Gen Z Mulai Bosan dengan Smartphone, Ini ‘HP Pengganti’ yang Lagi Naik Daun!

Prolite – Gen Z Mulai Bosan dengan Smartphone, Ini ‘HP Pengganti’ yang Lagi Naik Daun!

Pernah kepikiran nggak kalau hidup tanpa smartphone itu mungkin aja? 😳 Di tengah era serba digital kayak sekarang, ternyata ada tren baru yang justru bikin banyak orang, khususnya Gen Z, berpaling dari smartphone.

Yap, generasi yang katanya nggak bisa lepas dari layar, mulai bosan dan memilih untuk balik ke ponsel jadul alias feature phone atau yang kini akrab disebut dumb phone.

Menariknya, tren ini bukan sekadar nostalgia atau gaya hidup retro. Ada alasan psikologis, sosial, bahkan ekonomi yang bikin anak muda masa kini lebih tertarik ke HP simpel ketimbang smartphone canggih. Yuk, kita bahas kenapa fenomena ini bisa terjadi dan apa dampaknya buat masa depan gadget!

Fenomena Gen Z: Bosan dengan Dunia di Dalam Layar

Menurut laporan dari CNBC International (2025), influencer dumb phone asal AS, Jose Briones, bilang bahwa Gen Z mulai merasa jenuh dengan smartphone karena mereka terlalu lama hidup dengan notifikasi, aplikasi, dan eksposur media sosial yang tiada habisnya. “Mereka bosan dengan layar,” katanya.

Dan memang, survei kecil di TikTok dan Reddit menunjukkan hal yang sama: banyak Gen Z yang merasa burnout digital. Mereka ingin lebih present di dunia nyata, bukan terus-terusan nge-scroll tanpa arah. Akibatnya, ponsel sederhana yang cuma bisa SMS dan telepon malah jadi simbol kebebasan baru.

Dari Smartphone ke Feature Phone: Tren yang Mulai Mendunia

Fenomena ini bukan cuma iseng sesaat. Di Amerika Serikat, penjualan feature phone dilaporkan melonjak hingga puluhan ribu unit per bulan sejak 2022, bahkan ketika pasar smartphone global justru turun.

Salah satu yang diuntungkan adalah HMD Global, pemegang lisensi merek legendaris Nokia. Perusahaan ini kembali laris berkat seri ponsel klasik yang sempat populer di awal 2000-an. Nostalgia, desain minimalis, dan daya tahan baterai yang awet jadi alasan utama banyak orang berpaling ke ponsel jadul.

Sementara itu, di pasar global, Counterpoint Research mencatat bahwa pasar feature phone masih sangat kuat di kawasan Timur Tengah, Afrika, dan India, yang mencakup 80% dari total penjualan. Artinya, tren ini nggak cuma tren gaya hidup anak muda kota besar, tapi juga jadi bagian dari realitas ekonomi dan kebutuhan komunikasi yang lebih sederhana.

Indonesia: Smartphone Menurun, Konsumen Makin Selektif

Nah, gimana dengan Indonesia? Menurut laporan IDC (International Data Corporation) dalam Worldwide Quarterly Mobile Phone Tracker (2025), pasar smartphone di Indonesia turun 14,3% pada 2023, hanya mengirimkan sekitar 35 juta unit.

Kemudian di kuartal II tahun 2025, penurunan masih berlanjut sebesar 3,5% secara tahunan (YoY) — bahkan disebut sebagai penurunan paling parah di Asia Tenggara. Sementara itu, negara lain seperti Filipina, Malaysia, dan Thailand justru mengalami pertumbuhan positif di sektor yang sama.

Salah satu penyebab utamanya adalah daya beli masyarakat yang melemah, ditambah tren pergeseran minat ke perangkat yang lebih sederhana, hemat daya, dan tahan lama. Dengan kata lain, orang Indonesia mulai realistis: nggak semua hal butuh kamera 200 MP dan RAM 16 GB.

Psikologi di Balik Tren: Kejenuhan Digital & Keinginan untuk Lepas

Banyak pakar psikologi modern menyebut fenomena ini sebagai bentuk digital detox. Gen Z mulai sadar bahwa terlalu lama terpapar media sosial bisa memengaruhi kesehatan mental — dari kecemasan sosial, fear of missing out (FOMO), sampai gangguan tidur.

Menurut penelitian terbaru dari American Psychological Association (APA, 2025), 64% remaja dan dewasa muda mengaku merasa lebih tenang dan produktif setelah mengurangi waktu layar. Dengan menggunakan dumb phone, mereka bisa tetap terhubung tanpa tergoda terus buka Instagram atau TikTok setiap lima menit.

HP Jadul: Simpel, Murah, dan Bikin Hidup Lebih Nyata

Selain alasan mental, banyak juga yang memilih feature phone karena alasan ekonomi dan fungsional. Harga smartphone premium yang makin tinggi bikin sebagian orang berpikir ulang sebelum upgrade.

Di sisi lain, HP jadul bisa dipakai berhari-hari tanpa perlu charge ulang — cocok buat yang sering bepergian atau ingin break dari dunia digital.

Beberapa Gen Z bahkan menjadikan dumb phone sebagai “HP kedua”. Jadi, mereka tetap punya smartphone untuk kerja atau kuliah, tapi pakai ponsel jadul di waktu istirahat supaya bisa disconnect dari distraksi online.

Apakah Smartphone Akan Benar-Benar Ditinggalkan?

 

Meski trennya naik, bukan berarti smartphone akan punah. Justru, fenomena ini lebih ke arah perubahan perilaku pengguna. Anak muda sekarang lebih sadar bahwa teknologi seharusnya membantu, bukan menguasai hidup mereka.

Banyak produsen kini menyesuaikan diri dengan tren minimal tech, menghadirkan ponsel pintar dengan mode fokus, digital well-being tools, atau bahkan desain yang lebih sederhana dan bebas iklan.

Saatnya Bijak Menggunakan Teknologi!

Fenomena Gen Z yang mulai meninggalkan smartphone bukan tentang anti-teknologi, tapi tentang menemukan keseimbangan baru. Mereka memilih hidup yang lebih sadar, fokus, dan bebas dari distraksi digital berlebih.

Jadi, mungkin pertanyaannya bukan lagi, “Kapan ganti smartphone?” tapi “Kapan terakhir kali kamu benar-benar offline tanpa merasa kehilangan?” 📵

Mulailah dari hal kecil — coba digital detox weekend, atau gunakan HP biasa di waktu santai. Siapa tahu, kamu justru menemukan kembali ketenangan yang selama ini hilang di balik layar.




Digital Detox Summer: Meretas Tren Gaya Lewat Kreativitas Offline

Digital Detox Summer

Prolite – Digital Detox Summer: Meretas Tren Gaya Lewat Kreativitas Offline

Di tengah dunia yang serba online, terkadang kita lupa gimana rasanya hidup tanpa notifikasi yang nggak ada habisnya. Nah, tren Digital Detox Summer yang lagi booming baru-baru ini jadi semacam perlawanan kreatif terhadap algoritma.

Anak muda, fashion enthusiast, sampai kreator independen mulai sengaja “menepi” dari dunia maya buat nyari inspirasi gaya yang lebih otentik. Caranya? Dengan kembali ke hal-hal analog: motret pakai kamera film, ngulik majalah cetak, atau eksplorasi fashion yang nggak dikurasi algoritma TikTok dan Instagram.

Menurut laporan Vogue Business edisi Agustus 2025, fenomena ini bukan cuma tren musiman, tapi tanda perubahan mindset: orang makin nyadar kalau identitas gaya nggak harus ditentukan likes dan algoritma, tapi lewat kreativitas yang bebas dari distraksi digital.

Fenomena Offline Summer: Kreativitas Anti-Algoritma

 

Bayangin, liburan musim panas yang biasanya diisi scroll tanpa henti, sekarang berubah jadi ajang eksplorasi offline. Orang-orang nyoba bikin moodboard manual dari potongan majalah, hunting outfit vintage di pasar loak, atau sekadar nulis ide gaya di jurnal.

Aktivitas populer dalam tren ini antara lain:

  • Film photography: hasilnya raw, kadang nggak sempurna, tapi justru punya karakter.
  • Print publications: majalah lama atau zine indie jadi sumber referensi yang fresh.
  • Analog journaling: bikin scrapbook gaya, catatan fashion, atau sketch outfit.

Tren ini bikin gaya personal lebih organik, karena muncul dari eksplorasi diri, bukan sekadar mengikuti tren yang lewat di FYP.

Nostalgia & Autentisitas dalam Gaya

Salah satu daya tarik utama Digital Detox Summer adalah vibes nostalgia. Generasi Z yang lahir di era digital justru lagi gandrung sama hal-hal yang dianggap “old school”. Kamera disposable, CD musik, sampai tumpukan majalah fashion era 90-an mendadak jadi sumber inspirasi baru.

Menurut analisis The Business of Fashion (2025), nostalgia ini nggak sekadar gaya-gayaan. Ada kerinduan nyata untuk hal yang lebih personal, di mana inspirasi nggak datang dari feed yang seragam, tapi dari pengalaman unik masing-masing orang. Autentisitas inilah yang bikin tren ini terasa segar.

Dampak ke Personal Style: Dari Vintage hingga Slow Fashion

 

 

Menariknya, Digital Detox Summer juga ngasih dampak besar ke cara orang membangun personal style.

Beberapa dampak yang lagi keliatan di 2025:

  • Vintage comeback: thrift shop, flea market, dan koleksi baju lama jadi makin hype.
  • Slow fashion mindset: orang lebih pilih barang tahan lama dan punya cerita, daripada fast fashion yang serba instan.
  • Fashion anti-algoritma: tren yang nggak ditentukan likes, tapi eksperimen personal.

Hasilnya? Gaya tiap orang jadi makin beda-beda, penuh cerita, dan jauh dari keseragaman online.

Saatnya Rehat dari Scroll, Hidupkan Kreativitas yang Nyata!

Digital Detox Summer nunjukin kalau inspirasi gaya bisa lebih kaya kalau kita berani lepas sebentar dari dunia maya. Bukan berarti harus ninggalin internet selamanya, tapi coba kasih ruang buat kreativitas yang nggak dikurasi algoritma.

Jadi, gimana kalau musim panas ini kamu coba challenge diri sendiri? Taruh HP sebentar, ambil kamera analog, atau bikin moodboard dari majalah lama. Siapa tahu, gaya personalmu bakal nemu warna baru yang lebih otentik dan bikin kamu merasa lebih “hidup”.

Yuk, mulai bikin ruang buat offline creativity kamu! Karena kadang, gaya terbaik justru lahir dari momen tanpa sinyal.




Screen Addiction & Digital Detox: Obat Stres di Era Gadget 24/7

Digital Detox

Prolite – Screen Addiction & Digital Detox: Obat Stres di Era Gadget 24/7 – Gadget Bikin Candu, Pikiran Jadi Kacau?

Pernah nggak sih, kamu cuma mau buka HP sebentar, eh tahu-tahu sudah scroll TikTok satu jam? Atau kamu susah tidur karena otak masih aktif nginget chat, email, dan notifikasi IG? Kalau iya, kamu mungkin lagi kena yang namanya screen addiction—alias kecanduan layar.

Di era serba digital kayak sekarang, hampir semua hal kita lakukan lewat layar: kerja, belajar, hiburan, bahkan ngobrol sama teman. Tapi sadarkah kamu bahwa terlalu lama menatap layar bisa bikin kesehatan mental kamu merosot? Yup, dari insomnia, kecemasan, sampai turunnya rasa percaya diri bisa jadi dampak nyata.

Kabar baiknya, ada yang namanya digital detox—cara simpel dan sehat buat mengurangi paparan layar. Yuk, kita bahas bareng kenapa kamu perlu lebih mindful soal screen time dan gimana cara mulai detox digital tanpa drama!

Kenapa Screen Addiction Itu Bahaya?

Digital Detox

Nggak semua penggunaan layar itu buruk, tapi ketika sudah berlebihan dan nggak terkendali, efeknya bisa cukup menyeramkan. Berikut beberapa dampak psikologis dari screen overuse:

1. Kecemasan dan Overthinking

Kamu sering merasa cemas setelah main media sosial? Itu bisa jadi karena otak kamu dibombardir info terus-menerus. Algoritma media sosial dirancang untuk bikin kita terus stay online—dan ini bisa bikin otak kelelahan.

Menurut laporan dari Journal of Psychological Health edisi Juni 2025, orang yang menggunakan layar lebih dari 7 jam sehari punya risiko 40% lebih tinggi mengalami gejala anxiety ringan hingga sedang.

2. Insomnia dan Kualitas Tidur yang Menurun

Cahaya biru (blue light) dari layar gadget menghambat produksi melatonin, hormon yang bikin kita ngantuk. Akibatnya, walaupun kamu udah capek, tubuh kamu masih ‘on’. Hasilnya? Susah tidur, tidur nggak nyenyak, dan bangun masih lelah.

3. Turunnya Self-Esteem

Scroll medsos bisa bikin kita tanpa sadar membandingkan hidup kita dengan orang lain. Padahal yang ditampilkan di feed itu cuma highlight terbaik mereka. Akibatnya, kita jadi merasa kurang, nggak cukup keren, dan nggak bahagia.

Waktunya Digital Detox: Cara Simpel Biar Pikiran Lega

Digital detox bukan berarti kamu harus buang HP atau pindah ke gua. Tapi lebih ke membuat batasan sehat antara kamu dan dunia digital. Yuk, intip strategi praktis yang bisa kamu coba dari sekarang:

1. Sedekah Waktu Tanpa Layar (Meal-Time Free-Phone)

Mulai dari hal kecil: waktu makan tanpa gadget. Simpan HP saat sarapan, makan siang, dan makan malam. Selain bikin kamu lebih mindful soal makanan, kamu juga bisa ngobrol lebih intens sama keluarga atau teman.

Coba rutinkan minimal 3 kali sehari. Menurut riset dari Universitas Padova (2025), orang yang melakukan “screen-free meals” selama 2 minggu mengalami penurunan stres harian hingga 25%.

2. Rutinitas Sebelum Tidur Tanpa Layar (Screen-Free Bedtime Routine)

Coba stop pakai layar 1 jam sebelum tidur. Ganti dengan aktivitas yang menenangkan kayak:

  • Baca buku fisik
  • Stretching ringan
  • Meditasi singkat atau journaling
  • Minum teh herbal

Rutinitas ini bisa bantu tubuh dan pikiran masuk ke mode rileks, jadi kualitas tidurmu juga lebih baik.

3. Hentikan Kebiasaan Scrolling Tanpa Tujuan

Scroll medsos karena bosan? Solusinya: ganti dengan kegiatan alternatif yang tetap menyenangkan. Misalnya:

  • Dengerin podcast menarik
  • Jalan kaki keliling komplek
  • Ngegambar, nyanyi, atau masak

Awalnya mungkin susah, tapi lama-lama otak kamu akan berterima kasih karena dapat istirahat dari info yang berlebihan.

Manfaat Digital Detox: Mood Naik, Stres Turun

Banyak penelitian menunjukkan bahwa digital detox punya efek positif nyata:

  • Menurunkan kadar kortisol (hormon stres)
  • Meningkatkan konsentrasi dan produktivitas
  • Membantu regulasi emosi, jadi nggak gampang marah atau gelisah
  • Meningkatkan hubungan sosial karena kamu lebih hadir saat bersama orang lain

Bahkan menurut laporan dari Global Mental Health Survey edisi Juli 2025, orang yang melakukan digital detox minimal 3 hari seminggu mengalami peningkatan mood hingga 35%.

Yuk, Rehat Sejenak Demi Pikiran yang Sehat

Sobat digital, layar itu nggak jahat. Tapi kalau kita nggak tahu batasnya, bisa-bisa malah jadi racun buat pikiran. Coba deh mulai dari langkah kecil: satu jam bebas layar, makan tanpa scrolling, atau tidur tanpa drama notifikasi.

Digital detox bukan cuma tren, tapi kebutuhan. Demi mental yang sehat, fokus yang tajam, dan hati yang tenang. Yuk, mulai hari ini kita belajar lebih mindful soal screen time. Dan kalau kamu punya tips sendiri soal ngurangin kecanduan gadget, share dong di kolom komentar!

Let’s unplug to recharge! 💡📴🧠