Tall Poppy Syndrome: Fenomena Sosial Saat Orang Hebat Justru Dijatuhkan

Prolite – Tall Poppy Syndrome: Apa Itu & Mengapa Banyak Orang Mengalaminya?
Pernah nggak sih kamu merasa dicibir atau malah dijauhi hanya karena kamu berprestasi atau dianggap terlalu menonjol? Misalnya, kamu dapet penghargaan di kampus, tapi teman-teman malah bilang, “Ah, paling juga cuma hoki.” Atau di kantor, kamu berhasil naik jabatan, tapi rekan kerja justru jadi dingin dan sinis.
Nah, kalau kamu pernah mengalami hal itu, bisa jadi kamu sedang jadi korban dari Tall Poppy Syndrome (TPS) — sebuah fenomena sosial dan psikologis yang kini makin banyak dibicarakan di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Istilah ini kembali ramai di tahun 2025 karena meningkatnya kesadaran akan pentingnya mental well-being di tempat kerja dan lingkungan sosial.
Yuk, kita bahas lebih dalam fenomena ini, kenapa bisa muncul, dan gimana cara menghadapinya tanpa kehilangan rasa percaya diri.
Asal Usul Istilah Tall Poppy Syndrome
Istilah Tall Poppy Syndrome berasal dari Australia dan Inggris. Dalam budaya mereka, ada peribahasa kuno yang berbunyi, “Don’t be the tall poppy,” yang secara harfiah berarti “Jangan jadi bunga poppy yang tumbuh terlalu tinggi.”
Filsuf Yunani, Herodotus, bahkan sudah menyinggung konsep serupa sejak abad ke-5 SM, tentang bagaimana orang-orang yang terlalu menonjol akan dipotong agar sejajar dengan yang lain.
Di masyarakat modern, istilah ini digunakan untuk menggambarkan tekanan sosial agar seseorang tidak terlihat terlalu sukses atau berbeda. Negara-negara seperti Australia, Selandia Baru, dan Inggris dikenal dengan budaya egalitarian, yaitu pandangan bahwa semua orang harus setara.
Tapi sisi gelapnya adalah, ketika seseorang terlalu unggul, mereka bisa dianggap sombong atau mengancam harmoni sosial.
Menurut laporan dari The Guardian Psychology Report (2025), lebih dari 60% pekerja muda di Australia mengaku pernah menjadi korban atau pelaku Tall Poppy Syndrome, terutama di dunia kerja kompetitif dan media sosial.
Tanda-Tanda Kamu Mengalami Tall Poppy Syndrome
Fenomena ini bisa muncul di mana saja — sekolah, kampus, hingga kantor. Berikut beberapa cirinya:
- Komentar merendahkan atau sinis. Seperti, “Ah, nggak usah terlalu bangga, biasa aja kali,” atau “Cuma beruntung doang, nggak usah lebay.”
- Sikap ‘jangan terlalu menonjol’. Orang di sekitarmu menyarankan kamu buat lebih ‘rendah hati’, padahal mereka sebenarnya nggak nyaman melihatmu sukses.
- Prestasi dianggap ancaman. Alih-alih bangga, orang lain malah merasa terintimidasi dengan pencapaianmu.
- Tekanan buat menyamarkan kesuksesan. Kamu jadi takut cerita soal pencapaian karena takut dianggap pamer.
Di sekolah, siswa berprestasi bisa dijauhi oleh teman-temannya. Di kampus, mahasiswa aktif sering dicap ‘cari muka’. Di kantor, karyawan produktif justru jadi target gosip. Semuanya berakar dari rasa tidak nyaman orang lain terhadap keberhasilanmu.
Kenapa Tall Poppy Syndrome Bisa Terjadi?
Fenomena ini muncul dari kombinasi faktor psikologis dan budaya. Menurut Journal of Social Psychology (2025), ada tiga penyebab utama:
- Rasa takut dan rendah diri. Orang yang memiliki kepercayaan diri rendah sering merasa terancam ketika melihat orang lain sukses.
- Perbandingan sosial. Media sosial memperparah hal ini—melihat orang lain sukses bisa memicu rasa iri dan ingin menjatuhkan.
- Budaya egalitarian yang ekstrem. Masyarakat yang menekankan kesetaraan kadang keliru menafsirkan bahwa tidak boleh ada yang lebih menonjol.
Selain itu, di dunia kerja modern yang penuh tekanan, keberhasilan seseorang bisa dianggap ‘membahayakan posisi’ orang lain. Ini menyebabkan lingkungan kerja jadi kompetitif secara tidak sehat.
Dampak Tall Poppy Syndrome terhadap Individu dan Organisasi
Tall Poppy Syndrome bukan cuma bikin tidak nyaman, tapi juga punya dampak serius.
Bagi individu:
- Meningkatkan stres dan rasa cemas.
- Menurunkan rasa percaya diri.
- Membuat orang takut mempromosikan diri atau berbagi ide.
Bagi organisasi:
- Kehilangan inovasi karena orang takut tampil.
- Karyawan hebat memilih mundur.
- Kolaborasi jadi buruk karena suasana kerja penuh kecemburuan.
Penelitian dari Harvard Business Review (2025) menemukan bahwa perusahaan dengan tingkat TPS tinggi cenderung memiliki retensi karyawan lebih rendah 35% dibanding perusahaan yang menghargai pencapaian.
Cara Menghadapi Tall Poppy Syndrome Bila Kamu Jadi Sasaran
Nggak mudah menghadapi situasi ini, apalagi kalau kamu cuma ingin berprestasi tanpa niat ‘menyombongkan diri’. Tapi ada beberapa strategi yang bisa kamu lakukan agar tetap tenang dan sehat mental:
1. Hadapi kritik negatif dengan tenang.
Ingat, nggak semua kritik datang dari niat buruk, tapi kalau komentar terasa menjatuhkan, jangan langsung defensif. Kamu bisa jawab dengan kalimat assertive seperti, “Aku menghargai pendapatmu, tapi aku juga bangga dengan hasil kerjaku.”
2. Pilih lingkungan yang suportif.
Berkumpul dengan orang-orang yang menghargai pencapaianmu, bukan yang merasa terancam karenanya. Komunitas positif bisa bantu kamu tetap berkembang tanpa rasa bersalah.
3. Jaga kesehatan mentalmu.
Lakukan self-care dan batasi interaksi dengan orang yang suka komentar toxic. Kalau perlu, konsultasi dengan psikolog atau gabung support group biar nggak merasa sendirian.
4. Tetapkan tujuan pribadi.
Fokus pada nilai dan tujuanmu sendiri, bukan pengakuan orang lain. Kadang, cara terbaik untuk ‘menghadapi’ TPS adalah dengan terus maju tanpa perlu validasi eksternal.
5. Seimbangkan antara rendah hati dan bangga diri.
Rendah hati bukan berarti harus menyembunyikan prestasi. Kamu tetap bisa bersyukur dan berbagi pencapaian tanpa sombong, asal caranya tulus dan inspiratif.
Tall Poppy Syndrome mengingatkan kita bahwa dunia sering kali tidak selalu ramah terhadap kesuksesan. Tapi bukan berarti kamu harus menurunkan cahayamu hanya karena orang lain silau. Kamu berhak bangga atas kerja kerasmu.
Jadi, kalau kamu sedang berjuang atau baru mencapai sesuatu yang membanggakan, teruslah melangkah. Jangan biarkan komentar sinis menghalangi pertumbuhanmu. Ingat, bunga poppy yang tinggi bukan untuk dipotong—melainkan untuk dijadikan inspirasi agar taman jadi lebih indah.
Banggalah dengan dirimu. Karena setiap keberhasilanmu bukan ancaman—tapi bukti bahwa usaha itu selalu berarti.








