Diboikot Netizen, Karier Abidzar Terancam? Ini Kata Pakar Soal Cancel Culture!

Prolite – Diboikot Netizen, Karier Abidzar Terancam? Ini Kata Pakar Soal Cancel Culture!
Industri film Indonesia kembali dihebohkan dengan polemik yang melibatkan aktor muda Abidzar Al Ghifari. Pemeran utama dalam adaptasi A Business Proposal versi Indonesia ini menuai kritik tajam setelah mengungkapkan bahwa ia tidak membaca Webtoon maupun menonton drama Korea versi aslinya.
Pernyataan tersebut menimbulkan gelombang kekecewaan dari para penggemar, yang menganggap bahwa Abidzar kurang menghormati sumber asli dari karya yang ia perankan.
Akibatnya, film ini mendapat serangan dari warganet, mulai dari penurunan drastis rating di IMDb hingga pemutaran film yang mulai dihentikan di beberapa bioskop. Fenomena ini pun memicu perbincangan luas mengenai cancel culture dan dampaknya terhadap industri film di Indonesia.
Abidzar dan Kontroversi yang Mengguncang Industri Film
Sebagai seorang aktor yang sedang meniti karier, pernyataan Abidzar menjadi bumerang baginya. Keputusannya untuk tidak merujuk pada materi asli dianggap sebagai bentuk kurangnya persiapan serta sikap yang meremehkan penggemar setia karya tersebut.
Tidak sedikit yang menyatakan bahwa hal ini mencederai ekspektasi mereka terhadap film adaptasi, yang seharusnya tetap mempertahankan esensi cerita asli.
Dampaknya sangat cepat terasa. Rating film di IMDb merosot drastis hingga 1/10, menandakan gelombang ketidakpuasan yang besar.
Bahkan, beberapa bioskop dilaporkan mulai menarik film ini dari daftar penayangan mereka karena respon negatif yang terus meningkat.
Cancel Culture dan Pengaruhnya di Industri Film
Fenomena cancel culture bukanlah hal baru dalam dunia hiburan. Pakar industri kreatif, Meilinda, yang merupakan dosen English for Creative Industry di Universitas Kristen Petra (UK Petra), menjelaskan bahwa cancel culture telah menjadi alat bagi masyarakat untuk menunjukkan ketidaksetujuan mereka terhadap tindakan atau pernyataan figur publik.
Namun, dampaknya bisa sangat besar, tidak hanya bagi individu yang terkena boikot, tetapi juga bagi seluruh produksi film yang terlibat.
“Efeknya tidak hanya mengenai satu aktor, tetapi juga seluruh tim produksi yang bekerja keras dalam proyek tersebut. Jika reaksi publik terlalu negatif, film yang sebenarnya memiliki potensi baik pun bisa tenggelam akibat citra buruk salah satu pemainnya,” ujar Meilinda dalam sebuah diskusi di Surabaya.
Sebagai figur publik, aktor diharapkan memiliki kesadaran akan pentingnya citra dan cara berkomunikasi dengan audiens. Di Indonesia, sikap rendah hati dan apresiasi terhadap karya seni sangat dijunjung tinggi.
Ketika seorang aktor dianggap kurang menghargai sumber asli, masyarakat pun cenderung merespons dengan reaksi yang keras.
Adaptasi vs Interpretasi: Sejauh Mana Aktor Boleh Berkreativitas?
Dalam dunia perfilman, ada dua pendekatan yang sering digunakan dalam proyek adaptasi, yaitu mempertahankan esensi asli atau memberikan sentuhan baru terhadap karakter dan cerita.
Dalam kasus Abidzar, ia memilih untuk menginterpretasikan karakternya sendiri tanpa merujuk pada sumber asli.
Meilinda menyoroti bahwa meskipun kebebasan berekspresi dalam akting sangat penting, pemahaman terhadap materi sumber tetap krusial dalam sebuah adaptasi.
“Jika film adaptasi ingin tetap mempertahankan nuansa dan karakteristik dari sumbernya, maka pemahaman mendalam dari aktor sangat diperlukan. Namun, jika tujuannya adalah untuk memberikan perspektif baru, maka kebebasan berinterpretasi memang bisa dilakukan dengan tetap mempertimbangkan ekspektasi penonton,” jelasnya.
Reputasi Publik dan Kesuksesan Film
Seorang aktor bukan hanya dinilai dari bakat aktingnya, tetapi juga dari citra publik yang mereka bangun. Meilinda menambahkan bahwa kontroversi yang melibatkan aktor dapat secara langsung berimbas pada kesuksesan film di pasaran.
“Di era media sosial, reputasi seorang aktor sangat berpengaruh terhadap bagaimana masyarakat menerima sebuah film. Oleh karena itu, produser tidak hanya mempertimbangkan kemampuan akting, tetapi juga bagaimana seorang aktor dapat membangun hubungan yang baik dengan publik,” ujarnya.
Dampak Negatif Cancel Culture: Apakah Ruang Diskusi Mulai Tertutup?
Meski cancel culture sering kali dianggap sebagai cara bagi masyarakat untuk menegakkan standar etika dan moral, fenomena ini juga memiliki sisi negatif.
Meilinda mengingatkan bahwa budaya boikot yang semakin masif dapat menghambat ruang diskusi yang sehat dalam masyarakat.
“Jika masyarakat terlalu mudah melakukan cancel culture, maka ruang untuk memahami perspektif yang berbeda akan semakin sempit. Opini yang bertentangan dengan keyakinan mayoritas bisa langsung ditolak tanpa adanya dialog atau upaya untuk mencari titik tengah,” jelasnya.
Dalam kasus Abidzar, kritik terhadapnya bisa menjadi pelajaran bagi aktor-aktor lain dalam memahami pentingnya menghormati sumber asli dan ekspektasi penonton.
Namun, perlu juga ada keseimbangan dalam menilai sebuah kesalahan—apakah masih bisa diperbaiki atau harus berujung pada penghapusan total dari industri.
Kasus Abidzar Al Ghifari menjadi cerminan bagaimana cancel culture bisa memberikan dampak besar terhadap industri hiburan. Di satu sisi, fenomena ini mengingatkan para aktor dan pekerja seni untuk lebih berhati-hati dalam menyampaikan pernyataan.
Namun, di sisi lain, terlalu cepat membatalkan atau memboikot seseorang juga dapat membatasi ruang kreativitas dan diskusi publik.
Sebagai penonton, kita memiliki kekuatan untuk menentukan keberlanjutan suatu karya. Namun, sebelum terburu-buru melakukan boikot, ada baiknya mempertimbangkan sejauh mana kesalahan yang dibuat dan apakah ada ruang bagi sang aktor untuk belajar dan memperbaiki diri.
Dunia hiburan akan terus berkembang, dan bagaimana kita menyikapinya akan menentukan arah masa depan industri film Indonesia.
Bagaimana menurut Anda? Apakah cancel culture lebih banyak membawa dampak positif atau justru negatif? Bagikan pendapat Anda di kolom komentar!