Lack of Self-Love: Capek Gak Sih, Kalau Bahagiamu Selalu Bergantung Pada Orang Lain?

lack of self-love

Prolite – Lack of Self-Love: Capek Gak Sih? Kalau Bahagiamu Selalu Tergantung Orang Lain

Pernah nggak sih kamu merasa bahagia banget hanya kalau ada orang yang memuji atau memberi perhatian? Atau merasa dunia runtuh ketika orang yang kamu sayang nggak merespons seperti yang kamu harapkan? Kalau iya, bisa jadi kamu sedang terjebak dalam jebakan lack of self-love.

Di era sosial media yang penuh validasi instan ini, makin banyak orang yang tanpa sadar menggantungkan kebahagiaan pada sumber eksternal. Padahal, kalau kita nggak punya pondasi cinta dan penghargaan terhadap diri sendiri, kebahagiaan kita bisa goyah kapan saja.

Apa Itu Lack of Self-Love dan Hubungannya dengan Kebahagiaan Eksternal

Lack of self-love adalah kondisi di mana seseorang kurang menghargai, menerima, dan menyayangi dirinya apa adanya. Akibatnya, standar kebahagiaan mereka jadi bergantung pada orang lain—entah itu pasangan, teman, atau bahkan followers di media sosial.

Menurut penelitian terbaru (APA, 2025), individu dengan lack of self-love cenderung lebih rentan merasa cemas, stres, dan kehilangan makna hidup ketika tidak mendapatkan pengakuan eksternal.

Ketika Kebahagiaan Terlalu Bergantung pada Orang Lain

Teori psikologi yang relevan banget di sini adalah Self-Determination Theory (SDT). Menurut SDT, ada tiga kebutuhan psikologis dasar manusia: autonomy (rasa memiliki kendali atas hidup sendiri), competence (merasa mampu), dan relatedness (terhubung dengan orang lain).

Nah, kalau kebahagiaan kita 100% tergantung pada orang lain, kebutuhan akan autonomy bisa terganggu. Akhirnya, kita merasa hidup ini bukan milik kita, melainkan milik orang yang kita “andalkan” untuk bahagia.

Daftar Tanda-Tanda Umum Kekurangan Self-Love

Kalau kamu ingin tahu apakah kebahagiaanmu terlalu bergantung pada orang lain, coba cek tanda-tanda berikut:

  • Mood berubah-ubah sesuai perlakuan orang lain: Misalnya, kamu ceria kalau pasangan perhatian, tapi langsung murung kalau mereka sibuk.
  • Butuh persetujuan terus-menerus: Kamu nggak bisa memutuskan beli baju atau ambil pekerjaan tanpa konfirmasi orang lain dulu.
  • Takut ditinggalkan: Rela mengorbankan kenyamanan dan prinsip diri demi mempertahankan hubungan.
  • Sulit bilang “tidak”: Bahkan kalau diminta tolong di saat sedang lelah atau sibuk.
  • Merasa identitas diri kabur: Nggak tahu lagi apa yang benar-benar kamu suka atau mau karena terlalu sering mengikuti keinginan orang lain.
  • Mencari validasi di media sosial: Merasa nilai diri meningkat kalau postinganmu dapat banyak likes.

Dampak Psikologis Jangka Panjang

Kekurangan self-love bisa bikin kamu:

  • Cemas berlebihan: Karena hidup rasanya penuh ketidakpastian.
  • Kehilangan jati diri: Sulit mengenali apa yang benar-benar kamu mau.
  • Rentan manipulasi: Mudah diatur atau dimanfaatkan orang lain.
  • Kualitas hidup menurun: Karena kebahagiaan jadi fluktuatif, tergantung orang lain.

Data WHO (Agustus 2025) menunjukkan bahwa orang dengan harga diri rendah memiliki risiko 35% lebih tinggi mengalami depresi jangka panjang.

Membangun Kebahagiaan Internal & Batasan Sehat

Two scenes showing woman holding mirrors in nature amongst tropical plants , one a Caucasian lady and the other Black, colored vector illustration

Kabar baiknya, self-love bisa dilatih. Beberapa langkah yang bisa dicoba:

  • Kenali dan hargai diri sendiri: Catat pencapaian kecil setiap hari.
  • Praktikkan boundaries: Katakan “tidak” ketika sesuatu melanggar nilai atau kapasitasmu.
  • Kurangi ketergantungan digital: Jangan biarkan likes di Instagram jadi patokan nilai diri.
  • Latih self-compassion: Bersikap lembut pada diri sendiri saat gagal.

Psikolog klinis Dr. Emily Roberts (2025) menekankan bahwa membangun self-love adalah proses seumur hidup, dan setiap langkah kecil menuju penerimaan diri punya dampak besar pada kesejahteraan.

Saatnya Berhenti Menyerahkan Kunci Bahagiamu!

Kebahagiaan yang kokoh datang dari dalam diri. Kalau kamu terus menggantungkan senyum di wajahmu pada orang lain, kamu ibarat menitipkan kunci rumah ke orang asing—suatu saat bisa hilang atau rusak.

Mulailah merawat self-love hari ini, perlahan tapi konsisten. Karena pada akhirnya, orang yang paling bertanggung jawab atas kebahagiaanmu adalah dirimu sendiri.




‘Aku Cuma Jadi Diri Sendiri’, Tapi Kenapa Dunia Seolah Menolak?

Jadi Diri Sendiri

Prolite – Jadi Diri Sendiri Kok Dibilang Egois? Saat Jujur Sama Diri Malah Dianggap Musuh

Pernah gak sih kamu cuma pengen jadi diri sendiri, tapi malah dikatain keras kepala? Pengen jujur sama perasaanmu sendiri, tapi malah dibilang nyakitin orang lain? Atau kamu pernah bilang “nggak” karena lagi capek, eh malah dicap egois?

Kadang, menjadi diri sendiri bukan cuma soal keberanian—tapi juga soal menghadapi perang tak terlihat: perang batin antara menyenangkan orang lain atau menyelamatkan diri sendiri.

Artikel ini dibuat buat kamu yang sering disalahpahami saat memilih jujur sama diri sendiri. Kita bakal bahas kenapa hal itu bisa terjadi, gimana cara tetap asertif tanpa harus bikin orang lain tersinggung, dan gimana menentukan batas yang sehat dalam hubungan apa pun.

Kenapa Jujur Sama Diri Sendiri Sering Dianggap Pemberontakan?

Di masyarakat kita, “baik” itu sering dikaitkan dengan penurut. Jadi saat seseorang mulai berkata “aku gak nyaman”, “aku gak mau”, atau “aku gak sanggup”, itu sering dianggap kayak melawan.

Padahal, jujur sama diri sendiri bukan bentuk pemberontakan—itu bentuk self-respect.

Tapi, kenapa bisa disalahpahami?

  • Karena banyak orang terbiasa hidup dalam budaya “mengalah itu mulia”.

  • Karena ketika kamu mulai menetapkan batas, orang yang biasa diuntungkan dari ketidakjelasanmu akan merasa “kehilangan kendali”.

  • Karena mereka belum tentu ngerti bahwa menyayangi diri sendiri itu bukan berarti menyakiti orang lain.

Jadi ya, bukan kamu yang salah. Tapi cara pandang orang di sekitar aja yang belum semua bisa paham.

Kenyamanan Orang Lain vs. Kebutuhan Diri Sendiri: Haruskah Kita Memilih?

Ini bagian paling tricky. Kadang kita dihadapkan pada dua pilihan yang bikin galau:

  • Menuruti keinginan orang lain biar hubungan tetap baik.

  • Menuruti isi hati sendiri biar gak ngerasa ngorbanin diri.

Tapi… kenapa harus memilih salah satu?

Jawabannya: nggak harus milih salah satu kok. Tapi kamu perlu tahu prioritas.

Menjaga hubungan itu penting. Tapi menjaga diri sendiri itu juga penting. Kamu gak bisa terus-menerus mengorbankan dirimu hanya demi kenyamanan orang lain.

Karena percaya deh, ujung-ujungnya kamu yang bakal kelelahan, merasa gak dihargai, dan pelan-pelan kehilangan jati diri.

Ingat: self-love bukan bentuk pengkhianatan terhadap orang lain. Itu bentuk perlindungan untuk dirimu sendiri.

Batas Sehat Itu Perlu—Bukan Bukti Kamu Jahat

Sering banget nih, orang yang mulai pasang batas malah dikira “dingin” atau “udah beda”.

Padahal, batas sehat itu justru cara kita menjaga hubungan tetap sehat dan saling menghargai.

Contoh batas sehat dalam hubungan:

  • Kamu boleh bilang “aku gak bisa ngobrol sekarang, aku butuh waktu sendiri.”

  • Kamu boleh nolak ajakan kalau kamu sedang gak sanggup.

  • Kamu boleh gak setuju tanpa harus merasa bersalah.

Batas sehat itu bukan tembok buat menjauhkan orang lain. Tapi jaring pengaman supaya kamu gak jatuh dalam pola relasi yang gak seimbang.

Kalau hubungan itu sehat, batasan akan dihargai. Tapi kalau hubungan itu manipulatif, batasan akan dianggap ancaman.

Cara Menyampaikan Ketidaksesuaian Secara Asertif 

Nah, ini dia yang sering jadi PR besar: gimana cara bilang “aku gak setuju” atau “aku gak nyaman” tapi tetep sopan dan gak nyakitin?

Kuncinya adalah komunikasi asertif. Bukan agresif. Bukan juga pasif.

Asertif itu artinya kamu menyampaikan kebutuhanmu secara jelas, jujur, dan penuh rasa hormat—baik untuk dirimu sendiri maupun lawan bicaramu.

Tips komunikasi asertif:

  1. Mulai dengan “aku” bukan “kamu”
    Contoh: “Aku merasa lelah dan butuh waktu sendiri” lebih baik daripada “Kamu gak peka sih!”

  2. Jelaskan tanpa menyudutkan
    Misal: “Aku senang ngobrol sama kamu, tapi akhir-akhir ini aku ngerasa butuh ruang buat istirahat juga.”

  3. Fokus pada solusi, bukan menyalahkan
    “Gimana kalau kita cari waktu ngobrol yang sama-sama nyaman?”

Dengan cara ini, kamu bisa menyuarakan isi hati tanpa menutup ruang untuk orang lain. Inilah seni menjaga koneksi tanpa mengorbankan integritas pribadi.

Menjadi Diri Sendiri Memang Gak Selalu Mudah, Tapi Layak Diperjuangkan

Yes, kadang jadi diri sendiri itu bikin kamu disalahpahami. Kadang kamu akan dikira berubah, dingin, egois, atau keras kepala. Tapi satu hal yang perlu kamu ingat:

Lebih baik kehilangan orang yang gak bisa menerima dirimu apa adanya, daripada kehilangan dirimu sendiri demi orang lain.

Perjalanan untuk jadi diri sendiri itu mungkin gak instan. Tapi setiap langkah kecilmu menuju kejujuran, kejelasan, dan keberanian untuk bersuara—itu adalah langkah besar untuk hidup yang lebih damai.

Kalau kamu sering ngerasa “kok aku kayak jahat ya cuma karena nolak sesuatu yang gak aku mau?”, tenang… kamu gak sendirian. Banyak yang lagi berjuang di jalur yang sama. Yuk saling dukung, saling belajar, dan saling mengingatkan: jadi diri sendiri itu bukan egois, tapi jujur.

Kalau kamu merasa artikel ini relate dan bisa bantu orang lain yang lagi merasa bersalah karena memilih dirinya sendiri, yuk share ke mereka. Karena bisa jadi, ini adalah pengingat yang mereka butuhkan hari ini. 💬💛




Terjebak Ekspektasi Orang Lain? Waktunya Jadi Dirimu Sendiri, Bukan Pemeran Figuran di Hidup Orang

Prolite – Terjebak Ekspektasi Orang Lain? Waktunya Jadi Dirimu Sendiri, Bukan Pemeran Figuran di Hidup Orang

Pernah gak sih kamu ngerasa kayak… hidup ini kok kayak sandiwara? Pagi-pagi udah pasang senyum, padahal hati lagi berantakan. Jadi anak baik di rumah, jadi si paling sabar di kantor, jadi teman paling pengertian di tongkrongan. Semua peran itu kamu mainkan, meskipun itu bukan diri kamu yang sebenarnya.

Kalau iya, bisa jadi kamu lagi tersesat dalam peran yang gak kamu pilih, tapi kamu jalani demi memenuhi ekspektasi orang lain. Ekspektasi orang lain itu kayak jerat halus. Gak kelihatan, tapi lama-lama bisa bikin kamu sesak napas, kehilangan arah, bahkan lupa rasanya jadi diri sendiri.

Nah, di artikel ini kita bakal bahas kenapa hal ini bisa terjadi, apa tandanya, dan gimana cara pelan-pelan keluar dari jebakan yang gak kelihatan ini.

Menjadi Manusia: Saat Dunia Lebih Suka Versi Kita yang “Disesuaikan”

Pernah gak kamu dengar kalimat ini:

“Udah, jadi diri sendiri aja.”

Tapi pas kamu beneran jadi diri sendiri, dunia malah bilang:

“Kok kamu jadi berubah gitu sih? Lebih enak kamu yang dulu.”

Nah loh. Kenyataannya, banyak orang yang bukan benar-benar pengen kamu jadi dirimu sendiri, tapi pengen kamu jadi versi dirimu yang nyaman untuk mereka. Versi yang sopan, gak bikin ribet, gak beda pendapat, dan gak terlalu banyak protes.

Itu kenapa, tanpa sadar, kita sering banget berusaha keras menyesuaikan diri. Kita belajar jadi anak yang nurut, teman yang asyik, pasangan yang gak nuntut, atau rekan kerja yang gak pernah bilang “nggak”.

Topeng Sosial: Peran yang Kita Mainkan Demi Diterima

Fenomena ini disebut juga dengan “topeng sosial”. Kita pakai topeng-topeng ini supaya bisa diterima, supaya gak disalahpahami, supaya gak ditolak.

Contoh peran yang sering banget kita mainkan untuk memenuhi ekspektasi orang-orang itu kayak gini:

  • Jadi anak baik yang gak pernah melawan.

  • Jadi teman lucu yang selalu bikin semua orang ketawa, padahal hatinya lagi hancur.

  • Karyawan teladan yang gak pernah marah dan selalu lembur.

Semua peran itu mungkin gak kita pilih, tapi kita mainkan. Kita cuma berakting karena takut… takut gak disukai, takut ditinggal, takut dianggap gagal, atau bahkan takut dibilang “gak tahu diri”.

Risiko Jangka Panjang: Saat Kita Kehilangan Diri Sendiri

Kalau terus-terusan menjalani hidup sesuai ekspektasi orang lain, ada dampaknya loh. Dan sayangnya, dampaknya gak main-main:

  1. Merasa “I’m not good enough”
    Karena kamu selalu mengejar standar orang lain, kamu akan terus merasa kurang. Kurang baik, kurang pintar, kurang sukses, kurang… segalanya.

  2. Burnout Emosional
    Capek bukan karena kerjaannya berat, tapi karena harus berpura-pura terus-terusan. Dan pura-pura itu lebih melelahkan daripada jujur.

  3. Kehilangan Arah Hidup
    Kamu mulai ngerasa kayak hidup ini cuma rutinitas kosong. Jalan, tapi gak tahu mau ke mana.

  4. Kehilangan Diri Sendiri
    Ini yang paling menyedihkan: kamu lupa gimana rasanya jadi kamu. Kamu bahkan bingung siapa kamu sebenernya, karena udah terlalu lama jadi “orang lain”.

Tanda-Tanda Kamu Hidup untuk Orang Lain, Bukan Diri Sendiri

Gimana sih tahu kalau kita udah terlalu jauh hidup untuk ekspektasi orang lain?

Ini dia beberapa tanda yang sering muncul:

  • Kamu sering banget bilang “iya” walaupun hati kecilmu pengen bilang “nggak”.

  • Kamu lebih mikirin pendapat orang tentang kamu, daripada pendapatmu sendiri tentang dirimu.

  • Kamu ngerasa bersalah setiap kali memprioritaskan dirimu sendiri.

  • Kamu bingung sebenernya kamu suka apa, pengen apa, dan siapa diri kamu di luar semua peran yang kamu jalani.

  • Kamu sering capek secara emosional tanpa tahu kenapa.

  • Kamu sering bilang “gak apa-apa” padahal sebenarnya… ya apa-apa!

Kalau beberapa poin itu relate, tenang. Kamu gak sendiri, dan kamu gak salah. Ini adalah hal yang banyak banget orang alami, bahkan tanpa sadar, dan semunya bisa kamu ubah kalau kamu mau!

Strategi Melepaskan Topeng: Gak Harus Melawan Dunia, Tapi Mulai dari Diri Sendiri

Kamu gak perlu langsung berubah total atau rebel besar-besaran. Prosesnya bisa pelan-pelan, asal konsisten. Ini beberapa langkah awal yang bisa kamu coba:

1. Sadari dan Akui Topengmu

Tuliskan: peran apa yang selama ini kamu mainkan? Apakah kamu benar-benar menginginkannya, atau cuma menjalaninya karena “harus”?

2. Mulai Jujur dalam Hal Kecil

Contohnya: menolak ajakan nongkrong saat kamu lelah, atau bilang “nggak” tanpa rasa bersalah. Kejujuran kecil itu perlahan membebaskan.

3. Kenali Apa yang Kamu Suka dan Butuhkan

Coba luangkan waktu buat diri sendiri. Cari tahu lagi: apa yang bikin kamu bahagia, apa yang kamu impikan, apa yang kamu rindukan dari dirimu yang dulu?

4. Temukan Lingkungan yang Menerima Kamu Apa Adanya

Orang yang tepat gak akan maksa kamu jadi versi ideal mereka. Mereka akan pelan-pelan membuatmu nyaman jadi dirimu yang sebenarnya.

5. Latih Diri untuk Melepas Kontrol atas Penilaian Orang

Ini emang gak mudah. Tapi semakin kamu belajar menerima dirimu, semakin kamu gak terlalu peduli sama penilaian yang gak membangun dari luar.

Kamu Berhak Jadi Pemeran Utama di Hidupmu Sendiri

Kamu gak dilahirkan untuk jadi boneka di panggung hidup orang lain. Kamu punya cerita sendiri, warna sendiri, cara hidup sendiri. Dan semua itu valid.

Kamu gak harus selalu jadi “baik” di mata semua orang. Karena bahkan saat kamu jadi dirimu sendiri, orang yang tepat akan tetap tinggal.

Kalau kamu merasa lelah karena harus terus memenuhi ekspektasi orang lain—mungkin ini saatnya kamu mulai bertanya:

“Aku capek bukan karena kerjaan doang, kan? Tapi karena terlalu sering berpura-pura. Kalau aku berhenti jadi orang lain, siapa aku sebenernya?”

Mulailah kenalan lagi sama diri sendiri. Gak usah buru-buru, yang penting kamu jalan. Dan di setiap langkahnya, ingat: kamu berhak bahagia, kamu berhak memilih, dan kamu berhak jadi dirimu sendiri.

Kalau artikel ini terasa relate, yuk bagikan ke temanmu yang juga mungkin lagi capek pakai topeng. Siapa tahu, tulisan ini bisa jadi awal kecil buat mereka juga menemukan kembali dirinya. 🌻