World Suicide Prevention Month: September Bulan Penuh Harapan

World Suicide Prevention Month

Prolite – World Suicide Prevention Month: Saatnya Saling Mendengar dan Menguatkan di Bulan September

Setiap bulan September, dunia memperingati World Suicide Prevention Month atau Bulan Pencegahan Bunuh Diri Sedunia. Ini bukan sekadar momen seremonial, tapi panggilan untuk kita semua agar lebih peduli dengan isu kesehatan mental yang seringkali dianggap tabu.

Faktanya, menurut laporan terbaru World Health Organization (WHO, 2025), bunuh diri masih menjadi salah satu penyebab kematian tertinggi pada remaja dan dewasa muda di seluruh dunia. Artinya, ini bukan isu kecil, ini nyata, dekat, dan bisa terjadi pada siapa saja.

Kenapa September yang Dipilih?

World Suicide Prevention Month
World Suicide Prevention Month

Tanggal 10 September setiap tahunnya diperingati sebagai World Suicide Prevention Day. Dari situlah kemudian berkembang menjadi World Suicide Prevention Month sepanjang bulan September.

Tujuannya simpel tapi penting: meningkatkan kesadaran, membuka ruang percakapan, dan memberikan edukasi tentang bagaimana kita bisa membantu mencegah bunuh diri.

Tema global tahun 2025 yang diangkat oleh International Association for Suicide Prevention (IASP) adalah “Changing the Narrative: Hope Through Action.” Artinya, kita diajak untuk mengubah cara pandang terhadap isu bunuh diri, bukan lagi sekadar angka atau berita, tapi sebuah ajakan nyata untuk memberikan harapan lewat aksi.

Fakta Penting Tentang Bunuh Diri

Menurut data WHO (2025):

  • Setiap tahun, lebih dari orang meninggal karena bunuh diri.
  • Bunuh diri adalah penyebab kematian kedua terbesar pada usia 15–29 tahun.
  • Lebih dari 77% kasus bunuh diri terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Di Indonesia, Kementerian Kesehatan (2025) mencatat tren peningkatan kasus bunuh diri pada kalangan remaja. Tekanan akademik, masalah keluarga, kesepian, hingga stigma soal kesehatan mental jadi faktor utamanya.

Bunuh diri biasanya tidak terjadi karena satu faktor saja, melainkan kombinasi dari banyak hal. Beberapa di antaranya:

  • Masalah kesehatan mental seperti depresi, gangguan kecemasan, bipolar.
  • Tekanan hidup: masalah ekonomi, akademik, atau pekerjaan.
  • Kesepian dan isolasi sosial.
  • Trauma atau kekerasan di masa lalu.
  • Kurangnya akses dukungan baik dari keluarga, teman, maupun tenaga profesional.

Psikolog menekankan, orang yang berpikir untuk bunuh diri bukan ingin mati, tapi ingin mengakhiri rasa sakit yang mereka rasakan. Inilah kenapa empati dan pendampingan sangat penting.

Tanda-Tanda yang Harus Diperhatikan

Sering kali orang yang punya pikiran untuk bunuh diri menunjukkan tanda-tanda tertentu, meski halus. Beberapa tanda yang perlu kita waspadai antara lain:

  • Sering membicarakan tentang kematian atau merasa hidup tidak berarti.
  • Menarik diri dari pergaulan, lebih banyak menyendiri.
  • Perubahan drastis pada pola tidur atau makan.
  • Memberikan barang-barang berharga kepada orang lain.
  • Mengungkapkan perasaan putus asa atau merasa jadi beban.

Kalau kamu atau orang di sekitarmu menunjukkan tanda-tanda ini, jangan dianggap remeh. Itu bisa jadi sinyal minta tolong yang nggak terucapkan.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Kamu mungkin berpikir, “Aku bukan psikolog, jadi apa bisa membantu?” Jawabannya: bisa banget. Hal kecil yang kita lakukan bisa berdampak besar. Misalnya:

  1. Mendengarkan tanpa menghakimi. Kadang orang hanya butuh didengar.
  2. Menawarkan dukungan. Tanyakan kabar mereka, tunjukkan bahwa mereka tidak sendirian.
  3. Ajak bicara ke tenaga profesional. Jika memungkinkan, bantu hubungkan dengan psikolog atau konselor.
  4. Hapus stigma. Jangan melabeli orang yang struggling sebagai “lemah” atau “drama.”

Ingat, percakapan sederhana bisa menyelamatkan nyawa.

Peran Media Sosial

Di era digital, media sosial punya peran besar. Sayangnya, kadang justru jadi pemicu karena adanya perundungan, perbandingan hidup, atau berita hoaks. Tapi di sisi lain, medsos juga bisa jadi sarana berbagi cerita, menyebarkan informasi positif, dan membangun komunitas support system. Banyak organisasi kesehatan mental yang aktif kampanye di media sosial sepanjang September, jadi kamu bisa ikut menyuarakan pesan positif di sana.

Ayo Jadi Bagian dari Perubahan!

Bulan September bukan sekadar bulan biasa, tapi momen pengingat bahwa setiap nyawa itu berharga. Kalau kamu sedang merasa berat, ingatlah: kamu tidak sendirian. Dan kalau ada orang di sekitarmu yang berjuang, mungkin kehadiranmu bisa jadi cahaya kecil di tengah gelapnya hari mereka.

Jangan takut untuk membuka percakapan, jangan ragu untuk menawarkan bantuan, dan jangan malu untuk mencari pertolongan profesional. Karena mencegah bunuh diri bukan hanya tugas psikolog atau dokter, tapi tugas kita semua sebagai manusia.

Mari ubah September jadi bulan penuh harapan. Mari bersama-sama jaga satu sama lain, karena dunia ini masih butuh kamu, masih butuh kita;




Dopamine Menu: Cara Gratifikasi Sehat untuk Kesehatan Mental & Mood

Prolite – Bukan Sekadar Self-Care Biasa: Saatnya Coba Dopamine Menu! Cara Gratifikasi Sehat untuk Kesehatan Mental & Mood

Kamu pernah ngerasa stuck, burnout, atau mood anjlok padahal nggak ada alasan spesifik? Atau mungkin kamu sering ngerasa guilty karena scrolling medsos buat “healing”, tapi ujung-ujungnya malah makin capek? Nah, 2025 ini, ada satu konsep self-care baru yang mulai viral dan bisa banget kamu coba: dopamine menu.

Nggak kayak self-care mewah yang butuh liburan mahal atau treatment spa, dopamine menu itu simpel, murah, dan bisa kamu lakuin sehari-hari. Bahkan, saking praktisnya, kamu bisa nulis menu ini di post-it dan tempel di cermin kamar! Yuk kita bahas, apa sih sebenarnya dopamine menu itu, gimana cara bikin dan manfaatnya buat kesehatan mental kamu?

Apa Itu Dopamine Menu?

“Dopamine menu” adalah daftar aktivitas kecil yang secara sadar kamu pilih untuk memicu perasaan senang, rileks, atau puas—tanpa bikin ketagihan atau over-compensating. Idenya terinspirasi dari konsep dopamine detox, tapi versi yang lebih ramah, fun, dan realistis buat kita yang hidup di tengah dunia penuh distraksi digital.

Aktivitas di dalam menu ini biasanya ringan dan berdurasi singkat, tapi tetap punya efek menyenangkan secara emosional. Contohnya?

  • Dengerin lagu favorit 5 menit
  • Jalan kaki tanpa tujuan selama 10 menit
  • Gambar doodle bebas
  • Buat playlist musik baru
  • Nyalain lilin aroma terapi
  • Main sama hewan peliharaan
  • Ngeteh sore sambil baca buku

Yang penting: aktivitas ini bukan coping negatif kayak binge watching 5 jam, doomscrolling, atau ngemil berlebihan. Dopamine menu fokus pada gratifikasi kecil yang mindful dan konsisten.

Cara Bikin Dopamine Menu yang Sesuai Kamu Banget

  1. Kenali hal-hal kecil yang bikin kamu genuinely senang Luangkan waktu buat nanya ke diri sendiri: apa aja hal kecil yang bikin kamu merasa damai, puas, atau sekadar senyum sendiri? Tuliskan semua tanpa mikir apakah itu produktif atau tidak.
  2. Kelompokkan jadi kategori waktu atau energi Misal:
    • 5 menit: tarik napas dalam-dalam, nonton video kucing, stretching ringan
    • 15 menit: journaling, menyiram tanaman, ngopi sambil denger lagu
    • 30 menit: olahraga ringan, eksplor resep baru, DIY crafting
  3. Tempel di tempat yang mudah kamu lihat Bisa di kulkas, dinding meja kerja, atau jadi widget di HP. Intinya, kamu bisa lihat dan pilih menu sesuai mood kamu saat itu.
  4. Latihan pakai menu saat stress muncul Jangan nunggu sampai mental breakdown. Biasakan untuk ambil salah satu aktivitas saat kamu mulai ngerasa tegang, lelah, atau bosan.

Manfaat Nyata Dopamine Menu (Berdasarkan Riset dan Praktik 2025)

Menurut laporan terbaru dari American Journal of Lifestyle Psychology edisi Juli–Agustus 2025, intervensi berbasis dopamine menu dapat menurunkan tingkat stres hingga 32% pada kelompok pekerja usia 20–35 tahun dalam waktu 3 minggu.

Kenapa bisa efektif?

  • Membantu regulasi dopamin alami tanpa harus konsumsi makanan tinggi gula, medsos berlebihan, atau belanja impulsif.
  • Membangun kebiasaan positif yang pelan-pelan memperbaiki pola pikir dan rutinitas harian.
  • Mencegah burnout karena jadi punya titik jeda emosional yang jelas setiap harinya.
  • Meningkatkan mood & produktivitas, terutama kalau dilakukan konsisten di pagi/sore hari.

Meski terdengar positif, penting untuk diingat bahwa dopamine menu bukan pelarian dari masalah utama. Ini bukan cara untuk menghindari emosi negatif, tapi sebagai alat bantu recharge agar kamu bisa menghadapi hari dengan lebih seimbang.

Juga, jangan jadikan ini sebagai alasan buat ngehindar dari bantuan profesional. Kalau kamu merasa gejala depresi, kecemasan, atau burnout makin intens, tetap pertimbangkan konsultasi ke psikolog.

Tips Integrasi dalam Rutinitas Harian:

  • Mulai dengan 1 aktivitas dari menu setiap pagi setelah bangun tidur.
  • Gunakan alarm/kalender untuk pengingat aktivitas dopamine menu.
  • Coba tantangan 7 hari dopamine menu bareng teman atau pasangan.
  • Evaluasi mingguan: aktivitas mana yang paling bikin kamu recharge?
  • Kombinasikan dengan teknik mindfulness (misalnya tarik napas sadar saat jalan kaki).

Dopamine menu bukan tren kosong—ini adalah bentuk self-care yang humble tapi berdampak. Cocok banget buat kamu yang sibuk, gampang cemas, atau sedang ingin memperbaiki mood tanpa drama.

Jadi, yuk mulai bikin dopamine menu versimu sendiri! Coba 3 aktivitas hari ini, dan lihat bagaimana perubahan kecil bisa jadi titik balik buat keseimbangan mentalmu.

Jangan lupa share menu kamu ke teman-teman juga biar kita bisa saling inspirasi dan healing bareng. Siapa tahu, hal kecil kayak dengerin lagu favorit atau minum teh hangat sore-sore bisa jadi kunci mood booster kamu hari ini! 🌟




‘Therapy‑Bro Summer’: Laki‑Laki Juga Butuh Bantuan Mental

Therapy‑Bro Summer

Prolite – Therapy‑Bro Summer: Laki‑Laki Juga Butuh Bantuan Mental, Saatnya Cowok Juga Healing!

Kalau dulu ada tren Hot Girl Summer, sekarang muncul gerakan baru yang lagi ramai di kalangan Gen Z dan Millennial cowok: Therapy‑Bro Summer. Apa tuh?

Istilah ini menggambarkan fenomena positif di mana semakin banyak laki-laki mulai terbuka untuk urusan kesehatan mental—dari ikut terapi, curhat ke konselor, sampai baca buku self-help dan meditasi. Yup, bukan hal tabu lagi buat cowok menangis atau bilang, “Gue lagi burnout.”

Menariknya, tren ini juga jadi “green flag” dalam dunia percintaan. Banyak yang bilang, cowok yang peduli mental health, punya EQ tinggi, dan mau berkembang secara emosional, itu super menarik! Yuk kita bahas lebih dalam kenapa ini penting dan gimana kita bisa dukung bareng-bareng!

Cowok & Terapi: Dari ‘Tabu’ Jadi Tren Kesehatan

 

Dalam budaya lama, cowok sering diharapkan jadi kuat, pendiam, dan tahan banting. Tapi studi terbaru dari American Psychological Association (2025) menunjukkan, lebih dari 40% pria usia 18–30 tahun mulai mengakses layanan terapi secara aktif.

Ini bukan cuma tren, tapi tanda bahwa maskulinitas sedang mengalami redefinisi. Pria sekarang mulai sadar bahwa:

  • Nggak semua luka harus ditahan sendiri.
  • Terapi bukan berarti lemah.
  • Memahami emosi = bentuk keberanian, bukan kelemahan.

Tokoh-tokoh publik kayak Timothée Chalamet, Harry Styles, hingga beberapa influencer lokal pun terbuka soal pengalaman mereka dengan terapi. Ini makin memperkuat normalisasi.

Efek Positif: Dari Diri Sendiri ke Hubungan yang Lebih Sehat

Ilustrasi zodiak yang diramalkan mendapat kabar bahagia mengenai percintaannya di bulan Oktober 2023.

Mau tahu apa dampaknya kalau cowok mulai rajin ngecek kondisi emosinya? Banyak banget!

🧠 Naiknya EQ (Emotional Intelligence)

  • Bisa mengenali dan mengelola emosi sendiri.
  • Lebih peka sama perasaan orang lain.

💬 Komunikasi Jadi Lebih Baik

  • Cowok yang terbiasa buka obrolan soal perasaan, biasanya juga jago menyampaikan kebutuhan tanpa drama atau marah-marah.

❤️ Hubungan Lebih Tulus

  • Baik itu dalam persahabatan atau pacaran, keterbukaan dan empati bisa memperkuat ikatan.

Psikolog hubungan, Dr. Vania Safitri (2025), menyebut ini sebagai emotional empowerment. Menurutnya, “pria yang menjalani terapi lebih mampu mempertahankan hubungan sehat dan menghindari pola toxic.”

Tips Therapy‑Bro Summer : Ajak, Dukung, Jangan Hakimi

Kalau kamu cowok dan lagi kepikiran buat nyoba terapi, atau punya teman/pacar yang lagi struggle tapi belum yakin buat mulai, ini beberapa tips simpel yang bisa dicoba:

Mulai dari Obrolan Ringan

Coba tanya, “Pernah kepikiran pengin ngobrol sama profesional nggak? Kayaknya bisa ngebantu banget deh.”

🤝 Ajak Bareng

Ada layanan konseling online yang bisa bareng pasangan atau teman. Bisa juga ikut webinar atau diskusi kesehatan mental bareng.

🔄 Normalisasi Rentan Itu Manusiawi

Bilang ke dia (dan diri sendiri) bahwa menangis, ngerasa gagal, atau burnout itu normal. Yang penting, tahu kapan harus minta bantuan.

📱 Sumber & Akses Terapi Zaman Now

  • Apps seperti Riliv, Mindtera, atau Halodoc menyediakan layanan curhat hingga terapi.
  • Banyak juga platform komunitas seperti #BeraniBercerita yang siap dengerin.

Mari Revisi Maskulinitas: Kuat Bukan Berarti Diam

Kita perlu dukung perubahan narasi: bahwa jadi cowok bukan berarti harus memendam. Justru, semakin jujur sama diri sendiri dan berani healing, semakin sehat dan kuat secara emosional.

Kita juga bisa mulai dari hal kecil:

  • Dukung teman cowok buat ngomongin perasaan
  • Stop ejekan kayak “baperan banget sih lo”
  • Rayakan cowok yang self-aware, bukan cuma yang macho atau kompetitif

Ingat, vulnerability is power.

This Summer, Saatnya Cowok Ikut Healing!

Jadi… siapkah kamu atau teman cowok kamu menyambut Therapy‑Bro Summer? Ini bukan cuma soal tren. Ini soal menyadari bahwa semua manusia—termasuk pria—punya hak buat sehat mental.

Yuk jadi bagian dari generasi yang sadar emosi dan nggak takut minta bantuan. Karena ketika cowok bisa nangis, ngobrol jujur, dan merawat diri, kita semua jadi lebih kuat—bareng-bareng.

Kalau kamu punya pengalaman seru soal healing journey atau support teman cowok ke terapi, share dong di komentar. Siapa tahu bisa jadi inspirasi buat yang lagi butuh langkah pertama. 🌿🧠💪




Gen Z Bangkit! Dari Sleepmaxxing Sampai Aplikasi Terapi: 5 Langkah Untuk Kesehatan Mental Terbaik

Sleepmaxxing

Prolite – Gen Z Bangkit! Dari Sleepmaxxing Sampai Aplikasi Terapi: 5 Langkah Untuk Kesehatan Mental Terbaik

Halo, kamu—yang lagi rebahan scroll TikTok, atau sedang nyari cara agar hati dan pikiran tetap tenang di tengah segala tekanan. Kalau kamu Gen Z, kemungkinan besar mental health sudah masuk ke dalam topik harian, kan?

Nah, dalam artikel ini kita bakal ngobrolin tren keren kayak sleepmaxxing, komunitas offline, dan aplikasi terapi yang bisa kamu banget manfaatin buat menjaga kesehatan mental. Plus, tips praktis supaya rutinitas kamu makin seimbang antara teknologi dan emosi. Yuk, simak bareng-bareng!

1. Tren Mental Health Awareness: Sleepmaxxing, Komunitas Offline & Pengelolaan Stres

a. Sleepmaxxing: TikTok-nya tidur berkualitas

Tren sleepmaxxing lagi hits banget di kalangan Gen Z. Intinya, bukan sekadar tidur lama, tapi bikin tidur berkualitas maksimal—dengan trik seperti blackout curtains, magnesium mocktail, mouth-taping, hingga weighted blanket. Banyak yang bangga bilang “sleep is the new flex” karena jadi simbol self-care.

Tapi hati-hati juga, ya. Para ahli mengingatkan kalau terlalu obses bisa bikin stres karena kejar “tidur sempurna” (orthosomnia), padahal simpel aja: konsistensi waktu tidur, rutinitas tenang sebelum tidur, dan aktivitas fisik bisa lebih efektif .

b. Komunitas offline: Koneksi nyata jadi obat stres

Gen Z bukan cuma ketagihan layar—ini generasinya yang banyak rindu obrolan langsung. Data Gen Z Wellbeing Index 2025 nyebut Gen Z makin bangun kesadaran diri, mencoba coping lewat hobi, olahraga, dan volunteer. Mereka merasa lebih baik dengan interaksi offline, bukan cuma pamer lewat feed.

Bergabung seperti kelas run club, klub baca, atau jalan sehat bareng bisa bantu mood, meningkatkan koneksi sosial, dan mengurangi rasa kesepian—yang secara psikologis sangat mendukung kesehatan mental.

c. Tekanan eksternal & manajemen stres

Gen Z menghadapi tekanan dari banyak sisi: AI, ketidakpastian pekerjaan, biaya hidup, dan perubahan iklim . Stres dari hal-hal ini dapat memicu kecemasan, insomnia, hingga depresi ringan. Penting punya cara mengelola stres: atur waktu, buat prioritas, dan belajar berkata “tidak”. Jangan lupa cari tahu juga apakah stres yang dialami sudah masuk kategori yang perlu bantuan profesional.

2. Aplikasi & Teletherapy: Headspace, BetterHelp, Talkspace

a. The booming mental health apps market

Pasar aplikasi kesehatan mental global tumbuh pesat: diperkirakan mencapai USD 8 miliar di 2025, lalu bisa menyentuh USD 15–24 miliar antara 2029–2032. Kenapa naik? Karena smartphone makin terjangkau, stigma mental health turun, dan banyak orang butuh akses cepat ke self-care dan terapi.

b. Headspace: Meditasi ala sahabat pribadi

Headspace populer banget karena memberikan panduan meditasi harian, teknik relaksasi, dan sleep stories. Dirancang untuk cegah stres dan bangun mindfulness sebelum gondok atau kekesalan jadi beban besar. Berfokus pada pencegahan, bukan cuma “obat” setelah masalah datang.

c. BetterHelp & Talkspace: Bawa terapis ke saku kamu

  • BetterHelp: Memiliki ribuan terapis berlisensi, menyediakan sesi via chat, call, atau video, plus 4 sesi live tiap bulan.

  • Talkspace: Mirip, tapi banyak tersedia unlimited messaging, pilihan paket audio/video, cocok buat yang ingin terapi fleksibel.

Perlu diingat: meskipun mudah, pilih aplikasi dengan kebijakan privasi aman dan terapis berlisensi.

3. Tips Harian: Meditasi, Journaling, Komunitas Lokal, & Sinergi Teknologi–Emosi

Ilustrasi langkah jurnaling bagi pemula (freepik).

a. Meditasi & relaksasi ringan

Tak perlu lama, 5–10 menit meditasi atau pernapasan mendalam tiap pagi atau malam cukup buat reset mindset. Headspace atau Calm bisa bantu pemula nyaman ‘masuk’ ke meditasi.

b. Journaling: Teman ngobrol pribadi

Tuliskan isi hati setiap hari—apalagi soal stres, emosi, atau hal kecil yang bikin senang. Secara psikologis ini membantu regulasi emosi dan mengenali pola perasaan.

c. Dukungan komunitas lokal

Cari komunitas lokal kece di Bandung: barangkali ada komunitas mindful walking, yoga, atau kelompok baca. Barengan sama orang yang punya visi sama bikin support system jalan terus.

d. Sinergi antara teknologi & well‑being

Gunakan alarm tanpa layar, kurangi notifikasi berat, serta optimalkan teknologi seperti sleep trackers atau aplikasi therapy, asal tidak menyebabkan kecemasan berlebihan karena terlalu detail. Tetap utamakan kebutuhan spesifik dari tubuh dan pikiranmu.

Yuk, Mulai Jalan Kecilmu!

Gen Z, kamu sudah berada di posisi yang unik: semakin sadar soal kesehatan mental, terbuka untuk cari solusi, dan punya akses teknologi plus komunitas. Tantangan luar memang banyak, tapi teknologi juga bisa jadi alat bantu, bukan musuh.

Mulai dari hal sederhana hari ini:

  1. Coba atur jam tidur—cocokkan dengan sleepmaxxing yang sesuai versi kamu: blackout blinds atau pre-sleep ritual sederhana.

  2. Install Headspace kalau penasaran meditasi, atau cek BetterHelp/Talkspace jika merasa perlu curhat profesional.

  3. Coba journaling kecil-kecilan—tulis 3 hal yang kamu syukuri hari ini.

  4. Join komunitas offline di Bandung—keluar, ngobrol langsung, rasakan bedanya.

 Share juga tips unik kamu supaya kita sama-sama sehat pikiran dan hati. Semangat terus, ya! Stay healthy guys! 😊