Hanturium: Game Horor Rumah Sakit yang Siap Bikin Merinding di Setiap Playthrough

Hanturium

Prolite – Hanturium: Game Horor Rumah Sakit yang Siap Bikin Merinding di Setiap Playthrough

Selamat datang kembali di edisi malam Jumat, Sobat Horor! Kali ini, kita akan ngebahas sebuah game horor lokal yang lagi ramai dibicarakan, yaitu Hanturium.

Game ini bukan sekadar menakut-nakuti dengan jumpscare, tapi menghadirkan perpaduan horor, misteri, dan intrik keluarga yang bikin pengalaman bermainnya terasa segar sekaligus mencekam. So, stay connect with us karena kita bakal kupas tuntas semua hal menarik dalam game ini!

Dari Studio Lokal untuk Dunia

Hanturium adalah proyek ambisius yang digarap oleh M. Iqbal Aribaskara bersama dengan Oray Studios, Plexus TechDev Studio, dan Superfiksi (yang melibatkan nama besar seperti Andi Martin & Haryadhi). Game ini membawa kita ke tahun 1985, tepatnya ke sebuah rumah sakit tua bernama Mertahita. Di sinilah seluruh teror dimulai.

Rumah Sakit Mertahita: Setting yang Penuh Misteri

Kisah Hanturium berpusat pada Ida, seorang perawat yang ditugaskan menjaga pasien kaya raya bernama Ricardo Hartowo. Tapi, bukannya tugas rutin, Ida justru dihadapkan pada kejadian-kejadian aneh: suara misterius di lorong, catatan medis yang nggak sinkron, hingga bayangan hitam yang mengintai di balik pintu. Sejak Ricardo menunjukkan gejala misterius yang sulit dijelaskan, rumah sakit Mertahita seolah berubah menjadi medan teror.

Bukan cuma hantu, tapi juga intrik manusia ikut jadi ancaman. Intrik keluarga Hartowo dan lingkaran orang-orang terdekatnya menciptakan lapisan misteri yang bikin permainan makin kompleks.

Horor Bertemu Misteri Whodunit

Yang bikin Hanturium beda dari kebanyakan game horor adalah sentuhan misteri whodunit. Alih-alih sekadar mengejar jumpscare, game ini menantang pemain untuk mencari tahu siapa dalang yang sebenarnya mencoba menghabisi Ricardo.

Uniknya, pelaku ditentukan secara acak setiap kali pemain memulai ulang permainan. Bisa jadi dokter keluarga yang tampak baik hati, penasihat spiritual yang penuh teka-teki, atau anggota keluarga yang menyimpan dendam. Artinya, setiap playthrough bakal kasih pengalaman baru, bikin pemain terus waspada dan nggak bisa menebak jalan cerita dengan mudah.

Menjadi Ida: Tugas yang Penuh Ketegangan

Sebagai Ida, pemain nggak hanya pasif menghadapi teror. Ada banyak tugas yang harus dijalani: memeriksa catatan dokter maupun dukun, mengawasi mesin life support, hingga mengumpulkan bukti dari anomali gaib yang muncul.

Dialog dan interaksi dengan karakter lain jadi kunci penting. Satu percakapan bisa membuka jalan ke kebenaran, atau justru menjerumuskan Ida ke bahaya.

Waktu juga jadi faktor menegangkan. Hanturium mendorong pemain menyelesaikan misteri secepat mungkin. Kalau terlalu lama, nyawa Ricardo—dan mungkin nyawa Ida sendiri—bisa melayang.

Sejak awal, Hanturium terasa sangat Indonesia. Dari nama rumah sakit, karakter, sampai detail kecil seperti catatan medis dan kepercayaan spiritual, semua membawa nuansa lokal yang kuat. Visualnya pun terinspirasi dari gaya komik klasik, menghadirkan kesan retro yang pas dengan setting tahun 1985.

Gabungan horor, misteri keluarga, dan estetika visual ini menghadirkan pengalaman yang bukan hanya mencekam, tapi juga penuh nostalgia. Inilah yang bikin Hanturium langsung jadi sorotan di komunitas gamer horor, baik lokal maupun internasional.

Antusiasme Publik dan Perilisan

Meski baru dalam tahap demo, Hanturium sudah berhasil bikin banyak gamer penasaran. Kritikus menyebut game ini sebagai salah satu proyek horor Indonesia paling segar dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan, beberapa membandingkannya dengan game horor lokal lain seperti Pamali dan DreadOut—dua judul yang sukses mengangkat horor Nusantara ke kancah global.

Menurut jadwal, Hanturium rencananya akan rilis pada tahun 2026 mendatang. Untuk sementara, publik sudah bisa me-wishlist game ini di Steam, menandakan betapa tingginya ekspektasi gamer.

Siapkah Kamu Hadapi Teror Mertahita?

Hanturium bukan sekadar game horor dengan jumpscare murahan. Ia adalah perpaduan antara teror gaib, misteri keluarga, dan intrik manusia, semua dibalut dengan nuansa lokal yang kuat. Dari sudut lorong rumah sakit yang gelap hingga percakapan samar dengan karakter lain, semuanya dirancang untuk bikin jantungmu berdegup kencang.

Pertanyaannya sekarang, apakah kamu berani melangkah ke Rumah Sakit Mertahita dan mengungkap rahasia di balik teror ini?

Karena ingat, di Hanturium, bukan cuma hantu yang bisa menghabisimu—tapi juga manusia. 👻




Languishing: Saat Hidup Terasa Monoton dan Kehilangan Arah

Prolite – Languishing: Saat Hidup Terasa Monoton dan Kehilangan Arah

Pernah nggak sih kamu merasa hidup terasa hambar? Bangun tidur rasanya biasa aja, kerja atau kuliah dijalani sekadar kewajiban, lalu malamnya ditutup dengan scrolling tanpa arah. Kamu nggak sedang sedih banget, tapi juga nggak bahagia. Kalau iya, bisa jadi kamu sedang mengalami languishing.

Kondisi ini bukan depresi, tapi juga bukan sekadar rasa bosan biasa. Para psikolog menyebutnya sebagai “ruang abu-abu” kesehatan mental: nggak sakit, tapi jelas nggak sehat.

Fenomena languishing pertama kali ramai dibicarakan saat pandemi COVID-19, ketika banyak orang merasa terjebak di rumah dengan rutinitas monoton. Tapi faktanya, bahkan setelah pandemi mereda, banyak orang masih mengalaminya hingga sekarang.

Nah, menariknya, penelitian menunjukkan bahwa orang yang languishing punya risiko jauh lebih tinggi mengalami depresi dalam beberapa tahun ke depan kalau dibiarkan begitu saja.

Apa Itu Languishing?

Languishing adalah kondisi di mana seseorang merasa stagnan, kosong, dan tidak merasakan emosi ekstrem—baik senang maupun sedih. Hidup terasa hambar. Tidak ada semangat, tidak ada tujuan yang jelas, bahkan aktivitas sehari-hari dijalani tanpa rasa keterhubungan.

Berbeda dengan depresi klinis yang punya gejala intens (seperti hopelessness, merasa tidak berharga, atau ide bunuh diri), languishing lebih samar, tapi tetap berbahaya.

Adam Grant, seorang psikolog organisasi, menyebut languishing sebagai “kekosongan emosional” yang bikin kita nggak berkembang. Orang yang languishing bisa terlihat baik-baik saja dari luar, tapi sebenarnya mereka sedang kehilangan makna hidup.

Risiko Nyata: Dari Languishing ke Depresi

Banyak orang meremehkan kondisi ini dengan anggapan “ah, cuma lagi bosen.” Padahal, studi kesehatan mental menemukan bahwa orang yang mengalami languishing punya risiko 27% hingga 117% lebih tinggi mengalami kecemasan atau depresi dalam 4 tahun berikutnya dibandingkan mereka yang flourishing (hidup sehat, penuh makna, dan bahagia).

Kenapa bisa begitu? Karena kondisi ini membuat otak dan tubuh terus berada di kondisi low energy tanpa arah. Lama-lama, hal ini bisa menurunkan imunitas, bikin pola tidur berantakan, hingga memicu penyakit fisik seperti jantung dan tekanan darah tinggi.

Dari sisi psikologis, languishing juga bikin seseorang lebih mudah menarik diri dari hubungan sosial, yang akhirnya memperkuat rasa kesepian dan menurunkan produktivitas.

Tanda-Tanda Kamu Sedang Languishing

Coba cek beberapa tanda berikut, apakah kamu mengalaminya:

  • Kehilangan motivasi, bahkan untuk hal-hal kecil yang biasanya menyenangkan.
  • Merasa hidup nggak punya tujuan, cuma dijalani begitu aja.
  • Mudah terdistraksi atau susah fokus.
  • Menjauh dari hubungan sosial, lebih memilih sendirian.
  • Rutinitas terasa monoton, setiap hari mirip copy-paste.

Kalau tanda-tanda ini muncul lebih dari sekadar fase sementara, bisa jadi kamu lagi languishing.

Cara Sederhana Mengatasi Languishing

Kabar baiknya, hal ini bisa diatasi dengan langkah kecil. Bahkan, terapi yang efektif sering kali bukan hal rumit, tapi justru praktik sederhana sehari-hari.

  1. Flow: Tenggelam dalam Aktivitas Bermakna
    Ikut kelas melukis, main musik, olahraga, atau bahkan sekadar baca buku yang kamu suka. Aktivitas yang bikin kamu tenggelam dan lupa waktu bisa menyalakan kembali semangat.
  2. Bangun Koneksi Sosial Nyata
    Coba ketemu teman secara langsung, ngobrol santai, atau gabung komunitas. Hubungan sosial bisa jadi penopang kuat keluar dari rasa hampa.
  3. Tindak Kecil Bermakna
    Tulis jurnal syukur setiap malam, atau kerjakan hal kecil yang memberi rasa pencapaian—misalnya beres-beres meja kerja, masak makanan sehat, atau sekadar jalan kaki sore. Hal-hal kecil ini bisa jadi fondasi rasa arah dalam hidup.
  4. Mindfulness & Istirahat Berkualitas
    Latihan pernapasan, meditasi singkat, atau tidur cukup bisa bantu reset energi mental. Kadang, kita cuma perlu benar-benar istirahat, bukan melarikan diri lewat distraksi.

Languishing di Dunia Kerja dan Kehidupan Sosial

Yang bikin languishing makin berbahaya adalah dampaknya pada produktivitas. Riset menunjukkan, karyawan yang mengalami languishing lebih sering absen, sulit fokus, dan merasa nggak engaged dengan pekerjaan. Kalau dibiarkan, hal ini bukan cuma merugikan individu, tapi juga organisasi.

Di kehidupan sosial, kondisi seperti ini bisa bikin hubungan dengan keluarga dan teman jadi renggang. Orang jadi lebih tertutup, malas bersosialisasi, dan cenderung kehilangan empati. Padahal, justru koneksi sosial adalah salah satu jalan keluar dari ruang hampa itu sendiri.

Hidup Tanpa Emosi

Languishing memang bukan depresi, tapi jelas bukan kondisi sehat. Kalau dibiarkan, ia bisa jadi jalan menuju depresi yang lebih parah. Jadi, penting banget buat mengenali tanda-tandanya sejak awal dan mengambil langkah kecil untuk keluar dari siklus stagnan.

Kalau kamu merasa sedang berada dalam kondisi ini, ingat bahwa kamu nggak sendirian. Banyak orang di luar sana juga mengalaminya. Mulailah dengan langkah sederhana—temukan kembali hal yang bikin hidupmu punya makna, jalin koneksi dengan orang lain, dan jangan ragu mencari bantuan profesional kalau perlu.

Hidup terlalu berharga untuk dijalani dengan rasa hampa. Jadi, yuk kita sama-sama keluar dari ruang abu-abu dan bergerak menuju kehidupan yang lebih penuh warna.




Feeling Worthless: Gejala Utama Depresi, Bukan Sekadar Kesedihan

Feeling Worthless

Prolite – Feeling Worthless: Gejala Utama Depresi, Bukan Sekadar Kesedihan

Pernah nggak sih kamu merasa kayak nggak ada gunanya? Kayak apa pun yang kamu lakukan tuh salah, dan dunia bakal lebih baik tanpa kamu? Nah, perasaan itu sering disebut feeling worthless atau merasa nggak berharga.

Banyak orang kira itu cuma bagian dari rasa sedih atau insecure biasa. Padahal, menurut riset terbaru di bidang psikologi klinis (2025), feeling worthless adalah salah satu gejala inti dari gangguan depresi mayor (major depressive disorder/MDD).

Jadi, beda banget sama sekadar “lagi sedih” atau “lagi nggak mood.” Kalau kesedihan biasanya bisa reda setelah nonton film lucu, main bareng teman, atau tidur nyenyak, perasaan nggak berharga ini justru nempel lebih lama, lebih dalam, dan sering bikin orang kehilangan harapan. Yuk, kita bahas lebih lanjut!

Apa Itu Feeling Worthless?

Dalam dunia psikologi, feeling worthless nggak cuma sekadar “merasa kurang” atau “minder.” Ini lebih ke keyakinan negatif yang terus menerus tentang diri sendiri, kayak merasa jadi beban, gagal total, atau nggak layak dicintai. Menurut DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders), rasa nggak berharga termasuk salah satu indikator kuat untuk mendiagnosis depresi.

Kalau anhedonia (hilangnya minat atau kesenangan) bikin seseorang kehilangan gairah untuk melakukan sesuatu, maka feeling worthless lebih dekat ke perasaan bersalah yang berlebihan (self-blame) dan putus asa (hopelessness). Kombinasi ini yang bikin depresi jadi berat dan nggak bisa dianggap enteng.

Faktor yang Memicu Feeling Worthless: Trauma, Kritik, dan Stres Hidup

 

  1. Trauma Masa Lalu
    Banyak kasus menunjukkan, pengalaman buruk di masa kecil—seperti sering dikritik, diremehkan, atau bahkan dilecehkan—bisa menanamkan keyakinan negatif bahwa kita nggak punya nilai. Efeknya bisa kebawa sampai dewasa.
  2. Hubungan Toksik
    Pernah nggak kamu ada di hubungan yang bikin dirimu terus disalahkan atau dibanding-bandingkan? Nah, pengalaman kayak gini bisa mengikis harga diri secara perlahan dan bikin kita percaya bahwa kita memang nggak berharga.
  3. Stres Hidup
    Kehilangan pekerjaan, kegagalan akademik, putus hubungan, atau tekanan sosial juga sering jadi pemicu. Saat harga diri runtuh, pikiran negatif makin gampang masuk, bikin kita makin percaya kalau diri kita “nggak ada gunanya.”

Menurut data dari World Health Organization (WHO, 2025), lebih dari 280 juta orang di dunia hidup dengan depresi, dan salah satu gejala yang paling sering muncul adalah perasaan nggak berharga. Jadi kalau kamu merasa gitu, bukan berarti kamu lemah atau aneh—banyak orang lain juga mengalaminya.

Dampaknya dalam Kehidupan Sehari-hari

Feeling worthless bukan cuma perasaan yang lewat gitu aja. Ini bisa berdampak besar ke banyak aspek hidup:

  • Kehidupan Sosial: Orang jadi menarik diri, merasa nggak layak punya teman atau pasangan.
  • Pekerjaan/Belajar: Sulit fokus, sering merasa gagal, bahkan malas mencoba karena sudah yakin bakal salah.
  • Kesehatan Mental & Fisik: Perasaan nggak berharga sering berhubungan dengan insomnia, kecemasan, bahkan pikiran untuk mengakhiri hidup.

Penelitian terbaru dari Journal of Affective Disorders (2025) bahkan menyebutkan bahwa feeling worthless punya korelasi tinggi dengan kekambuhan depresi dibanding gejala lain. Artinya, kalau perasaan ini nggak ditangani, risiko depresi makin parah bisa meningkat.

Apakah Bisa Diatasi?

Kabar baiknya, iya, bisa. Beberapa cara yang direkomendasikan psikolog antara lain:

  1. Terapi Psikologis
    Misalnya terapi kognitif-perilaku (Cognitive Behavioral Therapy/CBT) yang membantu mengubah pola pikir negatif jadi lebih realistis.
  2. Obat-obatan
    Dalam kasus depresi berat, psikiater bisa meresepkan obat antidepresan untuk membantu menyeimbangkan zat kimia di otak.
  3. Support System
    Dukungan dari keluarga, teman, atau komunitas sangat penting untuk menumbuhkan kembali rasa berharga dalam diri.
  4. Mindfulness & Self-care
    Melatih kesadaran diri, meditasi, olahraga, atau sekadar tidur cukup bisa bantu memperbaiki kondisi mental secara perlahan.

Kenapa Penting Mengetahui Hal Ini? Banyak orang masih salah kaprah soal depresi. Mereka mengira depresi cuma soal “kurang bersyukur” atau “kurang ibadah.” Padahal, ini kondisi psikologis serius yang butuh pemahaman dan penanganan tepat. Dengan tahu bahwa feeling worthless adalah gejala utama depresi, kita bisa lebih peka—baik terhadap diri sendiri maupun orang lain.

Kalau kamu pernah atau sedang merasa nggak berharga, tolong jangan anggap itu hal sepele. Bisa jadi, itu tanda awal depresi yang butuh perhatian serius. Nggak ada salahnya ngobrol sama orang yang kamu percaya, cari bantuan profesional, atau sekadar berbagi cerita biar nggak merasa sendirian.

Ingat, nilai dirimu nggak ditentukan oleh kegagalan atau kata-kata orang lain. Kamu berharga, meskipun otakmu kadang bilang sebaliknya. Yuk, lebih peka sama diri sendiri dan orang di sekitar. Karena kadang, satu telinga yang mau mendengar aja bisa jadi penyelamat buat seseorang.

Jadi, kalau sekarang kamu lagi ngerasa worthless, coba ambil napas dalam, dan ingat: kamu layak hidup, kamu layak bahagia, dan kamu lebih berarti dari yang kamu kira.




Propaganda di Era Digital : Saat Fakta dan Manipulasi Sulit Dibedakan

Propaganda

Prolite – Propaganda di Era Digital: Saat Fakta dan Manipulasi Sulit Dibedakan

Di tengah maraknya aksi massa yang terjadi di berbagai daerah Indonesia sepanjang Agustus 2025, publik kembali dihadapkan pada derasnya arus informasi yang simpang siur.

Isu-isu politik, kebijakan, hingga kemanusiaan menjadi bahan bakar percakapan di media sosial. Namun, di balik kebebasan berekspresi, terdapat ancaman yang sering luput dari perhatian: propaganda.

Secara sederhana, propaganda adalah upaya sistematis untuk memengaruhi opini publik melalui pesan-pesan tertentu, baik dengan tujuan positif maupun negatif.

Dalam sejarah, propaganda sering digunakan untuk menggalang dukungan politik atau membentuk persepsi masyarakat. Namun, di era digital, bentuknya telah berevolusi menjadi lebih masif dan sulit dikenali.

Computational Propaganda: Wajah Baru Manipulasi Opini

Konsep computational propaganda merujuk pada penggunaan teknologi digital untuk mengarahkan opini publik. Bentuk praktiknya antara lain:

  • Bot politik yang secara otomatis memperbanyak narasi tertentu sehingga tampak populer.
  • Akun palsu yang berpura-pura menjadi warga biasa, padahal digerakkan untuk memperkuat agenda politik tertentu.
  • Algoritma media sosial yang tidak netral—ia bisa dimanfaatkan untuk memperbesar eksposur isu tertentu, sekaligus menenggelamkan isu lain.

Laporan Oxford Internet Institute (2024) mencatat Indonesia sebagai salah satu negara yang paling rentan terhadap propaganda digital. Temuan terbaru dari Katadata Insight Center (Agustus 2025) menunjukkan 67% pengguna media sosial di Indonesia mengaku kebingungan membedakan informasi asli dengan propaganda politik, terutama ketika isu aksi massa mendominasi ruang publik.

Relevansi dengan Kondisi Indonesia

Situasi politik pasca-Pemilu 2024 masih menyisakan polarisasi. Aksi-aksi massa di berbagai kota pada Agustus 2025 memperlihatkan bagaimana opini publik cepat sekali dipolarisasi melalui media sosial.

Hashtag yang dibuat oleh bot, narasi manipulatif yang didorong akun palsu, hingga konten lama yang didaur ulang untuk memicu emosi publik, semuanya menjadi bukti nyata praktik propaganda digital.

Pentingnya Pendidikan Literasi Media

Dalam menghadapi gelombang manipulasi opini, literasi media menjadi tameng utama. Literasi ini bukan hanya tentang bisa membaca dan menulis, melainkan juga kemampuan mengidentifikasi strategi manipulasi digital.

Beberapa langkah praktis yang bisa dilakukan antara lain:

  1. Periksa akun penyebar informasi: cek usia akun, pola interaksi, dan apakah akun tersebut terlihat asli atau otomatis.
  2. Cek tanggal dan konteks berita: banyak propaganda menggunakan informasi lama yang dipoles seolah-olah baru.
  3. Uji konsistensi: bandingkan dengan media kredibel, laporan riset, atau sumber independen.
  4. Sadari bias algoritma: jangan hanya bergantung pada timeline media sosial; carilah sudut pandang alternatif.

Peran Guru, Orang Tua, dan Komunitas

Propaganda digital tidak hanya menyasar orang dewasa, tetapi juga generasi muda yang sehari-harinya hidup di dunia online. Karena itu, peran guru, orang tua, dan komunitas menjadi sangat vital. Guru bisa menanamkan keterampilan berpikir kritis di kelas. Orang tua dapat berdialog secara terbuka dengan anak terkait sumber informasi. Sementara komunitas bisa menyediakan ruang diskusi sehat yang menumbuhkan daya analisis kolektif.

Di tengah riuhnya aksi massa dan derasnya arus informasi, kita tidak boleh lengah. Propaganda digital bisa dengan mudah membentuk persepsi dan memanipulasi emosi publik. Namun, dengan literasi media yang kuat, masyarakat bisa memilah mana yang fakta, mana yang manipulasi.

Mari bersama-sama menjadi warga digital yang kritis, sadar, dan bertanggung jawab. Jangan biarkan opini kita dikendalikan oleh bot atau algoritma, melainkan oleh nalar dan kesadaran kita sendiri demi Indonesia yang lebih cerdas dan demokratis.




Buku Suarakan Luka: 12 Novel & Nonfiksi Sejarah Kelam Indonesia

12 Novel & Nonfiksi Sejarah Kelam Indonesia

Prolite – Membaca Indonesia dari Luka: Rekomendasi Buku Sejarah Kelam dan Relevansinya Saat Ini

Sejarah Indonesia nggak cuma soal kemerdekaan, pembangunan, atau tokoh-tokoh besar yang namanya kita hafal sejak SD. Ada sejarah kelam, sisi gelap yang sering kali ditutup rapat: penjara politik, penghilangan paksa, represi negara, hingga suara-suara yang dipaksa bungkam.

Tapi justru dari “luka” inilah, banyak penulis besar menghadirkan karya-karya penting. Membaca mereka bukan hanya nostalgia atau pelajaran sejarah, tapi juga cara untuk memahami kondisi sosial-politik kita hari ini.

Karena, percayalah, apa yang terjadi puluhan tahun lalu sering masih punya gema di kehidupan kita sekarang.

Nah, kalau kamu pengen menelusuri wajah kelam Indonesia lewat buku, berikut beberapa rekomendasi yang bisa jadi pintu masuk.

Tan Malaka: Dari Penjara hingga Aksi Massa

Siapa yang bisa bicara soal perlawanan tanpa menyebut nama Tan Malaka? Tokoh revolusioner ini nggak cuma bikin repot penjajah, tapi juga pemerintah yang berdiri setelahnya.

Dalam bukunya “Dari Penjara ke Penjara”, Tan menceritakan pengalamannya sebagai tahanan politik sekaligus refleksi panjang tentang perjuangan dan pengkhianatan. Buku ini keras, jujur, dan bikin kita mikir ulang soal arti perjuangan.

Selain itu, ada “Madilog” (Materialisme, Dialektika, Logika), karya filosofisnya yang jadi semacam senjata intelektual untuk melawan kolonialisme dan kebodohan. Lalu, “Aksi Massa” yang lebih ke arah strategi perjuangan rakyat. Bacaan ini bukan cuma sejarah, tapi juga inspirasi buat memahami gerakan sosial masa kini.

Luka 1965: Dari Leila S. Chudori hingga Para Penyintas

Kalau bicara soal tragedi 1965, karya-karya Leila S. Chudori nggak bisa dilewatkan. “Pulang” mengisahkan kehidupan eksil politik yang nggak bisa balik ke tanah air setelah tragedi G30S. Novel ini menggambarkan bagaimana trauma bisa diwariskan lintas generasi.

Kemudian ada “Laut Bercerita”, yang lebih fokus pada kisah penghilangan aktivis era 1998, tapi tetap punya akar kuat pada luka sejarah 1965. Lewat tokoh Biru Laut dan kawan-kawannya, Leila menulis dengan puitis namun pedih: tentang penculikan, penyiksaan, dan suara-suara yang dipaksa hilang.

Jangan lupakan juga novel “Namaku Alam”, yang lagi-lagi menyinggung soal identitas, sejarah, dan bagaimana politik negara bisa menelan hidup seseorang. Karya-karya Leila seakan jadi jembatan: menghubungkan masa lalu yang traumatis dengan kenyataan hari ini.

Pramoedya Ananta Toer: Tetralogi Buru

Kalau bicara sastra dan sejarah kelam, jelas Pramoedya Ananta Toer adalah nama besar. Empat novelnya—“Bumi Manusia”, “Anak Semua Bangsa”, “Jejak Langkah”, dan “Rumah Kaca”—bukan cuma karya sastra, tapi juga catatan sejarah kolonialisme dan kebangkitan nasional.

Ditulis saat Pram dipenjara di Pulau Buru, tetralogi ini mengisahkan Minke, tokoh fiksi yang banyak terinspirasi dari kehidupan Raden Mas Tirto Adhi Soerjo. Dari perlawanan intelektual, politik, hingga represi kolonial, karya-karya ini tetap relevan untuk memahami Indonesia hari ini. Nggak heran, buku-buku ini sering dianggap sebagai bacaan wajib buat siapa saja yang ingin memahami identitas bangsa.

Luka yang Diarsipkan: Antologi dan Kronik

Bicara soal sejarah kelam juga nggak bisa lepas dari suara-suara kolektif. “Berita Kehilangan” (2018), antologi cerpen yang digarap oleh Sabda Armandio dan kawan-kawan, mengangkat kisah penghilangan paksa dan kekerasan negara. Dengan format fiksi pendek, cerita-cerita di buku ini jadi cara lain untuk mendekati luka bangsa.

Lebih faktual, ada “Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998” karya Gus Muhidin Dahlan (2020). Buku ini menghimpun data, testimoni, dan laporan yang menyingkap kejahatan negara pada masa reformasi. Membacanya bikin kita sadar: demokrasi yang kita nikmati sekarang nggak datang gratis, ada darah dan air mata yang jadi taruhannya.

Kenapa Buku-Buku Ini Masih Penting Dibaca?

Setidaknya kita harus membaca salah satu dari buku-buku ini sekali seumur hidup, kenapa? Pertama, karena sejarah sering berulang. Luka masa lalu bisa jadi peringatan biar kita nggak jatuh di lubang yang sama.

Kedua, karena membaca karya-karya ini bikin kita lebih peka terhadap isu HAM, kebebasan berekspresi, dan keberanian untuk bersuara. Di tengah situasi politik sekarang, dari kriminalisasi aktivis sampai pembatasan kebebasan, pesan yang mereka sampaikan tetap relevan.

Selain itu, buku-buku ini membantu kita memahami bahwa sejarah Indonesia nggak pernah hitam putih. Ada banyak lapisan, ada suara-suara yang berusaha dibungkam, tapi tetap menemukan jalannya untuk sampai ke pembaca.

Mari Membaca Luka, Agar Tak Hilang Ingatan

Membaca buku-buku tentang sejarah kelam Indonesia bukan berarti kita merayakan tragedi, tapi justru menghormati mereka yang pernah menjadi korban. Dari Tan Malaka, Pramoedya, Leila Chudori, hingga para penulis antologi dan sejarawan, semuanya mengingatkan kita: ada harga besar yang dibayar untuk sampai ke titik ini.

Jadi, mungkin sekarang saatnya kita membuka halaman-halaman itu. Biar gak lupa, biar lebih peka, dan biar bisa terus mengawal masa depan dengan lebih sadar.

Kalau kamu sendiri, sudah baca yang mana dari daftar di atas? Atau ada buku lain soal sejarah kelam Indonesia yang menurutmu wajib dibaca? Yuk, bagikan pendapatmu!




Peta Emosi: Tubuh Jadi Cermin Perasaan yang Sering Tak Kita Sadari

Peta Emosi

Prolite – Peta Emosi : Tubuh Jadi Cermin Perasaan yang Sering Tak Kita Sadari

Pernah nggak sih kamu merasa jantung berdebar kencang saat cemas, atau pipi terasa panas saat malu? Itu bukan kebetulan. Ternyata, setiap emosi memang punya “peta” khusus di tubuh kita.

Para peneliti asal Finlandia menemukan bahwa tiap emosi punya pola sensasi tubuh yang konsisten—dan yang menarik, pola ini muncul universal lintas budaya, mulai dari Finlandia, Swedia, hingga Taiwan. Artinya, cara tubuh merasakan emosi ternyata sama, meski kita tumbuh dalam budaya berbeda.

Penelitian ini nggak cuma bikin kita paham kenapa tubuh “bicara” saat kita merasa sesuatu, tapi juga membuka jalan baru buat terapi emosi, kesehatan mental, bahkan cara kita memahami diri sendiri. Yuk, kita bedah lebih dalam soal peta emosi tubuh ini!

Emosi Itu Terlihat: Hasil Studi Peta Emosi Tubuh

Penelitian yang dipublikasikan di jurnal PNAS (Proceedings of the National Academy of Sciences) tahun 2014 oleh tim peneliti dari Universitas Aalto, Finlandia, melibatkan lebih dari 700 partisipan dari Finlandia, Swedia, dan Taiwan. Mereka diminta menandai bagian tubuh yang terasa aktif atau mati rasa saat mengalami emosi tertentu.

Hasilnya, setiap emosi punya pola khas:

  • Marah → energi naik di dada, kepala, dan lengan. Tidak heran orang yang marah sering terlihat “meledak” atau menegangkan otot.

  • Takut & Cemas → dada berdebar, perut terasa “kosong”, lengan kaku. Sensasi ini muncul karena tubuh siap “fight or flight” (melawan atau kabur).

  • Sedih & Depresi → banyak area tubuh terasa mati rasa atau lemah, terutama tangan dan kaki. Inilah sebabnya orang yang depresi sering merasa lemas atau tak berdaya.

  • Bahagia & Cinta → hampir seluruh tubuh “menyala”, terutama di dada, wajah, dan kepala. Itu yang bikin orang jatuh cinta sering dibilang berbinar-binar.

  • Jijik → dominan terasa di area perut dan tenggorokan, seolah tubuh ingin menolak sesuatu.

  • Malu atau Rasa Bersalah → muka memanas (blushing) sementara tubuh bagian lain melemah.

  • dan lain sebagainya.

Penemuan ini memperlihatkan bahwa emosi bukan sekadar “abstrak di kepala”, tapi terlihat nyata dan hadir di tubuh.

Kenapa Tubuh Ikut Merasakan Emosi?

Secara biologis, emosi berhubungan dengan sistem saraf otonom yang otomatis mengatur pernapasan, detak jantung, dan sirkulasi darah. Misalnya, saat cemas, otak mengaktifkan mode fight or flight, membuat jantung berdegup lebih cepat untuk menyiapkan energi.

Selain itu, tubuh juga “merekam” pengalaman emosional. Itulah kenapa orang yang pernah trauma bisa langsung merasakan sakit perut atau sesak dada saat terpicu, meskipun pikirannya nggak secara sadar memikirkan kejadian itu.

Dari Peta Emosi Tubuh ke Terapi Emosional

Pengetahuan soal peta emosi tubuh bisa membantu berbagai hal, misalnya:

  • Terapi Psikologi: mengenali di mana emosi muncul di tubuh bisa jadi langkah awal penyembuhan trauma. Studi terbaru menyoroti bagaimana pemetaan emosi ini bermanfaat dalam terapi trauma. Dengan mengingat peristiwa traumatis, pasien bisa diajak fokus pada area tubuh yang aktif, lalu melakukan teknik relaksasi untuk meredakan sensasi tersebut. Hasilnya, pemrosesan emosi jadi lebih efektif.
  • Mindfulness & Meditasi: fokus ke area tubuh tertentu bisa membantu orang sadar akan emosinya tanpa harus menghindar.
  • Kesehatan Mental: pemetaan emosi bisa dipakai untuk memahami gejala gangguan kecemasan, depresi, atau PTSD.

Bayangkan kalau kita bisa “membaca” tubuh lebih dalam. Saat merasa perut melilit, bisa jadi tubuh sedang memberi sinyal bahwa ada rasa takut yang belum diakui.

Contoh Nyata Peta Emosi dalam Kehidupan Sehari-hari

  • Saat stres kerja, banyak orang mengeluh sakit punggung atau leher kaku. Itu bukan sekadar postur buruk, tapi bisa jadi manifestasi fisik dari ketegangan emosional.
  • Menonton film sedih bikin kita merasa “berat” di dada dan air mata mengalir.
  • Jatuh cinta? Tubuh terasa hangat, wajah memerah, bahkan tangan berkeringat saat berdekatan dengan orang yang disukai.

Semua contoh ini nunjukin kalau tubuh kita nggak pernah bohong tentang apa yang kita rasakan.

Menyadari Pola Emosi = Mengenali Diri Lebih Dalam

Dengan memahami peta emosi tubuh, kita jadi lebih gampang mengenali apa yang sedang kita rasakan. Kadang, kita nggak sadar sedang stres sampai tubuh kasih sinyal lewat sakit kepala, susah tidur, atau jantung berdebar. Mengenali pola ini bisa jadi cara ampuh untuk self-care.

Bahkan, studi terbaru di bidang psikologi tubuh (somatic psychology) pada 2025 menegaskan bahwa latihan body scanning—alias menyadari sensasi tubuh dari ujung kepala sampai kaki—efektif mengurangi kecemasan hingga 35% (American Psychological Association, 2025).

Emosi bukan cuma urusan pikiran, tapi juga nyata di tubuh. Dari dada berdebar saat takut, hingga tubuh yang terasa hangat saat jatuh cinta—semuanya punya peta spesifik. Dengan memahami “peta emosi tubuh” ini, kita bisa lebih peka terhadap sinyal diri sendiri, menjaga kesehatan mental, dan belajar merespons emosi dengan lebih sehat.

Jadi, mulai sekarang coba deh tanyakan ke diri sendiri: bagian tubuh mana yang lagi “bicara”? Bisa jadi itu kunci buat memahami perasaanmu lebih dalam.




Film Tukar Takdir: Drama Emosional di Balik Selamatnya Satu Penumpang Tragedi Pesawat

Film Tukar Takdir

Prolite – Film Tukar Takdir: Drama Emosional di Balik Selamatnya Satu Penumpang Tragedi Pesawat

 

Bayangkan kamu naik pesawat bersama ratusan orang lain, lalu tiba-tiba pesawat itu hilang kontak dan hanya satu orang yang selamat. Pertanyaan pertama yang muncul pasti: kenapa dia? Pertanyaan besar inilah yang jadi inti dari film terbaru karya Mouly Surya, Tukar Takdir, yang akan tayang di bioskop mulai 2 Oktober 2025.

Dibintangi aktor papan atas seperti Nicholas Saputra, Marsha Timothy, dan Adhisty Zara, film ini diadaptasi dari novel best seller karya Valiant Budi dengan tema besar: takdir, kehilangan, dan resiliensi manusia.

Tragedi Pesawat yang Mengubah Segalanya

Film ini mengisahkan penerbangan Jakarta Airways 79 yang mengalami hilang kontak. Ketika ditemukan, hanya ada satu penumpang yang selamat: Rawa (Nicholas Saputra). Rawa pulang dengan luka fisik dan trauma yang dalam. Namun, selamatnya Rawa justru membuka babak baru yang lebih rumit. Ia bukan hanya saksi kunci dalam investigasi, tapi juga harus berhadapan dengan keluarga korban.

Salah satunya adalah Zahra (Adhisty Zara), putri tunggal dari pilot pesawat yang tewas dalam tragedi itu. Ada juga Dita (Marsha Timothy), seorang istri yang kehilangan suaminya dan tak bisa menerima kenyataan bahwa justru orang lain yang hidup. Hubungan emosional yang pelik pun terjalin antara mereka.

Terhubung oleh Kenyataan Pahit

Dalam teaser trailer yang dirilis di kanal YouTube Starvision, kita diperlihatkan potongan hubungan emosional Rawa dengan Zahra. Ada adegan Rawa memeluk Zahra, seolah memberi kekuatan untuk bertahan. Namun di sisi lain, Rawa juga terlihat begitu dekat dengan Dita, bahkan mengusap air matanya saat keduanya berdua di mobil.

Nicholas Saputra menyebut bahwa setiap karakter dalam film ini terhubung lewat satu kenyataan pahit yang sama: kehilangan. “Rawa, yang selamat dari tragedi pesawat, bertemu dengan orang-orang yang harus kehilangan orang terdekat. Penonton akan melihat bagaimana resiliensi setiap karakter diuji,” ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta.

Kolaborasi Kelas A: Mouly Surya, Nicholas Saputra, dan Marsha Timothy

Sutradara Mouly Surya menekankan bahwa film ini bukan sekadar drama bencana, tapi juga eksplorasi psikologis. Setiap karakter membawa luka dan penyesalan masing-masing. Ada yang merasa seharusnya bisa mencegah tragedi, ada yang merasa menanggung takdir orang lain.

“Kami ingin menggambarkan beban emosional yang tak kasat mata. Tapi di sisi lain, juga menunjukkan bahwa ada harapan di balik setiap kehilangan. Bahwa manusia bisa saling menopang untuk bertahan,” kata Mouly.

Tukar Takdir jadi ajang reuni Mouly Surya dengan beberapa aktor dan produser papan atas. Mouly kembali bekerja sama dengan Marsha Timothy setelah film legendaris Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak (2017), dan dengan Nicholas Saputra setelah Yang Tidak Dibicarakan Ketika Membicarakan Cinta (2013).

Film ini juga jadi kolaborasi Mouly bersama produser Chand Parwez Servia dan Rama Adi, dengan dukungan Starvision, Cinesurya, dan Legacy Pictures. Selain tiga pemeran utama, film ini juga didukung ensemble cast yang luar biasa: Meriam Bellina, Marcella Zalianty, Hannah Al Rashid, Teddy Syach, Tora Sudiro, Ringgo Agus Rahman, hingga Revaldo.

Drama Petaka Pesawat: Genre yang Jarang di Indonesia

Chand Parwez Servia, produser film ini, menyebut bahwa Tukar Takdir membawa warna baru ke perfilman Indonesia. Drama berlatar tragedi pesawat masih jarang dieksplorasi, padahal punya potensi besar untuk menghadirkan ketegangan sekaligus kedalaman emosional. “Film ini akan menghadirkan kisah penuh luka, menegangkan, tapi juga menyegarkan untuk perfilman Indonesia,” ungkapnya.

Dengan latar cerita yang jarang disentuh sineas Indonesia, Tukar Takdir berpotensi menjadi film yang bukan hanya menyayat hati, tapi juga membuka percakapan lebih luas soal trauma, kehilangan, dan bagaimana manusia merespons takdir yang tak bisa diubah.

Siapkah Kamu Menyaksikan Kisah yang Menguji Emosi?

Tukar Takdir bukan sekadar film tentang kecelakaan pesawat, melainkan kisah mendalam tentang luka, cinta, kehilangan, dan pertanyaan besar soal takdir. Dengan arahan Mouly Surya yang dikenal detail dan emosional, serta deretan aktor papan atas, film ini menjanjikan pengalaman menonton yang bikin dada sesak tapi juga membuka mata.

Jangan lewatkan perilisan resminya pada 2 Oktober 2025 di bioskop seluruh Indonesia. Siapkan hati, karena film ini bisa jadi bikin kamu merenung: kalau berada di posisi Rawa, apakah kamu sanggup menanggung beban sebagai satu-satunya yang selamat?




Lego dan Batman Hadirkan Kolaborasi Game Open World Terbaru!

Lego Batman: Legacy of the Dark Knight

Prolite – Lego dan Batman Hadirkan Kolaborasi Game Open World Terbaru!

Bayangkan: dunia Lego yang penuh warna bertemu dengan nuansa kelam khas Batman. Itulah yang sedang dipersiapkan oleh Warner Bros dan TT Games melalui game terbaru mereka, Lego Batman: Legacy of the Dark Knight.

Game ini resmi diperkenalkan pada ajang Gamescom Opening Night Live 2025 di Koln, Jerman, pada 25 Agustus 2025, lengkap dengan trailer yang sudah bisa ditonton di kanal YouTube Nintendo America. Buat pecinta Batman maupun penggemar Lego, ini adalah kabar besar yang wajib banget kamu ikuti!

Kembalinya TT Games Setelah Absen 3 Tahun

Buat kamu yang mungkin sudah kangen dengan seri game Lego, kabar ini jadi semacam “pecah telor” baru. Pasalnya, TT Games terakhir kali merilis game Lego pada tahun 2022 lewat Lego Star Wars: The Skywalker Saga, yang sukses besar. Nah, tiga tahun berselang, mereka kembali dengan sesuatu yang lebih fresh: dunia open world Gotham dalam versi Lego.

Tidak lagi sebatas misi linear dari satu level ke level lain, di game ini kamu bisa bebas menjelajahi kota Gotham yang luas, lengkap dengan NPC yang bikin kota terasa hidup. Bayangkan, kamu bisa keluyuran naik Batmobile meski nggak sedang menjalankan misi—seru banget kan?

Gotham Ala Lego yang Luas dan Hidup

Game Legacy of the Dark Knight menawarkan pengalaman baru: Gotham dalam skala open world. Kota ini dirancang penuh detail, dipenuhi dengan karakter non-playable (NPC), misi sampingan, dan Easter Egg khas Lego yang kocak. Jadi selain aksi serius ala Batman, ada juga humor dan kejutan khas Lego yang bikin pengalaman makin menyenangkan.

Selain Batmobile, pemain juga bisa menggunakan berbagai gadget khas Batman untuk menjelajahi kota, dari grappling hook sampai Batcycle. Hal ini menjadikan game ini lebih fleksibel: kamu bisa memilih mau serius menyelesaikan cerita utama atau santai mengeksplorasi dunia Lego Gotham.

Jalan Cerita: Antara Gelap dan Lucu

Meski menggunakan gaya visual Lego yang identik dengan fun dan ringan, cerita Legacy of the Dark Knight tetap mengusung nuansa gelap ala Batman. Kamu akan bermain sebagai Bruce Wayne, yang tengah berlatih bersama League of Meadows sebelum akhirnya harus menghadapi sederet musuh ikonik: The Joker, The Penguin, Poison Ivy, Ra’s al Ghul, hingga Bane.

Di sisi lain, ada juga karakter pendukung yang siap membantu, mulai dari Jim Gordon, Robin, Nightwing, Batgirl, Catwoman, hingga Talia al Ghul. Kombinasi karakter ini bikin gameplay terasa lebih variatif, apalagi jika TT Games menyelipkan mekanik co-op khas game Lego.

Nostalgia Kolaborasi Lego x Batman

Kolaborasi Lego dan Batman bukanlah hal baru. Sebelumnya sudah ada seri Lego Batman dengan gameplay lebih linear. Tapi bedanya, Legacy of the Dark Knight membawa konsep itu ke level yang lebih tinggi dengan gaya open world—sesuatu yang jarang ada di game Lego sebelumnya. Jadi ini bukan sekadar pengulangan, tapi benar-benar bentuk evolusi yang lebih matang.

Dengan menggabungkan humor Lego, aksi khas Batman, dan kebebasan open world, game ini berpotensi jadi salah satu rilisan paling dinantikan akhir 2025.

Platform dan Rencana Rilis

Buat yang udah nggak sabar, tenang—Lego Batman: Legacy of the Dark Knight rencananya akan rilis pada akhir 2025 atau awal 2026. Game ini juga bakal tersedia di banyak platform, termasuk PlayStation 5, Xbox Series X/S, PC (Steam dan Epic Games), hingga Nintendo Switch 2. Jadi apapun konsol favoritmu, kemungkinan besar kamu bisa ikut merasakan hype-nya.

Siap Menjadi Bagian dari Gotham Lego?

Kolaborasi antara Lego dan Batman kali ini jelas bukan sekadar nostalgia, tapi gebrakan baru dalam dunia game. Dengan dunia Gotham yang bisa dieksplorasi sesuka hati, musuh-musuh legendaris, hingga momen kocak khas Lego, game ini menjanjikan pengalaman seru buat semua kalangan—baik gamer casual maupun fans berat Batman.

Jadi, gimana? Kamu lebih excited buat menjelajahi Gotham pakai Batmobile atau menghadapi The Joker dengan gaya Lego? Apa pun pilihannya, pastikan kamu siap masuk ke dalam dunia Lego Batman: Legacy of the Dark Knight begitu game ini rilis. Mark the date, karena Gotham dalam versi Lego menunggumu!




Mindful Consumption & Investing: Gaya Baru Gen Z Biar Hidup Makin Balance

Mindful Consumption

Prolite – Mindful Consumption & Investing: Gaya Baru Gen Z Biar Hidup Makin Balance

Gen Z sering dilabeli sebagai generasi fast-paced, serba instan, dan gampang terdistraksi oleh tren. Tapi faktanya, semakin banyak anak muda yang justru melawan stereotip itu lewat konsep mindful consumption dan mindful investing.

Bukan lagi sekadar soal gaya hidup “ikut-ikutan”, tapi lebih ke memilih dengan sadar: apa yang masuk ke tubuh, apa yang dibeli, sampai ke mana uang mereka diinvestasikan. Semua harus sesuai dengan nilai, identitas, dan kesehatan mental mereka.

Tren ini semakin kelihatan nyata setelah sebuah studi dari Cheil Indonesia (Agustus 2025) menunjukkan bahwa 73% Gen Z di Indonesia menganggap mindful consumption sebagai bentuk self-care dan identitas diri. Dari memeriksa label makanan, menjaga jadwal tidur, hingga memilih gaya hidup sober—semuanya jadi bagian dari bagaimana Gen Z menata hidupnya.

Mindful Consumption: Bukan Sekadar Belanja, Tapi Memfilter Hidup

Bagi Gen Z, konsumsi bukan lagi sekadar transaksi. Mereka melihatnya sebagai cerminan diri. Mindful consumption berarti berhenti sejenak sebelum membeli sesuatu, lalu bertanya: “Apakah ini beneran gue butuh? Apakah ini sejalan sama nilai hidup gue?”

Bentuknya bisa sederhana: memilih produk lokal dibanding brand global demi mendukung UMKM, mengurangi fast fashion karena sadar dampaknya ke lingkungan, atau memilih makanan organik untuk menjaga kesehatan jangka panjang. Jadi bukan anti belanja, tapi lebih ke “filter on my own”—pilihan sadar yang lebih penting daripada ikut FOMO (fear of missing out).

Kebiasaan ini juga nyambung ke pola self-care. Misalnya, banyak Gen Z yang lebih suka menghabiskan uang untuk experiences seperti kelas yoga, journaling, atau workshop seni, ketimbang sekadar belanja barang diskon. Bagi mereka, pengalaman memberi nilai emosional yang lebih tahan lama.

Mindful Investing: Uang Bukan Hanya Soal Cuan

Kalau mindful consumption lebih ke apa yang mereka beli, mindful investing adalah tentang bagaimana mereka menaruh uang. Buat Gen Z, investasi bukan cuma mengejar return cepat, tapi juga bagaimana uang mereka bisa punya dampak positif.

Contohnya, ada yang memilih green investment—menaruh dana di perusahaan yang punya komitmen lingkungan. Ada juga yang tertarik sama impact investing, alias investasi yang selain ngasih profit, juga membawa manfaat sosial. Menurut survei Deloitte (2025), lebih dari 60% Gen Z global bilang mereka mau mengalihkan investasi ke sektor yang beretika, meskipun return-nya lebih kecil.

Di Indonesia sendiri, tren retail investing lewat platform digital juga meningkat, tapi Gen Z punya filter sendiri: mereka cenderung skeptis sama “cuan instan” dan lebih percaya ke instrumen yang transparan, etis, dan sejalan sama isu yang mereka pedulikan—kayak energi terbarukan, kesehatan mental, atau inklusi finansial.

Dari FOMO ke “Filter On My Own”

Dulu, budaya belanja di kalangan anak muda erat dengan FOMO: takut ketinggalan tren, takut nggak update, takut nggak dianggap. Tapi sekarang, filter on my own jadi mantra baru. Alih-alih ngikutin apa kata algoritma, Gen Z justru pengen punya kontrol atas apa yang mereka konsumsi.

Perubahan ini bukan tanpa alasan. Paparan media sosial yang terus-menerus bikin lelah secara mental, bahkan menurut laporan Common Sense Media (2025), 68% Gen Z di Asia Tenggara mengaku merasa burnout akibat content overload. Jadi wajar kalau mindful consumption jadi cara untuk menyeimbangkan diri: lebih sadar, lebih intentional, dan nggak asal klik “add to cart”.

Dampaknya dalam Keseharian

Fenomena ini bisa dilihat dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari:

  • Rutinitas sehat: banyak Gen Z lebih memilih tidur cukup ketimbang begadang maraton series demi kesehatan mental.
  • Hubungan sosial: cenderung kembali ke lingkaran pertemanan yang familiar dan suportif, daripada terus memaksakan diri untuk networking di lingkaran baru.
  • Konsumsi hiburan: re-watch film atau series favorit saat stres, karena familiaritas memberi rasa aman.
  • Gaya fashion: tren slow fashion dan thrifting makin populer karena dianggap lebih mindful dan ramah lingkungan.

Semua itu berhubungan dengan status quo bias—kecenderungan manusia untuk memilih hal yang familiar karena terasa aman. Bedanya, Gen Z melakukannya dengan sadar, bukan pasif. Mereka tahu alasan di balik pilihannya, dan itu yang membuat mindful consumption berbeda dengan sekadar kebiasaan lama.

Saatnya Mindful dalam Hidup dan Keuangan!

Mindful consumption dan mindful investing bukan tren singkat. Ini adalah perubahan cara pandang tentang bagaimana kita hidup, belanja, dan mengelola uang. Gen Z membuktikan bahwa “bijak memilih” bisa jadi bentuk self-care, bukan sekadar strategi hemat.

Jadi, apakah kamu sudah mulai mindful dengan konsumsi dan investasimu? Coba mulai dari hal kecil: cek label makanan, tanyakan apakah barang yang kamu beli benar-benar sesuai kebutuhan, atau pilih investasi yang bikin kamu bangga, bukan cuma kaya.

Karena pada akhirnya, mindful itu bukan soal membatasi diri, tapi soal membebaskan diri dari tekanan tren dan memberi ruang buat yang benar-benar penting.




Mere Exposure Effect: Mengapa Kita Lebih Terpikat pada Apa yang Sudah Dikenal?

Mere Exposure Effect

Prolite – Mere Exposure Effect: Mengapa Kita Lebih Terpikat pada Apa yang Sudah Dikenal?

Pernah nggak sih kamu merasa lebih nyaman sama lagu lama yang udah sering diputar, atau malah balik lagi nonton film favorit meski udah hafal dialognya? Fenomena ini ternyata punya istilah psikologis yang keren, yaitu mere exposure effect.

Intinya, semakin sering kita melihat atau mengalami sesuatu, semakin besar kemungkinan kita akan menyukainya. Otak kita suka yang familiar karena bikin segalanya terasa lebih aman dan nggak ribet.

Nah, menariknya, efek ini nggak cuma berlaku buat hiburan, tapi juga berpengaruh besar dalam cara kita menjalani hidup sehari-hari.

Apa Itu Mere Exposure Effect?

Mere exposure effect pertama kali diperkenalkan oleh psikolog Robert Zajonc pada tahun 1968. Teorinya simpel: semakin sering kita terpapar sesuatu, semakin positif sikap kita terhadap hal itu. Kenapa bisa begitu? Karena otak kita bekerja lebih efisien ketika berhadapan dengan hal-hal yang sudah dikenal, sehingga mengurangi rasa cemas dan stres.

Contohnya gampang: kalau kamu baru pindah ke kota baru, awalnya mungkin merasa asing. Tapi setelah sering lihat jalan, bangunan, dan orang-orang yang sama, lama-lama jadi biasa bahkan nyaman. Familiaritas memberi rasa aman.

Status Quo Bias: Sisi Lain dari Rasa Nyaman

Selain mere exposure effect, ada juga istilah lain dalam psikologi yang berkaitan: status quo bias. Ini adalah kecenderungan manusia untuk lebih suka mempertahankan kondisi saat ini dibanding mencoba sesuatu yang baru. Kenapa? Karena perubahan sering dianggap berisiko, bikin repot, atau memunculkan rasa takut akan kehilangan.

Bayangin kamu sudah punya rutinitas olahraga pagi yang nyaman. Meski ada metode baru yang katanya lebih efektif, kamu mungkin tetap pilih yang lama karena merasa lebih aman. Sama halnya dengan memilih tetap kerja di tempat yang familiar walau ada tawaran lebih menantang di luar sana.

Dampak dalam Kehidupan Sehari-hari

Comfort zone concept. Feet standing inside comfort zone circle surrounded by rainbow stripes painted with chalk on the asphalt.

Mere exposure effect dan status quo bias ternyata sering banget kita alami tanpa sadar. Yuk kita bedah beberapa contohnya:

1. Rutinitas yang Bikin Aman

Kamu lebih suka sarapan menu yang sama tiap hari? Atau selalu pilih jalan pulang yang itu-itu aja? Itu karena otak merasa nyaman dengan yang sudah dikenal. Rutinitas memberi stabilitas emosional di tengah dunia yang seringkali nggak bisa diprediksi.

2. Hubungan yang Familiar

Banyak orang cenderung nyaman dengan lingkungan sosial atau hubungan yang sudah akrab, meskipun kadang nggak ideal. Hal ini bisa jadi bentuk status quo bias. Walau ada peluang menjalin relasi baru yang mungkin lebih sehat, rasa takut kehilangan yang sudah ada membuat kita bertahan di zona aman.

3. Hiburan Favorit

Saat stres, bukannya mencoba film baru, kita sering balik lagi ke tontonan lama yang udah terbukti bikin happy. Kenapa? Karena film atau musik familiar membantu menurunkan kecemasan. Kita tahu apa yang akan terjadi, jadi lebih tenang.

4. Kebiasaan Belanja dan Gaya Hidup

Brand favorit sering menang bukan hanya karena kualitasnya, tapi juga karena otak kita sudah terbiasa melihatnya. Semakin sering suatu merek muncul di iklan atau etalase, makin besar kemungkinan kita memilihnya dibanding brand baru.

Ketika Familiaritas Jadi Pedang Bermata Dua

Meski terasa aman, terlalu terikat dengan hal yang familiar bisa membatasi pertumbuhan diri. Status quo bias misalnya, bisa bikin kita melewatkan peluang besar hanya karena takut mencoba sesuatu yang asing. Padahal, terkadang perubahan adalah pintu menuju pengalaman yang lebih berharga.

Psikolog modern menekankan pentingnya balance: tetap memanfaatkan kenyamanan dari hal-hal yang familiar, tapi juga berani membuka diri pada pengalaman baru. Misalnya, coba nonton genre film yang belum pernah kamu tonton, atau cobain jalur jogging baru. Hal kecil bisa jadi awal dari pembiasaan baru yang menyenangkan.

Apa Kata Riset Terbaru?

Studi terbaru (Agustus 2025) dalam Journal of Experimental Psychology menemukan bahwa mere exposure effect punya peran penting dalam mengurangi kecemasan sosial. Orang yang sering bertemu dengan wajah-wajah yang sama (misalnya di kantor atau komunitas) merasa lebih mudah membangun rasa percaya. Namun, riset juga menegaskan pentingnya variasi, karena terlalu sering terjebak dalam lingkaran familiar bisa menurunkan kreativitas.

Sementara itu, laporan dari Psychology Today mencatat bahwa status quo bias makin terlihat jelas dalam pengambilan keputusan besar, seperti investasi, karier, hingga relasi. Banyak orang lebih memilih “jalan aman” meski potensinya lebih kecil, dibanding mengambil risiko yang berpotensi memberi hasil lebih baik.

Yuk, Kenali Zona Nyamanmu!

Mere exposure effect bikin kita sadar bahwa rasa nyaman pada sesuatu yang familiar itu wajar dan bahkan bermanfaat. Tapi jangan sampai kita keasyikan di zona nyaman sampai lupa bahwa dunia ini penuh hal baru yang bisa memperkaya hidup.

Jadi, lain kali kamu sadar lagi nonton film favorit untuk ke-10 kalinya, nikmati aja—itu bentuk self-care juga kok. Tapi sesekali, coba kasih ruang untuk eksplorasi hal baru. Siapa tahu, yang awalnya asing justru bisa jadi favorit baru kamu.

Nah, kalau kamu sendiri gimana? Lebih suka main aman dengan yang familiar, atau berani coba hal baru? 😉