Stress Eating: Mengapa Kita Cenderung Makan Berlebihan Saat Tertekan?

Prolite – Stress Eating: Mengapa Kita Cenderung Makan Berlebihan Saat Tertekan?
Pernah nggak sih kamu sadar tiba-tiba sudah menghabiskan sekotak es krim atau sebungkus keripik setelah hari yang melelahkan? Kalau iya, kamu nggak sendirian. Banyak orang mengalami hal yang sama saat stres datang.
Fenomena ini dikenal sebagai stress eating atau emotional eating — kebiasaan makan berlebihan sebagai respon terhadap tekanan emosional, bukan karena benar-benar lapar. Tapi kenapa stres bisa bikin kita makan lebih banyak, bahkan cenderung mencari makanan manis atau berlemak? Yuk, kita bahas satu per satu!
Hormon Kortisol: Biang Kerok di Balik Nafsu Makan Berlebih
Saat tubuh mengalami stres, sistem saraf simpatik kita langsung aktif — tubuh mengeluarkan hormon adrenalin dan kortisol. Nah, kortisol inilah yang menjadi dalang utama meningkatnya nafsu makan.
Menurut penelitian dari Harvard Health (2024), kadar kortisol yang tinggi memicu keinginan tubuh untuk mendapatkan energi cepat, terutama dari makanan tinggi gula dan lemak.
Ini merupakan sisa mekanisme bertahan hidup manusia purba, di mana stres diasosiasikan dengan ancaman fisik, sehingga tubuh butuh energi untuk ‘melawan atau kabur’.
Bedanya, kalau dulu stres karena dikejar harimau, sekarang stres karena deadline atau tugas kuliah yang menumpuk.
Stres Akut vs Stres Kronis: Kenapa Reaksi Tiap Orang Bisa Beda
Tidak semua stres membuat orang makan lebih banyak. Pada stres akut (misalnya sebelum ujian atau wawancara kerja), tubuh justru bisa kehilangan nafsu makan karena adrenalin meningkat dan sistem pencernaan sementara ‘dimatikan’.
Namun, saat stres berlangsung lama — atau disebut stres kronis — kortisol terus diproduksi, dan inilah yang menyebabkan tubuh terus mencari ‘kenyamanan’ lewat makanan.
Fenomena ini disebut juga comfort eating. Kita makan bukan karena lapar, tapi karena ingin merasa lebih tenang. Makanan manis dan gurih mampu meningkatkan kadar dopamin di otak — hormon yang bikin kita merasa senang sementara. Tapi, sayangnya efek ini hanya sesaat.
Otak & Sistem Reward: Kenapa Makan Jadi Pelarian Emosional
Dari sisi neurobiologi, makan saat stres sangat terkait dengan sistem reward di otak, khususnya area yang disebut nucleus accumbens. Saat kita makan makanan enak, otak melepaskan dopamin yang memberikan rasa puas dan nyaman.
Karena itu, tubuh belajar mengasosiasikan makanan dengan rasa lega. Masalahnya, semakin sering kita melakukan hal ini, otak membentuk kebiasaan baru: setiap stres, makan.
Penelitian dari American Psychological Association (APA, 2025) menunjukkan bahwa orang dengan tingkat stres tinggi dua kali lebih berisiko mengalami emotional eating dibanding mereka yang memiliki regulasi emosi yang baik. Kalau dibiarkan terus, pola ini bisa berkembang jadi perilaku kompulsif seperti binge eating disorder.
Dampak Stres Eating pada Tubuh dan Pikiran
a. Kenaikan berat badan dan obesitas.
Konsumsi makanan tinggi gula dan lemak secara berlebihan menyebabkan kalori berlebih yang berujung pada peningkatan BMI. Studi meta-analisis dari Frontiers in Nutrition (2025) menunjukkan hubungan positif antara stres kronis, peningkatan kortisol, dan akumulasi lemak visceral (lemak di sekitar organ).
b. Gangguan metabolik.
Kebiasaan ini bisa mengganggu keseimbangan insulin, menaikkan kadar gula darah dan kolesterol. Dalam jangka panjang, risiko diabetes dan penyakit jantung meningkat.
c. Dampak psikologis.
Setelah makan berlebihan, banyak orang justru merasa bersalah dan kecewa pada diri sendiri. Hal ini bisa menimbulkan siklus negatif: stres → makan → rasa bersalah → stres lagi.
Strategi Mengendalikan Makan Saat Stres: Cara Praktis & Ilmiah
Tenang, bukan berarti kamu nggak bisa menikmati makanan lagi saat stres! Ada beberapa cara cerdas yang bisa kamu lakukan untuk mengendalikan stress eating tanpa harus menahan lapar berlebihan:
1. Sadari pemicunya.
Apakah kamu makan karena lapar fisik atau emosional? Biasanya lapar emosional datang tiba-tiba dan disertai keinginan terhadap makanan spesifik (misalnya cokelat atau gorengan). Coba tunggu 10 menit dan alihkan perhatianmu. Kalau lapar masih terasa, berarti itu lapar fisik.
2. Coba teknik mindfulness saat makan.
Makan perlahan, nikmati setiap gigitan, dan berhenti saat mulai kenyang. Teknik ini terbukti menurunkan asupan kalori dan meningkatkan kepuasan makan, menurut penelitian Journal of Behavioral Medicine (2024).
3. Kelola stres dengan cara sehat.
Alih-alih mencari camilan, coba olahraga ringan, jalan kaki, menulis jurnal, atau bermeditasi. Aktivitas ini membantu menurunkan kadar kortisol alami.
4. Penuhi kebutuhan nutrisi.
Pastikan tubuhmu tidak kekurangan magnesium, vitamin B kompleks, dan omega-3 — nutrisi ini berperan dalam menjaga keseimbangan mood dan mengurangi stres.
5. Jangan menyalahkan diri sendiri.
Sekali dua kali stress eating itu manusiawi. Yang penting, kamu menyadari polanya dan perlahan belajar mengendalikannya.
Dengarkan Tubuhmu, Bukan Hanya Emosimu
Stres memang bagian dari hidup, tapi cara kita meresponsnya bisa membuat perbedaan besar bagi kesehatan. Makan boleh, tapi jangan jadikan makanan sebagai pelarian utama setiap kali pikiran terasa berat.
Yuk, mulai berlatih mengenali tubuh dan emosimu sendiri. Kalau kamu merasa kebiasaan makanmu sudah sulit dikendalikan, nggak ada salahnya berkonsultasi dengan psikolog atau ahli gizi.
Karena makan dengan sadar bukan hanya soal menahan diri — tapi juga soal mencintai tubuhmu dengan cara yang lebih sehat dan bijak.






