Membatik dengan Hati Mewarnai Dunia, Ledia: Batik Lilin Dingin Harus Terus Disosialisasikan

Ledia - Batik lilin dingin

Membatik dengan Hati Mewarnai Dunia, Ledia: Batik Lilin Dingin Harus Terus Disosialisasikan

BANDUNG, Prolite – Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amalia membenarkan bahwa batik lilin dingin harus banyak disosialisasikan agar tidak punah.

“Kita banyak sosialisasi seperti ini agar anak-anak muda terus tertarik melakukan ini.
Ini adalah kegiatan semarak budaya kerjasama kementerian kebudayaan dengan komisi X DPR RI, semarak budaya kali ini temanya adalah workshop batik lilin dingin sebetulnya bukan batik tapi perintang gumindang” ujar Ledia disela acara bertajuk Workshop Batik lilin dingin – Membatik dengan Hati, Mewarnai Dunia Jl. Gatot Subroto, Minggu (16/11/2025).

Terlebih teknis batik lilin dingin ini kata Ledia, secara literatur terbaca di dunia hanya ada dua, di Norwegia dan Indonesia, di Indonesia pun hanya ada di Banten dan di Toraja.

“Jadi menurut kami ini menjadi bagian yang penting untuk kemudian kita sosialisasikan supaya nanti kemudian terus terjaga karena sudah banyak yang tidak melakukan batik teknik ini,” tandasnya.

Target sosialisasi adalah ibu-ibu dan bapak-bapak di kota Bandung meskipun secara khas batik ini dari Banten.

“Banten kan masih bagian dari Jawa Barat administratifnya berbeda, bagaimana budaya Indonesia ini kemudian kita kembangkan setidaknya ini lebih mudah kalau mereka dalam keadaan ingin menyiapkan kedepan untuk usaha mereka,” bebernya.

Khusus pengembangan kata dia, mungkin nanti bisa membentuk kelompok-kelompok atau mereka (peserta workshop) mau jalan bergerak sosialisasi lagi meski tidak usaha.

Tetapi Ledia, berharap peserta mengembangkan budaya sambil juga meningkatkan ekonominya.

“Kita mengupayakan, tahapannya saat ini adalah tahap sosialisasi jadi sosialisasi ini kita lakukan terus menerus ini sudah… ke tiga ya kami lakukan, karena kita berharap makin banyak orang yang paham,” tegasnya.

Kedepan pihaknya akan mendorong ke sekolah-sekolah melalui pelajaran keterampilan seni budaya oleh guru-gurunya  supaya mulai memperkenalkan budaya-budaya.

“Bisa dibilang nyaris punah dan banyak yang tidak ingin melakukannya, makanya akan terus kita dorong, kita sosialisasikan ini,” tutupnya.

Sementara itu terlihat 100 orang guru kesenian baik tingkat SMP dan SMA dari Kota Bandung dan Kota Cimahi, antusias mengikuti workshop batik lilin pada acara semarak budaya.

Tampak guru-guru tersebut asyik membatik di atas kain percak berwarna putih yang diberikan panitia. Guru-guru tersebut cukup telaten membuat motif bunga dan mewarnai batik lilin miliknya.

“Acara ini bagus meningkatkan kreativitas, kita juga senang karena stres tersalurkan disini,” ujar Andriani.




Sosialisasi 4 Pilar di Cimahi, Ledia: Tetap Jaga Rasa Cinta Kebangsaan Negara Indonesia

*Sosialisasi 4 Pilar, Ledia Hanifa Ajak Warga Cimahi Pahami Kerja Kenegaraan dan Kebangsaan*

Prolite – Sosialisasi 4 Pilar. Hampir 80 tahun usia kemerdekaan Indonesia begitu banyak peristiwa-peristiwa penting dan genting telah dilalui masyarakat negeri ini. Perjuangan mempertahankan kemerdekaan, pemberontakan G30S PKI, aksi-aksi separatis, pergantian presiden, pergantian sistem pemilu, krisis moneter, pandemi covid dan banyak lagi.

“Alhamdulillah berbagai peristiwa ini nyatanya bisa kita lalui dengan segala suka dukanya. Dan meski sering dirasa berat, sebagai warga negara kita mampu melewati itu semua, karena apa? Saya yakin karena kita cinta pada negara ini, pada tanah air kita,” ucap anggota MPR RI Ledia Hanifa saat membuka Sosialisasi 4 Pilar MPR RI di Cimahi pada akhir Juli lalu.

Meski kadang kegelisahan masyarakat kerap diwujudkan dalam berbagai ekspresi lugas kritis Ledia yakin masyarakat pada dasarnya tetap cinta, bangga dan loyal sebagai warga negara Indonesia.

“Kemarin ini misalnya ada hastag kabur aja dulu, juga sempat muncul ungkapan kekhawatiran soal Indonesia cemas, ini kan sebenarnya bentuk sayang masyarakat kita pada negara ini. Ingin negara ini menjadi lebih baik. Dan saya yakin mereka semua tetap bangga sebagai bangsa Indonesia. Tetap cinta tanah air dan siap memberikan kontribusi terbaik bagi negeri ini,” sambungya di hadapan sekitar 150 warga Cimahi yang hadir di kantor DPD PKS Kota Cimahi, Jalan Kamarung Cimahi Utara.

Ledia yang juga anggota Komisi X DPR RI ini kemudian menjabarkan pentingnya hadirin memahami apa itu 4 Pilar MPR RI yang menjadi salah satu tugas anggota MPR RI untuk disosialisasikan pada masyarakat.

“Kalau soal tantangan, kurang apa bangsa kita dalam tantangan. Wilayah luas berbentuk kepulauan, pulau sampai belasan ribu, suku bangsa juga bahasa ada ribuan, agama banyak. Belum lagi kalau bicara budaya apalagi selera, wah berbeda-beda pastinya. Potensi berpecah belah. Tapi syukurlah para pendiri bangsa ini sungguh bijaksana, dan memunculkan konsepsi dan konsensus yang mampu menjadikan keberagaman ini sebagai sebuah kesatuan. Sebuah bhinneka tunggal ika.”

Sosialisasi 4 Pilar MPR RI sendiri terdiri atas Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, UUD NRI 1945 sebagai konstitusi negara dan ketetapan MPR, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai bentuk negara dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara.

“Memahami 4 Pilar MPR RI ini tentu akan membantu kita lebih memahami kerja kenegaraan dan kebangsaan negeri ini. Bagaimana kita menjalani kehidupan berpolitik, berdemokrasi dan bermasyarakat secara umum. Semua ada acuannya lewat 4 Pilar MPR ini.”

Anggota MPR RI yang menjalani masa bakti sejak 2009 ini lantas memberikan contoh-contoh implementatif.

“Saat ini keseluruhan dunia terasa begitu dekat. Informasi bahkan nilai-nilai budaya dari manapun bisa hadir ke dalam relung rumah kita lewat internet, bahkan lewat genggaman. Itu adalah kenyataan hidup yang tidak bisa dibantah, tapi adanya nilai Pancasila, Undang-undang Dasar, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika membawa kita pada kesadaran untuk menyaring segala informasi dan nilai budaya yang hadir. Mana yang berkesesuaian, mana yang kita tolak.”

Paham komunisme tentu tidak bisa tumbuh berkembang di negeri Pancasila, lanjut Ledia. Begitu pula paham atheisme karena negara kita memiliki azas Ketuhanan Yang Maha Esa. Bahkan dukungan pada perjuangan Bangsa Palestina adalah sebuah keniscayaan yang didukung oleh amanat konstitusi.

“Justru dengan memahami 4 Pilar MPR RI kita akan disadarkan bahwa membela perjuangan kemerdaan Bangsa Palestina adalah amanat konstitusi yang termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945: _Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan,” tutupnya.




MBG, Ledia Beri 4 Catatan Dari Efisiensi Jumlah Hingga Pengelolaan Sampah

MBG

MBG, Ledia Beri 4 Catatan Dari Efisiensi Jumlah Hingga Pengelolaan Sampah

Prolite – Di masa reses, anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah meninjau pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) di beberapa sekolah di Kota Bandung dan Kota Cimahi. Hasil kunjungan dan serap aspirasi tersebut dirangkum Ledia dalam empat catatan.

Pertama, dari hasil kunjungan ke beberapa sekolah ini terungkap bahwa kebutuhan akan program MBG ini tidak merata keseluruhannya.

Ada sejumlah sekolah yang memang kondisi sebagian besar siswanya dari kalangan tidak mampu atau hampir semuanya tidak mampu. Yang memang kalau pagi-pagi mereka sulit untuk sarapan, tidak punya bekal, dan lain sebagainya. Maka sekolah ini tentu menjadi prioritas utama. Sementara ada sekolah yang mayoritas siswanya berasal dari keluarga mampu sehingga tidak begitu memerlukan program MBG.

“Mengingat pelaksanaan program ini membutuhkan dana sangat besar dan saat ini bahkan belum bisa menjangkau semua sekolah di seluruh Indonesia, maka diperlukan pendataan yang lebih jelas agar diperoleh informasi akurat mana-mana sekolah yang harus diprioritaskan menerima program MBG ini,” kata anggota anggota Komisi X DPR RI ini.

Kedua, perlu efisiensi jumlah paket makanan, dengan tidak menyamaratakan jumlah paket makanan setiap hari. Sebab setiap sekolah umumnya sudah punya ukuran rata-rata berapa yang tidak hadir di sekolah dalam satu hari. Misalnya pada salah satu SMP yang dikunjungi, rata-rata ada 60 siswa dari 800 siswa tidak hadir setiap harinya. Namun selalu dikirim 800 paket makanan sesuai jumlah siswa sehingga ada kelebihan puluhan paket makanan setiap hari.

“Kalau sudah punya ukuran rata-rata ini, mungkin tidak harus dikirim 800 paket makanannya, bisa saja 750 cukup. Agar apa? Agar kita bisa melakukan efisiensi dan mencegah pemborosan. Efisiensi anggaran bisa terbukti dari sini. Bukan menyatakan efisiensi tetapi dengan cara dikurangi mutu atau kualitas produknya,” saran aleg dapil Jawa Barat 1 ini pula.

Urusan kelebihan makanan ini bukan perkara remeh. Sebab kelebihan hingga puluhan paket makanan setiap hari tentu memiliki dampak anggaran yang cukup besar dalam hitungan bulan, semester hingga tahun.

“Karena di sini kita bicara program yang dibiayai oleh APBN, oleh dana dari pajak masyarakat juga, maka kasus kelebihan pengiriman makanan hingga berjumlah bukan sekedar satu dua tapi puluhan dan terjadi setiap hari tentu bertolak belakang dari semangat efisiensi,” lugasnya.

Sebenarnya, lanjut Ledia, upaya meminimalisir kelebihan pengiriman ini memungkinkan terjadi kalau antara pihak sekolah dan dapur MBG bisa melakukan koordinasi.

“Makanan itu kan diantar siang ya, diolah sejak pagi. Bagi yang dapurnya cukup dekat, masih dalam kisaran satu kecamatan misalnya, sekitar jam pagi kan sudah bisa dilaporkan, berapa siswa yang tidak hadir. Dari 800 siswa, yang tidak hadir 60 orang. Maka bisa dikirim 750 paket saja, masih ada lebih tapi tidak banyak. Masih memadailah gitu. Cuma orang suka berpikir ah repot, ribet kalau ada ganti-ganti jumlah tiap hari. Padahal lama-lama akan ketemu polanya, dan bisa diminimalisir kelebihan paket tidak lebih dari 10 misalnya. Pihak dapur yang terbiasa memegang beberapa sekolah tentu bisa mengatur hal ini.”

Ketiga, terkait dengan sampah sisa makananan. Tanpa menghitung kelebihan makanan saja, paket MBG ini setiap hari menyisakan sampah, seperti kulit buah, kotak bekas susu, serta sisa makanan yang tidak habis dimakan siswa. Satu dua hari masih aman, namun setelah berbilang pekan dan bulan beberapa sekolah mulai memiliki problem baru; pengelolaan sampah.

Aanggota Komisi X DPR RI sekaligus Sekretaris Fraksi PKS DPR RI ini lantas menceritakan curhat kepusingan sekolah soal cara pengelolaan sampah.

“Sampah diproduksi setiap hari padahal tidak semua wilayah punya sistem pengelolaan sampah yang baik dan cepat. Beberapa sekolah jadi curhat terkait PR baru soal pengelolaan sampah ini. Sekolah pada akhirnya memerlukan bantuan dalam hal pengelolaan sampah. Entah akan dimagotisasi, dikomposting, mau diapain juga itu sampah tentu harus disiapkan agar tidak menumpuk dan menjadi sumber masalah baru. Artinya, perlu koordinasi juga antara sekolah dan pihak terkait seperti RW dan Kelurahan.”

Terakhir, dari hasil pengamatan ini, perjalanan kunjungan kerja dan juga beberapa laporan yang masuk pada Komisi X DPR RI terungkap bahwa kebutuhan prioritas utama program MBG ini lebih nyata diperlukan pada daerah-daerah 3T.

“Daerah 3T, daerah tertinggal, terdepan, terluar, itu sungguh sangat perlu diafirmasi agar percepatan ketercapaian gizi sehari-harinya itu bisa memadai. Angka kurang gizi, stunting, itu banyak ditemukan pada daerah 3T.”

Karena itu Ledia mengingatkan Pemerintah agar menempatkan prioritas program MBG ini utamanya pada daerah 3T disusul pada daerah lain dengan prioritas pemberian program bagi sekolah yang memiliki mayoritas siswa dari golongan masyarakat menengah ke bawah.

“Ini tentu memerlukan pendataan yang tepat agar program ini bisa benar-benar mendorong peningkatan gizi anak-anak Indonesia masa depan,” tutupnya.




Ledia Hanifa Ungkapkan Tantangan Pendidikan di Indonesia

Pendidikan

Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah Membincang Pendidikan Di Indonesia Masa Datang

Prolite – Pendidikan merupakan fondasi penting bagi kemajuan suatu bangsa. Di Indonesia, tantangan dalam sektor pendidikan semakin kompleks. Perlu perhatian serta tindakan yang serius dari semua pihak. Hal ini mengemuka dalam webinar bertajuk “Evaluasi Kebijakan Pendidikan Nasional di Indonesia dalam Menyongsong Indonesia Emas 2045” yang diselenggarakan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (BK DPRRI) di Jakarta, Kamis (21/11)

“Secara garis besar ada beberapa tantangan pendidikan yang harus kita selesaikan bersama, seperti persoalan kualitas dan pemerataan pendidikan; sarana prasarana, kualitas & kesejahteraan guru, akses & partisipasi pendidikan, serta manajemen dan tata kelola pendidikan,” kata Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah, yang menjadi salah satu narasumber webinar tersebut.

Terkait persoalan kualitas dan pemerataan pendidikan, Ledia menjelaskan bahwa standar kurikulum yang belum merata di semua daerah, sebaran guru yang masih senjang utamanya di daerah terpencil serta kurangnya kreasi dan inovasi metode pembelajaran menjadi faktor yang harus diperhatikan dan diatasi.

“Kita berharap janganlah setiap ganti menteri ganti kurikulum. Ada perubahan metode atau pendekatan tentu wajar tapi semestinya tetap dalam satu landasan yang sama. Dan kurikulum ini meski bersifat nasional tetap perlu penyesuaian dengan kondisi lokal atau kebutuhan siswa di daerah.”

Soal tantangan sarana prasarana sekolah dijelaskan anggota DPR dapil Kota Bandung dan Cimahi ini termasuk kondisi bangunan sekolah, akses dan keterbatasan fasilitas sekolah serta ketimpangan distribusi sarana belajar seperti laboratorium, perpustakaan dan alat teknologi pendidikan.

“Jumlah ruang kelas rusak di seluruh pelosok negeri sangat banyak. Data BPS menunjukkan ada lebih dari 50% kelas rusak untuk tingkat SD dan hampir 50% untuk tingkat SMP. Sementara level SMA dan SMK lebih dari 30% nya. Ini tentu peer besar bagi pemerintah. Bagaimana menuntaskan hal ini meski bertahap namun segera. Karena terkait dengan keselamatan dan kenyamanan belajar siswa dan guru. Kami sendiri di Komisi X berharap agar tanggungjawab anggaran perbaikan ruang kelas sekolah yang saat ini berada di pihak PUPR dikembalikan ke kementerian pendidikan.”

Sementara untuk persoalan kesejahteraan guru dijelaskan Ledia meliputi banyaknya guru yang belum sejahtera karena masih terdapat sistem penggajian dan tunjangan yang rendah, utamanya pada mereka yang berstatus guru honorer atau guru di sekolah swasta yang memiliki pemasukan terbatas.

“Kebutuhan guru di seluruh sekolah di negeri ini sangat banyak, baik di sekolah negeri maupun swasta. Karena itu kehadiran guru honorer menjadi sangat dibutuhkan. Sayangnya guru honorer sering menerima upah jauh di bawah standar hidup layak dan tidak memperoleh tunjangan atau jaminan sosial memadai.”

Tambahan pula, lanjut Ledia, banyak guru ,terutama guru honorer, yang juga tidak mendapat akses pelatihan atau pendidikan yang memadai untuk peningkatan kompetensi, sehingga makin sulit bagi mereka untuk mendapat peningkatan kesejahteraan. Karenanya diperlukan rencana segera dan berkelanjutan dari Pemerintah untuk bisa mengeluarkan program terkait peningkatan kesejahteraan guru.

Mengurai tantangan akses dan partisipasi pendidikan, Ledia yang juga anggota Badan Legislasi ini menyebut faktor ekonomi seringkali menjadi hambatan siswa melanjutkan sekolah. Kalau mengacu data tingkat SD angka partisipasi murninya memang tergolong tinggi, yaitu 97% anak Indonesia bersekolah. Namun ternyata semakin tinggi jenjang pendidikan angkanya semakin mengecil, untuk level SMP hanya sekitar 81% dan setingkat SMA hanya sekitar 62%.




Ledia Ajak Mahasiswa Cermati Persoalan Pendidikan di Indonesia

Ledia Ajak Mahasiswa Cermati Persoalan Pendidikan di Indonesia

BANDUNG, Prolite – Saat melakukan Sosialisasi 4 Pilar MPR RI di hadapan ratusan mahasiswa dari berbagai kampus di Kota Bandung pada Sabtu 31 Agustus lalu, anggota MPR RI Ledia Hanifa Amaliah mengajukan pertanyaan menggelitik:

“Apa sebesar-besarnya manfaat yang bisa kalian dapatkan sebagai mahasiswa dari konstitusi kita, UUD Negara Republik Indonesia 1945?” lempar Ledia.

Para mahasiswa yang hadir di Hotel Tebu dan berasal dari berbagai kampus ini mulai berpikir, sebagian segera membuka buku UUD 1945 yang dibagikan sebagai kelengkapan materi, sebagian lagi mulai berdiskusi dengan teman di kiri kanan. Banyak jawaban kemudian muncul. Ada yang bicara soal kesehatan, pendidikan, kebebasan berpendapat dan lain-lain.

Mengapresiasi berbagai jawaban Ledia kemudian mengajak mengurai satu jawaban yang terkait langsung dengan konteks kemahasiswaan, yaitu hak pendidikan yang tercakup di pasal 31 UUD 1945.

“Apakah adik-adik semua menyadari dan sudah memahami bahwa pasal ini sudah mengalami perubahan lewat amandemen keempat? Di mana pada pasal awal hanya terdiri dari dua ayat dan mencantumkan kata pengajaran sementara lewat amandemen keempat menjadi 4 ayat dengan mencantumkan kata pendidikan?” tanyanya.

Ledia kemudian menjelaskan betapa memahami konstitusi UUD 1945 merupakan satu keniscayaan agar mahasiswa bisa memahami apa hak dan kewajiban sebagai warga negara Indonesia. Begitu pula dengan memahami dasar negara Pancasila, bentuk negara NKRI dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Semua ini untuk memastikan setiap warga negara memahami hak dan kewajibannya serta dapat berperan aktif dalam pembangunan sekaligus menikmati hasil pembangunan dengan adil, rukun dan berkesinambungan.

“Coba lihat pasal 31 secara utuh, di pasal 1 kita bisa memahami bahwa mendapat pendidikan adalah hak setiap warga negara. Sebagai hak tentu boleh diambil boleh tidak. Namun pada ayat 2 dijelaskan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Nah, karena sampai saat ini dalam undang-undang Sisdiknas yang disebut pendidikan dasar itu 9 tahun maka yang wajib dibiayai oleh negara adalah tingkat SD hingga SMP,” jelasnya.

Namun, lanjut Ledia yang juga anggota Komisi X DPR RI ini, disamping pembebasan uang SPP pada tingkat SD dan SMP pemerintah juga harus mengeluarkan pembiayaan fungsi pendidikan lain seperti pembiayaan untuk operasional sekolah, kebutuhan alat kelengkapan pendidikan termasuk misalnya laboratorium, alat TIK juga dengan menyediakan bantuan-bantuan biaya pendidikan.

“Sebab di ayat ke ayat 4 pasal 33 UUD 1945 disebutkan Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Ini artinya dari APBN dan APBD Propinsi maupun Kota dan Kabupaten harus dikeluarkan anggaran untuk pendidikan minimal 20 persen. Banyak nampaknya ya tapi sayang ternyata belum semua mengikuti amanah konstitusi sehingga harus terus kita kawal dan kritisi,” tambahnya.

Dalam diskusi lanjutan, Ledia juga mengajak pada para mahasiswa yang hadir untuk selalu siap mendalami dan mencermati persoalan kebijakan dan regulasi pendidikan karena tidak hanya berkaitan dengan nasib para hadirin sebagai mahasiswa tapi juga nasib bangsa Indonesia ke depannya.

“Mari bersama-sama menjadi mahasiswa yang lebih kritis, mau ikut mencermati, mengawal dan mengkritisi setiap kebijakan negara agar bisa bersama-sama mendorong kebaikan, kemajuan dan pemenuhan hak dan kewajiban setiap warga negara secara adil dan berkelanjutan,” ajak Ledia di akhir sesi.




Ledia Hanifa Minta PP No. 28 Tahun 2024 Dicabut

Ledia Hanifa - PP No. 28 tahun 2024

Ledia Hanifa: PP No. 28 Tahun 2024 Seperti Menormalisasi “Zina” di Kalangan Pelajar

BANDUNG, Prolite – Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah menyebut mengerikan dan meminta agar pemerintah mencabut PP No. 28 tahun 2024 terkait menyediakan alat kontrasepsi bagi pelajar dan remaja.

Dikhawatirkan pengesahan PP No. 28 tahun 2024 tentang kesehatan itu, membuat pelajar dan remaja menormalisasi perbuatan zina.

Karena itu kata Ledia, pemerintah harus mencabut PP no. 28 tahun 2024 ini.

“Kita mendesak pemerintah dalam tempo sesingkat – singkatnya mencabut PP no 28 tahun 2024,” tegasnya lantang.

Jelas Ledia, PP tersebut merupakan turunan undang – undang kesehatan pasal 103 yang menyebutkan tentang upaya kesehatan sistem reproduksi di usia sekolah dan remaja.

“Ini bikin deg-degan dan gemes, kenapa sih mesti difokuskan di usia tersebut. Kita tahu itu secara seksual sudah dalam proses sexually active yang mereka punya ketertarikan sudah mulai mendapatkan informasi-informasi,” jelas Ledia kepada redaksi, Kamis (8/8/2024).

Sebetulnya, lanjut dia, pembelajaran seksual itu bisa diatasi, dikomunikasikan yang baik dengan orang tua, guru pembimbing, konseling di sekolah dan orang-orang dewasa yang bisa dipercaya.

Dalam PP pasal 103 ayat 1 itu disebutkan bahwa upaya kesehatan sistem reproduksi usai sekolah dan remaja sebagaimana dimaksud pasal 101 ayat (1) huruf b paling sedikit berupa komunikasi, informasi, edukasi, serta pelayanan kesehatan reproduksi.

“Diperjelas ayat 4 huruf e disebutkan bahwa pelayanan kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi deteksi penyakit atau skrining, pengobatan, rehabilitasi, konseling, dan penyediaan alat kontrasepsi,” ujarnya.

“Lantas kemudian, saya jadi berpikir anak sekolah disediakan alat kontrasepsi apa namanya? Mau disuruh zina? Kan gak begitu,” ucapnya lagi.

Masih kata politisi perempuan partai PKS ini, pendidikan itu harusnya membuat para siswanya beriman dan bertaqwa sesuai konstitusi di undang-undang tentang sistem pendidikan nasional.

Pasal 3 kata dia menyebutkan tujuan pendidikan nasional juga beriman dan bertaqwa.

“Kita menyuruh anak-anak untuk beriman dan bertaqwa tapi menyediakan fasilitas melanggar ketentuan yang maha kuasa, apa namanya, mengerikan,” gerutunya.

Ledia mengimbau para orang tua dan semua pihak terkait lebih melindungi anak-anaknya.

“Mari kita lindungi anak-anak kita dari kelalaian pemerintah dalam membuat peraturan dan regulasi sehingga menyebabkan anak-anak rusak. Sekarang juga pemerintah harus mencabut PP tersebut. Selamatkan anak kita selamatkan anak-anak Indonesia,” tutupnya.