribadi di dalam diri kita, di mana kesejahteraan dan kebahagiaan bersatu dalam harmoni. 

Apa itu Self Care?

Ilustrasi – Freepik

Merawat diri atau yang disebut self-care adalah saat kita dengan sengaja memberikan perhatian dan menjaga diri kita sendiri dengan baik. 

Ini termasuk berbagai aktivitas dan kebiasaan yang kita lakukan untuk membuat diri kita merasa lebih baik secara keseluruhan, baik secara fisik, pikiran, maupun emosi. 

Manfaat Self-Care

Ilustrasi – Freepik

Melakukan self-care memberikan sejumlah manfaat positif:

  1. Kesehatan Mental Lebih Baik: Mengurangi stres dan kecemasan, meningkatkan kesejahteraan pikiran.
  2. Menyegarkan Fisik: Melibatkan diri dalam kegiatan fisik meningkatkan energi dan kebugaran.
  3. Peningkatan Produktivitas: Memberikan waktu untuk diri sendiri meningkatkan fokus dan produktivitas.
  4. Hubungan Sosial yang Positif: Merawat diri dengan baik memperkuat hubungan sosial dan koneksi.
  5. Resiliensi Emosional: Praktik perawatan diri ini membantu mengembangkan ketangguhan emosional.
  6. Peningkatan Kualitas Tidur: Merawat diri meningkatkan kualitas tidur, mendukung kesehatan fisik dan mental.
  7. Peningkatan Kesejahteraan Umum: Memberikan perhatian pada berbagai aspek diri mencapai keseimbangan dan kesejahteraan.
  8. Pemberdayaan Diri: Bisa meningkatkan kontrol dan rasa kepercayaan diri.
  9. Kreativitas yang Meningkat: Aktivitas menyenangkan merangsang kreativitas dan perspektif baru.
  10. Pencegahan Burnout: Terlibat dalam perawatan diri dapat mencegah burnout, memberikan waktu pemulihan.

Cara Melakukan Self-Care

Ilustrasi – Freepik

  1. Me Time: Tentukan waktu khusus untuk bermeditasi, membaca buku, atau menikmati hobi.
  2. Aktivitas Fisik Seru: Lakukan olahraga yang disukai untuk dorongan endorfin positif.
  3. Makan dengan Sehat: Pilih makanan bergizi, hindari pola makan tidak sehat.
  4. Istirahat dan Tidur Cukup: Pastikan tidur yang cukup untuk pemulihan fisik dan mental.
  5. Meditasi atau Mindfulness: Latihan ini mengurangi stres dan ciptakan kedamaian pikiran.
  6. Batasi Pemakaian Gadget: Beri istirahat dari layar untuk menghindari kelelahan dan stres.
  7. Happy Time: Sisihkan waktu untuk kegembiraan dengan keluarga, teman, atau aktivitas yag disukai.

Dengan konsisten melakukan self-care, Anda tidak hanya mendukung diri sendiri, tetapi juga meningkatkan kemampuan menghadapi tantangan hidup dengan positif dan berdaya.




Self-Centered vs. Self-Love vs. Self-Respect: Pilih yang Mana Buat Hubungan Bahagia?

self-centered

Prolite – Holla, lovely peeps! Kalian pernah ngalamin hubungan yang agak bikin pusing karena ada orang self-centered di dalamnya? Atau mungkin pernah ngerasa jadi me-centered sendiri? Hmm, kebiasaan kayak gini bisa bikin heboh hubungan, lho!

Makanya, kali ini kita bakal ngobrolin tentang apa itu self-centered, kenapa bisa sampe bikin drama kehidupan, bedanya sama self-love dan self-respect, dan tentu saja, cara-cara seru buat tetap stay cool tanpa harus terperangkap dalam egomu sendiri! Are you ready? Let’s dive in!

Self-Centered: Saat Ego Jadi Bintang Utama

Cr. madiunpos

Apa itu self-centered? Menurut buku ‘Better Me’ karya Anna Sivia, self-centered itu kayak bentuk cinta yang cuma buat diri sendiri. Jadi, orang yang punya sikap ini bakal fokus banget ke dirinya sendiri dan nyaris nggak perduli ataupun peka sama yang lain.

Si self-centered ini tuh lebih suka mikirin kebaikan dan keuntungan buat dirinya sendiri. Semua yang dia lakuin, diutamakan demi kepuasan diri sendiri daripada ngasih perhatian ke orang lain. Mau apapun yang terjadi, dia bakal prioritasin kepentingan pribadinya tanpa terkecuali.

Kira-kira simpelnya itu kayak si superstar di dunia film, yang ngerasa jadi pemeran utama dalam hidupnya sendiri. Dia cenderung mikir kalau dia tuh “center of the universe”. Seolah-olah semua orang mikirin dia, dan dia adalah fokus dari seluruh makhluk yang ada di bumi dan langit!

Efek Negatif di Dalam Hubungan : Kayak Jalan Tol Satu Arah

Cr.

Nah, dampaknya apa sih kalau salah satu orang dalam hubungan kita jadi self-centered? Well, mau itu hubungan antar teman atau pacar, kalau ada yang punya sikap kayak gitu bisa jadi hubuingan kalian kayak jalan berlubang yang penuh rintangan.

Kenapa? Ya karena komunikasi kita bakal jadi susah, karena satu pihak aja yang sering ngomong. Empati, saling terbuka satu sama lain, dan komunikasi dua arah yang seharusnya bikin hubungan kuat jadi gak ada. Yang ada malah konflik yang nggak kelar-kelar karena satu orang keukeuh sama pendapatnya sendiri.

Selain itu, hubungan bisa jadi nggak seimbang. Salah satu pihak sibuk ngurusin diri sendiri, sementara yang lainnya cuma jadi penonton. Jadinya, salah satu pihak ngerasa diabaikan, bisa jadi minder, dan hubungan jadi cenderung dingin.

Di buku ‘Better Me’ juga dijelasin kalau orang yang punya self-centered bakal merasa pikiran dia tuh selalu yang bener. Kayak, apa aja yang ada di otaknya tuh dia anggep benar, gak bisa salah!

Nah, sifat kayak gini bikin mereka jadi nggak peduli sama perspektif orang lain. Mereka merasa kalau semua orang pasti berpikir sama kayak mereka, padahal itu nggak selalu bener. Nah, inilah yang bikin dia jadi si toxic people!

Self-Love vs. Self-Centered vs. Self-Respect : Pola Pikir Yang Beda Jauh

Cr.

Sekarang kita harus bisa bedain dulu antara self-love, self-centered, dan self-respect yang kalau diliat sekilas emang hampir mirip tapi sebenernya beda jauh.

Self-love itu kayak orang yang cinta diri sendiri, tapi nggak egois. Mereka bisa merawat diri sendiri dengan penuh kasih sayang tanpa harus mengabaikan perasaan orang lain. Mereka peduli sama diri sendiri tapi juga tahu cara untuk peduli dan menghargai orang lain di sekitar mereka.

Mereka tahu cara mengasihi diri sendiri tanpa harus menginjak-injak orang lain. Jadi, bedanya, self-centered itu “aku, aku, aku,” tapi self-love lebih ke “aku mencintai diriku, dan aku juga merangkul kamu.”

Nah, kalau self-respect ini tentang menghormati dan memperlakukan diri dengan nilai tinggi. Misalnya kayak kamu punya batasan yang jelas dan nggak bakal biarin orang lain injak-injak harga diri kamu. Intinya, kamu punya prinsip dan nggak akan kompromi sama itu!

Tapi, kalau kamu punya self-respect, kamu bisa ngerti kalau setiap orang punya peranan pentingnya masing-masing. Nggak ada yang lebih atau kurang, semua pantas dihormati dan dihargai.

Self-respect tuh kayak cermin ajaib yang bisa nunjukin gimana sikap baik yang bisa bikin kamu senang. Jadi, kamu bisa lihat, “Ini loh, contoh sikap yang bikin aku nyaman dan bahagia.” Dan setelah itu kamu juga kasih sikap dan energi positif yang sama ke orang lain.

Kita pasti pengen diperlakukan dengan baik dan hormat, kan? Pokoknya, self-respect itu nggak cuma tentang cinta diri, tapi juga tentang bagi-bagi kebaikan ke orang lain dengan tulus.

So, kamu udah bisa ngebedain mana yang harus kamu hindarin dan mana yang harus kamu perbaiki dalam diri kamu, belum?

Membangun Self-Love dan Menciptakan Hubungan Harmonis

Ok, sekarang yang ditunggu-tunggu,  bagaimana caranya jadi “me” yang enggak terlalu “me-centered”? Tenang, ada trik jitu yang bisa kamu coba:

  1. Praktik Empati: Coba lihat dunia dari sudut pandang orang lain. Mungkin mereka juga punya cerita menarik! Biarkan orang lain cerita dan dengerin mereka dengan penuh perhatian.
  2. Berbagi Waktu dan Perhatian: Luangkan waktu buat dengerin orang lain, ngobrol seru, dan tunjukin bahwa kamu peduli. Jangan ngejar-cerita tentang diri sendiri terus!
  3. Kembangkan Kesadaran Diri: Kenali dirimu lebih dalam. Nah, dari situ kamu bisa berkembang jadi pribadi yang lebih baik. Ingat, kita semua unik dan berharga. Cinta pada diri sendiri dimulai dari menerima diri apa adanya dan bersyukur atas kelebihan yang kita punya.
  4. Berikan Pujian dan Apresiasi: Jangan pelit pujian! Kasih tahu orang lain kalau kamu menghargai usaha dan kontribusi mereka. Jangan malah merasa lebih unggul atau meremehkan orang lain, ya!
  5. Bersikap Terbuka: Terima kritik dengan lapang dada. Ini bisa jadi peluang buat kamu tumbuh.

Cr. freepik

Wah, udah nyampe di akhir nih, teman-teman! Kita udah jalanin perjalanan asik tentang self-centered, efek buruknya di hubungan, bedanya sama self-love dan self-respect, plus trik-trik simpel buat hindari jadi si me-centered.

Ingat ya guys, hidup ini bukan cuma tentang kita aja, tapi juga tentang ikatan dan hubungan yang kita bangun bareng orang-orang yang ada di sekitar kita.

Jadi, yuk kita jadi agen perubahan dari me-centered ke we-centered! Kita bisa ciptain hubungan yang lebih harmonis, dan penuh cinta. Yuk coba terapin self-love dan self-respect ke diri sendiri, sambil selalu peduli dan menghargai orang-orang di sekitar kita. Keep the love flowing, guys! 🌟💕




Play Victim : 5 Alasan Mengapa Seseorang Suka Berperan Sebagai Korban

Play Victim

Prolite – Kalian pasti tau kan istilah “Play Victim” yang sering dibahas sama orang-orang? Yap, itu perilaku toxic yang dianggap menyimpang dan punya efek luar biasa bagi orang di sekitarnya. Kok bisa ya?

Kamu mungkin pernah ketemu sama orang yang suka ngeluh soal nasib buruknya. Pokoknya, mereka kayak tokoh di drama dan berperan sebagai korban terus. Nah, itu tuh namanya “play victims”. Kalo gitu, apa sih sebenernya playvict itu? Kenapa mereka bisa kayak gitu, apa aja dampak negatifnya, dan bagaimana kita bisa ngatasi masalah ini? Yuk, kita bahas lebih lanjut!

Apa itu “Play Victim”?

Jadi, play victims itu adalah perilaku orang-orang yang dengan sengaja berpura-pura jadi korban dalam situasi tertentu. Mereka nggak peduli sama tanggung jawab mereka sendiri atau apa yang mereka lakukan dalam permasalahan itu, dan gak pernah mau mengaku kalo mereka juga punya kesalahan.

Mereka gak mikirin solusi dan cuman fokus ke masalahnya dengan terus mengeluh. Yang mereka mau cuma cari perhatian dan simpati orang lain. Mereka suka ngeluh-ngeluh dan menyalahkan orang lain demi dapetin itu.

Kenapa Bisa Ada Orang yang Play Victims?

Ada banyak hal yang bisa bikin seseorang jadi kayak gitu. Ini dia beberapa alasan kenapa ada yang suka main play victim :

1. Punya pengalaman masa kecil yang traumatis

Jadi, orang yang suka nyalahin orang lain ini seringkali punya masa lalu yang nggak enak banget. Jadi ketika mereka playing victim, sebenernya mereka lagi ngejaga diri. Dan ternyata, rasa sakit emosional yang mereka alamin juga bisa bikin mereka susah kontrol diri dalam segala hal. Jadi, ya nggak mudah juga buat mereka.

2. Gangguan kepribadian narsis dan suka manipulasi

Orang yang suka playing victim itu biasanya seneng banget nyalahin orang lain dan pura-pura jadi korban. Mereka suka banget manipulasi orang lain buat dapetin simpati dan perhatian.

Eits, tapi jangan lupa, ini juga seringkali terkait sama kepribadian yang narsistik, loh. Mereka mikirnya mereka itu paling penting dibanding orang lain. Kalian bisa cari tau soal kepribadian narsistik di artikel berikut guys!

Mengenal Si NPD, Obsesi dengan Diri Sendiri yang Melampaui Batas

3. Punya rasa rendah diri dan kurang PD

Mereka merasa nggak berharga atau merasa nggak sanggup menghadapi tantangan hidup. Dengan berperan sebagai korban, mereka berharap bisa dapet pengakuan dan perhatian dari orang lain, yang pada akhirnya bisa bantu mereka meningkatkan kepercayaan diri. Jadi, intinya mereka nyari validasi dari luar biar mereka merasa lebih oke.

4. Dendam terhadap orang yang lebih sukses dari mereka

Pada dasarnya, perilaku playing victim ini adalah cara mereka melindungi diri ya kan. Nah, mereka merasa gak boleh kalah sama orang lain, jadi ada rasa iri dalam hati mereka. Rasa iri ini akhirnya berubah jadi dendam. Ketika ada kesempatan, mereka bakal manfaatin kesalahan orang lain dan ngerusak nama baik mereka. Makannya, mereka jadi korban buat bikin orang lain tampak jelek.

5. Adanya kecenderungan untuk menghancurkan diri sendiri

Maksudnya, mereka sering banget terjebak dalam pikiran negatif tentang diri mereka sendiri. Mereka lebih gampang percaya sama kalimat negatif kayak “hal buruk bakalan nimpa gue nih”, ”gue emang pantes dapet hal-hal buruk”, “gak ada yang peduli sama gue”, dan masih banyak lagi.

Padahal, pikiran-pikiran negatif itu malah bikin mereka tambah hancur. Nah, ini karena self talk yang negatif bisa merusak pertahanan diri mereka, dan bikin mereka terjebak dalam lingkaran keputusasaan. Jadinya, susah banget buat mereka bangkit dari keadaan yang buruk.

Dampak Bagi Diri Sendiri dan Orang Lain

Perilaku play victim ini punya dampak negatif yang bisa mempengaruhi baik diri sendiri maupun orang lain di sekitarnya. Yuk, kita lihat dampak negatifnya dan juga cara mengatasinya!

Dampak negatif bagi diri sendiri:

Freepik

1. Keterbatasan pertumbuhan pribadi

Kalo udah stuck jadi korban terus, kita jadi susah banget buat berkembang. Kita jadi nggak bisa belajar dari kesalahan dan menghadapi tantangan hidup dengan caranya sendiri.

Penting buat ubah pola pikir dan komit buat belajar dari pengalaman, baik yang bagus maupun yang nggak bagus. Jangan takut buat tanggung jawab atas tindakan dan keputusan yang kita ambil sendiri.

2. Rendahnya harga diri

Hal ini bisa bikin kita merasa rendah diri dan nggak berharga. Tapi, buat ngebangun harga diri yang lebih baik, kita perlu hargai diri kita sendiri dulu.

Kenali kelebihan dan prestasi yang udah kita capai, dan terima bahwa setiap orang punya kekurangan. Dengan punya penghargaan diri yang sehat, kita bisa atasi perasaan rendah diri tersebut.

3. Ketergantungan pada simpati orang lain

Orang yang main play victim biasanya nyari simpati dan perhatian dari orang lain. Tapi, sebenernya itu cuma ngasih kepuasan sesaat aja.

Kita perlu bangun kepercayaan diri dan lebih mengandalkan penghargaan dari dalam diri sendiri daripada tergantung pada pengakuan dari luar. Fokus pada pencapaian pribadi dan kepuasan yang kita dapetin dari hal-hal yang bener-bener berarti buat diri kita sendiri.

Dampak negatif bagi orang lain:

doktersehat

1. Kelelahan dan frustrasi

Temen-temen yang harus terus dengerin keluhan dan penyalahgunaan dari orang yang main play victim bisa capek dan kesel juga. Jadi, penting banget buat kita sadar kalo orang lain juga punya batasan. Kita perlu dukung mereka dengan empati, tapi nggak boleh menyalahgunakan perhatian mereka.

2. Kerusakan hubungan

Perilaku play victim bisa rusakin hubungan sama orang lain. Kalo terus-terusan nyalahin orang lain dan ngindarin tanggung jawab, bisa bikin kerenggangan dan kurang kepercayaan.

Kita perlu belajar bertanggung jawab atas tindakan kita, berkomunikasi jujur, dan bangun kepercayaan lewat tindakan yang konsisten. Jadi, kita harus punya tanggung jawab, komunikasi yang jujur, dan tunjukin aksi yang konsisten buat bangun kepercayaan.

Nah, sekarang udah pada tau kan, apa itu play victims dan efek sampingnya? Jadi, yuk kita tinggalkan pola pikir ini dan jadi orang yang bertanggung jawab atas hidup kita sendiri.

Mari berusaha untuk berkembang, menghargai diri sendiri, dan membangun hubungan yang sehat dengan orang lain. Dengan begitu, kita bisa menciptakan kehidupan yang lebih positif. Stay positive guys! 🌞




Self-Love, Gali Kekuatan Psikologis Kamu Yuk!

Prolite – Mencintai diri sendiri atau istilah populernya self-love, adalah langkah penting dalam perjalanan menuju kesehatan mental dan kebahagiaan pribadi.

Menurut Psikolog Deborah Khoshaba Psy.D, self-love adalah keadaan apresiasi terhadap diri sendiri yang bersifat dinamis, yang tumbuh dari tindakan yang mendukung pertumbuhan fisik, psikologis, dan spiritual kita, yang mana tindakan tersebut dapat membuat kita menjadi lebih dewasa (Psychology Today, 2012).

Menurut ilmu psikologi, memiliki rasa penghargaan dan kasih sayang terhadap diri sendiri membantu meningkatkan kualitas hidup dan menjaga keseimbangan emosional.

Terkadang, kita cenderung terlalu keras pada diri sendiri atau membandingkan diri dengan orang lain, yang dapat menghambat perkembangan pribadi dan mempengaruhi kesehatan mental.

Dalam artikel ini, akan dijelaskan beberapa cara efektif untuk mencintai diri sendiri berdasarkan penelitian psikologi.

  1. Mengembangkan Kesadaran Diri (Self-Awareness)

Penting untuk mengembangkan kesadaran diri yang mendalam tentang siapa diri kita sebenarnya, kekuatan dan kelemahan kita, nilai-nilai, minat, dan tujuan hidup kita. Dengan mengenali dan menerima diri sendiri, kita dapat membangun kepercayaan diri yang lebih kuat. Membuat jurnal, bermeditasi, atau berdiskusi dengan seorang terapis adalah beberapa metode yang dapat membantu dalam mengembangkan kesadaran diri.

  1. Perawatan Diri yang Seimbang (Self-Care)

Perawatan diri yang seimbang penting untuk memelihara kesejahteraan fisik, emosional, dan mental. Luangkan waktu untuk beristirahat, tidur yang cukup, makan makanan bergizi, dan berolahraga secara teratur. Temukan kegiatan yang memberikan kebahagiaan pribadi, seperti membaca, mendengarkan musik, atau menghabiskan waktu bersama orang-orang yang dicintai. Meluangkan waktu untuk diri sendiri juga termasuk kedalam bentuk penghormatan terhadap diri sendiri.

  1. Praktikkan Penghargaan Diri (Self-Appreciation)

Menghargai dan menghormati diri sendiri adalah kunci untuk mencintai diri sendiri. Bagaimana kamu menghormati dirimu sendiri merupakan contoh batasan bagaimana orang lain akan menghormatimu juga. Fokuslah pada prestasi dan pencapaian pribadi, bahkan yang kecil sekalipun.  Hindari membandingkan diri dengan orang lain dan berhenti mengkritik diri sendiri secara berlebihan. Alih-alih itu, latihlah diri untuk mengenali kualitas positif dan bakat yang dimiliki, dan jadikan mereka sebagai fondasi rasa penghargaan diri.

  1. Memahami Prestasi Pribadi (Self-Compassion)

Berbicara kepada diri sendiri dengan penuh pengertian dan kasih sayang adalah bagian penting dari mencintai diri sendiri. Jangan menyalahkan diri sendiri secara berlebihan ketika menghadapi kegagalan atau kesalahan. Sebaliknya, latihlah diri untuk menerima ketidaksempurnaan dan belajar dari pengalaman tersebut. Penelitian menunjukkan bahwa praktik kebaikan pada diri sendiri, seperti memberikan kata-kata pujian dan memperlakukan diri sendiri dengan lembut, dapat meningkatkan kesejahteraan emosional.

  1. Bedakan antara Self-Love dengan Selfish

Selfish atau Selfishness adalah perilaku yang egois dan tidak memperhatikan kepentingan orang lain. Perbedaannya ialah self-love melibatkan penerimaan diri sendiri, serta memenuhi kebutuhan pribadi dengan seimbang, sementara selfish melibatkan kepentingan diri yang berlebihan dan dapat merugikan hubungan dengan orang lain. Penting untuk membedakan keduanya dan mempraktikkan self-love dengan menghormati orang lain dan menciptakan keseimbangan yang sehat antara kebutuhan pribadi dan kepentingan sosial.

  1. Berkonsultasi dengan Profesional (Therapy)

Jika kesulitan mencintai diri sendiri terus berlanjut dan memengaruhi keseharian kita, penting untuk segera berkonsultasi dengan seorang terapis. Seorang terapis dapat memberikan dukungan, pemahaman, dan alat yang diperlukan untuk membantu kita mengatasi masalah ini dan membangun hubungan yang lebih positif dengan diri sendiri.

Dalam perjalanan mencintai diri sendiri, penting untuk diingat bahwa semua itu adalah proses yang berkelanjutan secara bertahap. Mencintai diri sendiri bukanlah sesuatu yang instan atau sempurna, tetapi merupakan komitmen untuk terus belajar, tumbuh, dan merawat diri kita dengan penuh kasih sayang.

Dalam kehidupan yang sering kali penuh dengan tekanan dan harapan dari luar, kita dapat terjebak dalam pola pikir negatif, merasa tidak berharga, atau mengabaikan diri sendiri demi kepentingan orang lain.

Oleh karena itu, mari kita ambil langkah kecil setiap hari untuk mencintai diri sendiri. Melalui praktik self-care, penerimaan diri, belas kasihan terhadap diri sendiri, dan yang lainnya, kita dapat mengembangkan hubungan yang lebih dalam dan bermakna dengan diri kita sendiri.

Ingatlah, self-love bukanlah egoisme, tetapi merupakan dasar penting untuk kesejahteraan psikologis dan hubungan yang baik dengan orang lain. Dengan mencintai dan menghargai diri sendiri dengan sehat, kita dapat menciptakan hidup yang lebih bahagia, berarti, dan memuaskan.




5 Sebab Kamu Bisa Overthinking, Simak Penjelasannya!

Overthinking

Prolite – Overthinking menjadi salah satu permasalahan kesehatan mental yang ada pada generasi muda saat ini. Lalu apa yang menyebabkan seseorang itu bisa overthinking?

Pertama-tama kita harus tahu dulu nih, apa sih overthinking itu? Sederhananya, overthinking merupakan sebuah perilaku atau kebiasaan dimana seseorang memikirkan sesuatu secara berlebihan seolah-olah tak ada ujungnya.

Menurut ilmu psikologi, pemikiran ini bisa mengarah ke arah yang negative dan hal tersebut dapat menimbulkan rasa kekhawatiran berlebih hingga menyebabkan stress.

Selain itu juga, menurut Dictionary of Psychology dari American Psychological Association, overthinking atau bahasa klinisnya disebut rumination merupakan pemikiran obsesif yang melibatkan pemikiran berlebih dan berulang yang mengganggu bentuk aktivitas mental lainnya.

Jika kamu sudah paham mengenai pengertian dari overthinking, mari kita simak penjelasan berikut mengenai penyebab kenapa kamu bisa overthinking:

  1. Self-Love yang Rendah

Ketika self-love kamu rendah maka kamu akan mudah mengalami insecure, dan ketika kamu mudah insecure maka kamu akan semakin sering untuk overtinking.

Kamu akan selalu berusaha untuk terlihat perfect, baik untuk dirimu sendiri ataupun orang lain, karena kamu terus peduli dengan apa yang orang lain pikirkan tentang kamu.

Dengan meningkatkan self-love kamu akan berusaha untuk tidak terlalu memikirkan pendapat negative dari orang lain tentang diri kamu. Selain itu, kamu juga akan menolak pikiran-pikiran yang terlalu over dengan sendirinya.

  1. Trauma

Kamu mungkin pernah mengalami sesuatu yang membuatmu ketakutan hingga membekas lama dan menjadi sebuah trauma.

Trauma yang belum bisa kamu sembuhkan itu dapat menyebabkan kamu menilai sesuatu berdasarkan apa yang kamu alami sebelumnya.

Kamu cenderung ingin melindungi diri sendiri agar traumamu tidak terulang kembali sehingga kamu overthinking dan overreacting karena takut sesuatu tersebut akan sama seperti traumamu yang dahulu.

Padahal tak jarang sesuatu tersebut, entah peristiwanya, waktunya bahkan tempatnyapun bisa sangat berbeda dengan traumamu yang dahulu.

  1. Anxiety dan Depression

Anxiety dan depression yang dimaksud disini ialah, overthinking biasanya disebabkan karena kamu ’khawatir akan masa depan’ dan bahkan ‘menyesal akan masa lalu’.

Padahal, keduanya hanyalah ilusi, hanya masa sekarang yang nyata adanya. Bisa jadi masa depan itu tidak pernah ada, dan masa lalu tak dapat diubah atau diulang kembali.

Salah satu cara yang agar tidak terlalu memikirkan kedua hal tersebut ialah, membuat prinsip bahwa lupakan masa lalu, hidup dimasa kini dan raih masa depan. Biarlah hal tersebut mengalir dengan sendirinya.

  1. Berandai-andai

Hampir mirip dengan pembahasan sebelumnya, berandai-andai akan masa lalu dan masa depan membuat kita overtinking.

Sebagai manusia, wajar bila kamu selalu ingin memastikan bahwa semuanya berjalan sesuai dengan rencana atau bahkan menyesali sesuatu yang berjalan tidak sesuai rencana.

Akan tetapi, satu hal yang perlu diingat bahwa, manusia boleh berencana namun Tuhan yang menentukan.

Oleh karena itu, kamu tidak perlu muluk-muluk ingin mengendalikan segala sesuatu dan harus sesuai dengan apa yang kamu rencanakan. Tetaplah berusaha dan setelah itu berserah dirilah kepada Yang Maha Kuasa.

  1. Keseimbangan

Yang terakhir ialah, keseimbangan antara ‘berdiam diri saja’ dengan ‘melakukan sesuatu’. Kita harus menyadari bahwa berdiam diri terlalu lama itu tidak bagus bagi pikiran kita, namun terlalu banyak melakukan kegiatan juga sama tidak bagusnya.

Karena dengan begitu otak kita akan mulai memikirkan banyak sekali hal dalam satu waktu yang bersamaan. Inilah mengapa sangat penting untuk menemukan balance dalam kegiatan sehari-hari kamu.

Itulah 6 penyebab mengapa kamu bisa overtinking. Perlu diingat pula, merenungkan sesuatu terlalu lama tidak akan menyelesaikan masalah yang sedang kita hadapi, itu hanya akan memperberat masalah dan akhirnya semakin sulit untuk kamu atasi. Terkadang berikap masa bodoh itu sangat diperlukan, lho!