Saatnya Pengelola Zakat Berbenah: Transparansi adalah Kewajiban, Bukan Pilihan

ilustrasi zakat

Prolite – Sebagai amil zakat di salah satu OPZ di Jawa Barat, saya melihat bahwa potensi zakat Indonesia sangat besar, namun belum dikelola secara optimal. Data BAZNAS tahun 2024 menunjukkan potensi zakat mencapai lebih dari Rp327 triliun, tetapi realisasi penghimpunannya baru sekitar Rp41 triliun. Kesenjangan ini bukan sekadar angka melainkan tanda adanya persoalan serius dalam tata kelola zakat. Salah satu isu paling krusial, namun sering diabaikan, adalah masalah transparansi lembaga pengelola zakat.

Artikel ilmiah yang ditulis Qutaiba (2024) menyoroti berbagai kelemahan dalam sistem pelaporan lembaga zakat di Indonesia. Sebagai amil di lapangan, saya merasakan bahwa persoalan tersebut bukan sekadar kajian akademik, tetapi realitas yang kami hadapi setiap hari saat berinteraksi dengan muzakki, mustahik, regulator, hingga masyarakat umum. Transparansi bukan hanya perkara teknis, tetapi isu moral yang menentukan apakah sebuah lembaga zakat dapat tumbuh, dipercaya, dan berkelanjutan.

Krisis Kepercayaan Publik

Di kantor layanan zakat, saya sering mendengar kekhawatiran muzakki. Kalimat seperti, “Saya takut dana saya tidak sampai,” atau “Lebih aman kalau saya berikan langsung,” muncul berulang kali. Ini bukan sekadar keluhan, tetapi cermin dari kondisi sosial kita. Sebagian masyarakat masih meragukan apakah dana zakat benar-benar dikelola dengan amanah dan profesional.

Ketidakpercayaan ini sangat merugikan. Padahal zakat memiliki potensi besar sebagai instrumen pengentasan kemiskinan yang terstruktur. Namun ketika masyarakat lebih memilih menyalurkan zakat secara langsung, zakat menjadi sporadis, individual, dan kehilangan skalabilitasnya. Kekuatan zakat hanya dapat muncul melalui lembaga yang profesional, transparan, dan aktif memberikan informasi. Tanpa kepercayaan publik, potensi zakat sebagai kekuatan ekonomi umat tidak akan pernah benar-benar terwujud.

Pelaporan Tidak Seragam

Salah satu temuan utama artikel Qutaiba adalah ketidakseragaman pelaporan antar lembaga zakat. Hal ini sangat terasa di lapangan. Ada lembaga yang menyediakan laporan keuangan lengkap dan diaudit setiap tahun, ada yang hanya membuat laporan naratif yang sederhana, dan bahkan ada yang tidak menyediakan laporan publik secara konsisten. Perbedaan ini menyulitkan masyarakat menilai profesionalitas lembaga zakat.

Ketidakseragaman ini membuat muzakki kesulitan membandingkan kinerja antar lembaga zakat. Bagaimana masyarakat bisa menilai profesionalitas OPZ jika format dan kualitas laporan berbeda-beda? Hal ini membingungkan publik dan menghambat terciptanya standar tata kelola zakat yang terpercaya dan seragam di tingkat nasional.

Minimnya Laporan Berbasis Dampak Zakat

Zakat tidak hanya berbicara tentang berapa besar dana dihimpun dan disalurkan, tetapi sejauh mana dana tersebut menciptakan perubahan. Sayangnya, banyak OPZ masih menilai kinerjanya sebatas angka nominal, bukan dampak sosial. Pelaporan berbasis dampak (impact reporting) masih sangat terbatas, padahal pemerintah menempatkan dampak penanggulangan kemiskinan sebagai salah satu agenda prioritas nasional.

Sebagai amil, saya melihat langsung bagaimana program pemberdayaan mampu mengubah kehidupan mustahik secara nyata. Namun cerita-cerita perubahan ini sering tidak muncul dalam laporan tahunan. Publik hanya melihat angka penyaluran tanpa mengetahui dampaknya. Padahal muzakki ingin mengetahui, “Apa perubahan yang dihasilkan dari zakat saya?” Ketika laporan tidak menjawab pertanyaan itu, kepercayaan pun menurun. Karena itu, perlu lebih banyak ruang publik seperti expo program agar masyarakat mengetahui dampak zakat secara jelas.

Teknologi Digital Kebutuhan Mendesak yang Belum Terpenuhi OPZ

Di era digital saat ini, publik sudah terbiasa dengan transparansi real-time. Platform keuangan dan fintech dapat menunjukkan transaksi dalam hitungan detik. Namun banyak lembaga zakat masih mengandalkan laporan manual yang diperbarui setahun sekali. Hal ini membuat masyarakat merasa bahwa transparansi OPZ tertinggal jauh dari standar digital yang sudah berkembang di sektor lain.

Tidak jarang muzakki bertanya, “Bisakah zakat saya dilacak seperti resi pengiriman barang?” Sekilas terdengar sederhana, tetapi sebenarnya sangat relevan dengan kebutuhan transparansi saat ini. Teknologi digital memungkinkan sistem pelacakan seperti itu diwujudkan, meski belum banyak diadopsi di sektor zakat. Dashboard pelacakan, integrasi data zakat nasional, hingga teknologi blockchain adalah inovasi yang seharusnya mulai menjadi standar, bukan sekadar wacana.

Tanggung Jawab dan Profesional Amil Zakat

Sebagai amil, saya berada pada posisi yang unik dan penuh tanggung jawab. Kami harus bekerja layaknya manajer keuangan sekaligus pekerja sosial, sambil tetap menjaga nilai-nilai syariah, etika, dan moralitas. Tanggung jawab moral ini sangat besar, karena dana yang kami kelola bukan sekadar uang, tetapi amanah ibadah dari umat.

Ketika transparansi dipertanyakan, beban moral itu semakin berat. Amil ingin menunjukkan profesionalitas lembaganya, namun sistem tata kelola belum sepenuhnya mendukung transparansi yang ideal. Konflik struktural ini harus segera diperbaiki agar amil dapat bekerja dengan tenang, efektif, dan didukung oleh regulasi serta teknologi yang memadai di tingkat OPZ.

Agenda Reformasi Tata Kelola

Dari sudut pandang seorang amil, ada tiga langkah reformasi penting yang perlu dilakukan untuk memulihkan kepercayaan publik dan memperkuat masa depan pengelolaan zakat di Indonesia:

1. Mewujudkan standar pelaporan nasional yang seragam

Laporan keuangan, laporan program, audit syariah, dan pelaporan dampak harus mengikuti standar yang jelas, terstruktur, dan mudah dipahami publik. Standarisasi ini akan memudahkan muzakki membandingkan kinerja antar OPZ secara objektif.

2. Mempercepat digitalisasi transparansi

OPZ perlu mengembangkan dashboard real-time, portal pelacakan dana, dan sistem informasi zakat terpadu. Publik saat ini menginginkan akses cepat dan mudah, bukan hanya laporan tahunan dalam bentuk PDF. Transparansi digital bukan lagi nilai tambah, tetapi kebutuhan dasar.

3. Meningkatkan kompetensi dan profesionalitas amil

Jumlah staf tidak menentukan kualitas layanan zakat. Amil perlu dibekali pelatihan berkelanjutan terkait akuntansi zakat, tata kelola syariah, teknologi informasi, dan komunikasi publik. OPZ bertanggung jawab memastikan kompetensi dan kapabilitas setiap amil agar pengelolaan zakat berjalan profesional dan amanah.

Kepercayaan publik adalah fondasi utama lembaga zakat yang profesional. Sekali hilang, sangat sulit dipulihkan. Kita sudah melihat beberapa contoh lembaga filantropi yang merosot karena masalah transparansi. Namun kabar baiknya, bangsa Indonesia adalah bangsa yang dermawan. Masih ada ruang besar untuk membangun kembali kepercayaan publik melalui keteladanan, transparansi, konsistensi, dan manfaat nyata bagi masyarakat. Sebagai amil, saya percaya bahwa masa depan zakat Indonesia akan jauh lebih cerah jika lembaga pengelolanya berani melakukan perubahan. Transparansi bukan lagi pilihan, tetapi kewajiban syariah. Zakat adalah ibadah, dan setiap ibadah menuntut kejujuran, kejelasan, dan akuntabilitas.

Jika kita berani memperbaiki tata kelola zakat, memodernisasi sistem pelaporan, dan menjaga integritas, maka zakat akan menjadi kekuatan yang mampu memberikan dampak besar bagi pembangunan bangsa. Pada akhirnya, masyarakat akan kembali percaya karena mereka melihat bahwa zakat benar-benar dikelola secara amanah dan profesional. Inilah suara saya sebagai seorang amil suara yang mewakili ribuan amil lain yang setiap hari berupaya menjadikan zakat lebih bermartabat, lebih bermanfaat, dan lebih dipercaya oleh masyarakat dan negara.

 

Penulis :
Dian Mardiana
Mahasiswa Magister Ekonomi S2 IAI SEBI
Konsentrasi Filantropi Islam