Hadapi Krisis Air, Sinergi Antara Teknologi Modern dan Kekayaan Lokal Sebagai Solusi

Prolite – Dilansir dari web resmi Pemerintah Indonesia, penggabungan teknologi mutakhir dengan kekayaan lokal telah diterima sebagai pendekatan yang tepat dalam menangani dampak krisis air yang disebabkan oleh perubahan iklim.
Menurut statistik dari World Meteorological Organization (WMO), sebanyak 60% kerusakan yang terjadi di negara-negara maju akibat dari perubahan iklim, cuaca yang tidak menentu, dan krisis air hanya memberikan dampak sebesar 0,1% pada produk domestik bruto mereka (PDB).
Di sisi lain, situasi di negara-negara berkembang sangat berbeda. Di sini, 7% dari bencana bisa menimbulkan kerugian hingga 5% dari PDB, dengan beberapa negara bahkan mencapai kerugian hingga 30%.
Negara kepulauan kecil punya kondisi yang lebih memprihatinkan, dengan 20% dari bencana menimbulkan kerugian hingga setengah dari PDB mereka, beberapa bahkan melampaui 100%.
Data tambahan dari WMO menunjukkan bahwa kerugian ekonomi global yang disebabkan oleh cuaca, iklim, dan fenomena terkait air terus meningkat.
Dari tahun 2010 hingga 2019, kerugian mencapai USD1,476.2 miliar, meningkat pesat dibandingkan dengan dekade-dekade sebelumnya.
Dalam dialog Forum Merdeka Barat 9 dengan tema “Kolaborasi Global Dalam Mengantisipasi Krisis Air”, Dwikorita Karnawati, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), menyatakan bahwa Indonesia, sebagai negara berkembang dan kepulauan, saat ini menghadapi ancaman kekeringan yang lebih parah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Fenomena El Nino yang dimulai sejak Juli 2023 telah mempengaruhi debit air di beberapa sungai dan waduk di Indonesia, menyebabkan penurunan pasokan air untuk berbagai keperluan.
Pihak BMKG telah memproyeksikan bahwa puncak El Nino akan berlangsung hingga awal tahun 2024, mempengaruhi banyak wilayah di Indonesia, termasuk Sumatra, Riau, Jambi, Lampung, Banten, dan Jawa Barat.
Tindakan pencegahan juga telah diambil terkait kekeringan, termasuk mempersiapkan waduk, embung, dan sumur air dalam.
Namun, Dwikorita menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, masyarakat, dan organisasi internasional untuk menangani krisis air.
Dalam acara World Water Forum ke-10 yang akan berlangsung di Bali, Dwikorita berharap Indonesia dapat menjadi mediator antara negara maju dan berkembang dalam upaya menangani krisis air.
Selain itu, Indonesia dapat berbagi pengetahuan lokal yang telah terbukti efektif dalam mengelola sumber daya air.
Dia menambahkan, integrasi teknologi dan kebijakan lokal telah menjadi pendekatan terbaik untuk menangani dampak krisis air.
BMKG telah dapat mendeteksi dan menyediakan informasi terkait dengan anomali iklim, sehingga tindakan pencegahan dapat diambil lebih dini.
Endra S Atmawidjaja, Wakil Ketua Sekretariat Panitia Nasional World Water Forum Ke-10, mengatakan bahwa Indonesia siap untuk berperan aktif dalam menangani krisis air global.
Presiden Joko Widodo telah ditunjuk oleh World Water Council sebagai Water Messenger, yang bertugas menyampaikan pesan global tentang pentingnya air.
Indonesia telah berupaya keras untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan, khususnya terkait akses air minum dan sanitasi yang layak. Pada tahun 2023, Indonesia telah mencapai akses 90% untuk air minum dan 80% untuk sanitasi.
Yoon-Jin Kim, Direktur Asia Pasifik & 10th World Water Forum, menegaskan pentingnya ketahanan pangan dalam menghadapi krisis air, mengingat dampaknya pada produksi pangan dan potensi kelaparan.
