Lebih dari Sekadar Cerita, Novel ‘Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati’ Menyentuh Isu Mental Health!

Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati

Prolite – Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati: Sebuah Novel yang Menggugah Tentang Isu Kesehatan Mental

Pernahkah kamu merasa hidup ini berat, begitu melelahkan, hingga kamu bertanya-tanya, “Apa sebenarnya tujuan hidupku?” Jika iya, maka novel Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati karya Brian Khrisna mungkin bisa menjadi bacaan yang mengena di hati. Novel ini bukan sekadar cerita tentang seseorang yang menikmati seporsi mie ayam, tapi juga perjalanan emosional seorang pemuda dalam menghadapi depresinya.

Diterbitkan oleh Gramedia, novel ini langsung mencuri perhatian pembaca karena keberaniannya mengangkat isu kesehatan mental dengan cara yang unik dan relatable.

Dengan latar kisah yang menggambarkan realitas kehidupan sehari-hari, novel ini bisa jadi bahan refleksi sekaligus pengingat bahwa setiap momen kecil dalam hidup memiliki makna yang besar.

Mengapa Novel Ini Berbeda?

Di tengah banyaknya novel bertema kesehatan mental, Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati menonjol karena pendekatannya yang sederhana tapi mendalam.

Brian Khrisna menuturkan kisahnya dengan bahasa yang ringan, tetapi tetap menyentuh. Cerita ini berfokus pada Ale, seorang pemuda yang merasa hidupnya hampa, penuh tekanan, dan kehilangan arah.

Ale adalah gambaran banyak orang di luar sana yang merasa terjebak dalam rutinitas yang membosankan dan tidak tahu bagaimana keluar dari lingkaran itu. Hingga suatu hari, ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Namun, sebelum melakukannya, ia ingin menikmati seporsi mie ayam terakhir—makanan favoritnya sejak kecil.

Perjalanan mencari mie ayam terbaik inilah yang membawa Ale bertemu dengan berbagai orang dengan cerita hidup yang berbeda.

Dari setiap pertemuan, ia menemukan perspektif baru tentang kehidupan dan bagaimana setiap orang memiliki cara masing-masing untuk bertahan.

Dibalik Layar: Inspirasi di Balik Novel Ini

 

Brian Khrisna tidak sekadar menulis fiksi. Novel ini terinspirasi dari pengalaman nyata seorang temannya semasa sekolah yang pernah mengalami depresi hingga memiliki keinginan untuk mengakhiri hidup.

Dari pengalaman itu, Brian juga melakukan wawancara dengan beberapa individu yang mengalami kondisi serupa, untuk memastikan cerita ini bisa merefleksikan kenyataan yang ada.

Dalam sesi peluncuran novel di Gramedia Matraman, Jakarta, pada 14 Februari 2025, Brian mengungkapkan bahwa kisah-kisah yang ia temui sangat ironis dan menyentuh.

“Menurut saya, ini adalah sesuatu yang harus dibicarakan lebih luas agar menjadi bahan diskusi banyak orang,” ujarnya.

Ia juga menegaskan bahwa novel ini tidak ingin menormalisasi tindakan bunuh diri, melainkan justru memberikan sudut pandang baru tentang bagaimana seseorang bisa bertahan di tengah depresi.

“Saya ingin menunjukkan bahwa meskipun kesedihan itu nyata dan berat, selalu ada alasan untuk tetap hidup, meski hanya untuk satu hari lagi.”

Membaca Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati seperti melihat refleksi dari realitas yang sering kita abaikan. Novel ini berhasil menggambarkan bagaimana kesehatan mental adalah isu serius yang perlu lebih banyak dibicarakan.

Melalui perjalanan Ale, kita diajak untuk memahami bahwa kesedihan itu valid, tetapi kita tidak harus menghadapinya sendirian.

Salah satu hal yang menarik dari novel ini adalah cara Brian Khrisna mengemas narasi yang berat menjadi sesuatu yang lebih mudah dipahami dan dekat dengan kehidupan kita.

Tidak ada kesan menggurui, tetapi justru memberikan ruang bagi pembaca untuk meresapi dan menarik kesimpulan sendiri.

Dari segi alur, novel ini cukup dinamis, dengan perpaduan emosi yang naik turun, membuat pembaca larut dalam perasaan Ale. Kita ikut merasakan kebingungan, kesepian, sekaligus harapan yang perlahan tumbuh dalam dirinya.

Satu lagi yang membuat novel ini istimewa adalah penggunaan mie ayam sebagai simbol kebahagiaan sederhana yang sering kita lupakan.

Sebuah Bacaan yang Layak untuk Semua Orang

Jika kamu sedang mencari bacaan yang bisa memberikan perspektif baru tentang kesehatan mental, Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati adalah pilihan yang tepat.

Novel ini bukan hanya cocok untuk mereka yang sedang berjuang dengan kesehatan mentalnya, tetapi juga bagi siapa saja yang ingin lebih memahami bagaimana rasanya berada di titik terendah dalam hidup.

Lebih dari sekadar cerita tentang mie ayam, novel ini mengajarkan bahwa setiap momen kecil dalam hidup bisa menjadi alasan untuk bertahan satu hari lagi.

Jadi, kalau kamu butuh bacaan yang menghangatkan hati sekaligus menggugah pikiran, pastikan novel ini ada dalam daftar bacaanmu!

Sudahkah kamu membaca novel ini? Kalau belum, yuk cari di toko buku terdekat atau Gramedia! Dan kalau sudah, share pendapatmu tentang buku ini di kolom komentar ya! 😊📚




Suka K-Pop? Jessica Jung Beberkan Dunia Idol Tak Seindah Itu Lewat Bukunya!

K-Pop

Prolite – K-Pop kini tengah mendunia. Dengan visual memukau, konsep yang unik, dan musik yang catchy, tidak heran jika banyak orang tergila-gila dengan dunia idol. 

Namun, di balik gemerlap panggung dan sorotan kamera, terdapat sisi lain dari industri hiburan yang mungkin tidak banyak diketahui.

Jessica Jung, mantan member Girls’ Generation, secara jujur mengungkap sisi gelap industri hiburan Korea Selatan melalui novelnya. 

Meski novel ini bergenre fiksi, tapi Jessica mengakui ada beberapa hal yang diambil dari pengetahuan dan pengalaman sebagai seorang idol.

Sebagai seseorang yang pernah merasakan langsung kerasnya persaingan dan tekanan menjadi seorang idol, Jessica memberikan gambaran yang sangat realistis tentang kehidupan para trainee dan idol.

– Gramedia

1. Shine

Dalam novel Shine, kita diajak mengikuti perjalanan Rachel Kim, seorang gadis remaja berbakat yang berjuang untuk menjadi idol K-Pop. 

Novel ini membawa kita masuk ke dalam dunia trainee yang penuh persaingan, pelatihan intensif, dan tekanan untuk selalu tampil sempurna. 

Novel ini juga menyinggung tentang isu sosial di Korea selatan. Seperti kuatnya patriarki, perlakuan yang sangat berbeda antara wanita dengan pria, dan sebagainya.

Novel ini dengan lugas menggam9barkan bagaimana seorang trainee harus mengorbankan waktu, tenaga, bahkan mimpi pribadi demi mencapai tujuan menjadi seorang bintang.

2. Bright

Sekuel dari Shine ini  melanjutkan kisah Rachel yang kini telah menjadi seorang idol terkenal. 

Novel ini mengupas lebih dalam tentang kehidupan seorang idol yang harus menghadapi rumor, skandal, dan tekanan untuk terus mempertahankan popularitas. 

Serta menyoroti pentingnya kesehatan mental dalam industri yang sangat kompetitif ini.

Jessica Jung – twitter

Novel Shine & Bright karya Jessica Jung adalah bacaan wajib bagi para penggemar K-Pop yang ingin mengetahui lebih dalam tentang industri hiburan Korea Selatan. 

Novel ini tidak hanya menghibur, tetapi juga membuka mata kita tentang sisi lain dari dunia yang terlihat glamor. 

Melalui tulisan Jessica, kita diajak untuk lebih menghargai perjuangan para idol dan menyadari bahwa kesuksesan yang mereka raih tidak datang dengan mudah.

Jessica Jung – Twitter

Meskipun novel ini menggambarkan sisi gelap dari industri hiburan, bukan berarti semua idol mengalami hal yang sama.

Setiap individu memiliki pengalaman yang berbeda-beda. Namun, novel ini memberikan gambaran umum yang cukup akurat tentang tantangan yang dihadapi oleh banyak idol.

Jadi, bagi kamu yang penasaran dengan kehidupan di balik layar dunia K-Pop, jangan lewatkan novel Shine & Bright karya Jessica Jung!




Jais Darga Namaku, Novel Karya Ahda Imran

Ahda Imran, penuli novel " Jais Darga Namaku"

Prolite – Dengan mengandalkan pengetahuan mendalam terhadap Jais Darga sebagai tokoh utama, Ahda Imran menuliskan novel autobiografi berjudul ‘Jais Darga Namaku’ yang dirilis pada 2018.

Menuangkan persepsi pribadi terhadap seseorang ke dalam bentuk novel, Ahda Imran memilih prosa sebagai bentuk karya tulisnya.

Di mata Ahda, Jais Darga bukan hanya perempuan pertama yang memiliki galeri seni, melainkan juga sosok menak sunda yang berhasil mendunia, dengan kemampuan sendiri.

“Bahkan Jais Darga berhasil ‘menundukan’ laki-laki, di tengah dominasi kaum adam di jagad Eropa. Hal itu yang bisa menjadi inspirasi bagi perempuan di Indonesia,” tutur Ahda.

Ahda memang mengenal Jais Darga dengan baik. Selama tiga tahun proses penulisan novel ini, Ahda mencoba berada di tengah-tengah kehidupan perempuan Sunda ini.

Untuk melahirkan autobiografi ini, Ahda Imran juga mempelajari benar bagaimana kehidupan anak muda pada 1970, perkembangan seni rupa dan perekonomian di Perancis.

“Hal ini perlu saya lakukan untuk bisa melihat dan merasakan langsung apa yang dialami Teh Jais saat itu,” tambahnya.

Bahkan Ahda dipersilahkan membaca surat cinta Jais Darga dan beberapa dokumen lain. Sudah sedemikian intens komunikasi Ahda, Jais dan keluarga besarnya, sehingga bagi Jais Darga, Ahda bukan lagi rekan kerja, namun lebih sebagai sahabat.

“Saya memang dimudahkan dengan surat-surat cinta dan dokumen lain milik Teh Jais yang masih disimpan rapi,” katanya.

Dalam karya ini, Ahda Imran menolak ada intervensi bahkan dari sang tokoh.

“Apa yang saya tuangkan ini, semua murni mengenai persepsi saya terhadap Teh Jais. Mungkin akan berbeda jika orang lain yang menulis,” tuturnya.

Meski demikian, Ahda Imran memperislahkan Jais untuk mengoreksi data dan kisah yang terkait dengan orang lain. Karena bagaimanapun juga dalam menulis autobiografi pasti melibatkan orang lain dalam penulisannya.

“Jadi setiap saya menyelesaikan satu bab, saya akan meminta Teh Jais mengecek dan mengoreksi jika ada data yang salah. Dan jika ada kisah orang lain yang tidak boleh dipublikasi, maka akan diedit,” jelasnya.

Di sisi lain, Jais Darga memepersilahkan Ahda untuk mengetahui kehidupannya lebih dekat. Bukan hanya karirnya sebagai art dealer, namun juga kehidupa pribadinya. Bahkan dengan ibunya.

“Bahkan saya mengenal ibu saya, melalui buku ini. Demikian juga denga ibu saya, mengenal saya lebih jauh dari buku ini,” terang Jais.

Jais juga menceritakan, bagaimana sang ibu menangis setelah membaca buku ini, karena menegtahui apa yang dirasakan Jais, demikian juga sebaliknya.

Menurut Jais, sebenarmya niat awal membuat buku ini, hanya untuk kebutuhan dokumentasi keluarga besar. Bahkan awalnya hanya dicetak sebanyak 500 copy, hanya untuk memenuhi kebutuhan minimal pencetakan buku.

“Ini awalnya hanya untuk keluarga dekat, dan untuk Mamih,” katanya.

Tak disangka, buku ini ditermia masyarakat luas, bahkan sekarang terjual laris di pasaran.

Ada kepuasan dalam diri Jais Darga setelah berhasil meraih kesuksesan yang ditandai dengan kemandirian finansial dan bagaiamana pencapaianya di dunia yang digelutinya, sehingga tidak bisa dinilai dengan materi. Karena awalnya, apa yang dia lakukan ini hanya untuk menyenangkan ibunya.

“Saya senang bisa membahagiakan orang tua terutama ibu saya. Tidak ada rasa jumawa dalam diri saya, hanya perasaan senang bisa membahagiakan orang tua,” pungksnya. (*)