2. Penerimaan Dimulai dari Empati, Bukan Penilaian

Stitch bukan karakter yang gampang disukai di awal. Rusuh, brutal, dan gak bisa diatur. Tapi Lilo ngelihat hal yang gak dilihat orang lain—kesepian. Ia gak sekadar memungut Stitch, tapi memeluk kekacauan itu dengan kasih sayang.

Ini jadi pelajaran penting: kita terlalu sering nge-judge orang dari “luarnya”, tanpa tahu perjuangan yang mereka hadapi di dalam. Lewat Lilo, film ini ngajarin kita buat lebih peka dan melihat lebih dalam—bahwa yang tampak “bermasalah” belum tentu tanpa alasan.

3. Luka Batin Gak Selalu Kelihatan, Tapi Harus Dikasih Ruang

Lilo sering dianggap anak aneh oleh lingkungan sekitarnya. Tapi di balik perilakunya, ada duka mendalam karena kehilangan orang tua. Di versi live action ini, aspek kesehatan mental diangkat lebih gamblang. Gimana kehilangan bisa bikin anak menutup diri, berperilaku ‘berbeda’, bahkan menyalahkan diri sendiri.

Film ini ngajarin kita satu hal penting: healing takes time. Dan anak-anak juga butuh dimengerti, bukan dihakimi. Mungkin mereka gak tahu cara minta tolong, tapi pelukan, perhatian, dan kehadiran nyata bisa jadi awal dari pemulihan.

4. Jadi Kakak Itu Berat, Apalagi Saat Harus Jadi Pengganti Orang Tua

Kalau kamu punya kakak perempuan, siap-siap terenyuh. Nani digambarkan sebagai sosok yang berusaha keras membesarkan adiknya—di usia muda, dengan tekanan ekonomi, dan ancaman kehilangan hak asuh.

Perjuangan Nani bukan cuma soal bertahan hidup, tapi soal mencintai tanpa pamrih. Dia gagal, jatuh, dimarahi, tapi gak pernah nyerah. Dan dari karakter Nani, kita bisa belajar: dewasa itu bukan soal umur, tapi soal berani bertanggung jawab walau kita sendiri masih berantakan.

Ananditha Nursyifa
Editor