Lulus Tanpa Skripsi : Bukan Trend Baru Bagi Kelulusan Mahasiswa di Era Modern

Lulus Tanpa Skripsi

Prolite – Ternyata, ada beberapa mahasiswa berhasil lulus tanpa skripsi. Hal ini terjadi bahkan sebelum ada kebijakan dari Menteri Pendidikan yang mengubah tugas akhir perkuliahan tidak harus selalu berbentuk skripsi.

Telah diketahui sebelumnya, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim mengumumkan bahwa skripsi tidak lagi menjadi syarat wajib kelulusan mahasiswa program sarjana di perguruan tinggi.

Lulus Tanpa Skripsi Ternyata Sudah Ada Sebelum Kebijakan Menteri Dikeluarkan

Ilustrasi mahasiswa – Cr. Edward Ricardo

Metode mahasiswa lulus tanpa harus mengerjakan skripsi ternyata sudah ada sejak beberapa tahun yang lalu.

Mereka menggantikan tugas akhir yang sering menjadi beban dengan kegiatan lain seperti review buku, film, atau bahkan pameran karya.

Metode lulus tanpa skripsi ini bukanlah hal baru, bahkan sebelum kebijakan dari Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim diberlakukan.

Ginanjar Saputra, seorang lulusan Sastra Inggris dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Diponegoro (Undip) Semarang angkatan 2010, merupakan contoh nyata dari mahasiswa yang memilih jalur nonskripsi.

Pada tahun kelulusannya pada tahun 2015, Ginanjar memilih opsi tersebut yang memungkinkannya untuk mengambil tiga mata kuliah tambahan dengan total enam SKS.

Meskipun demikian, pilihan ini berarti bahwa ia harus menyelesaikan final projek sebagai pengganti skripsi.

Ginanjar menjelaskan bahwa ketiga mata kuliah tambahan yang harus diambil berkaitan dengan pendidikan keguruan, jurnalistik, dan wirausaha.

Dia kemudian memilih untuk mengerjakan final projek dalam bentuk review buku. Salah satu perbedaan utama antara final projek dan skripsi adalah panjang halaman.

Karya final projeknya memiliki kurang dari 30 halaman, dan yang membedakannya lagi adalah bahwa dalam final projek tidak diperlukan penerapan metodologi yang umumnya ditemukan dalam skripsi, meskipun teori masih tetap digunakan.

Ginanjar, yang kini bekerja sebagai pekerja swasta dan berasal dari Klaten, mengungkapkan bahwa kebijakan prodi tersebut memberikan kemudahan bagi mahasiswa untuk lulus lebih cepat.

Ia memilih jalur nonskripsi karena minatnya pada buku dan memilih untuk mengevaluasi buku dalam bentuk review.

Alasan lainnya adalah karena final projek ini bisa diselesaikan lebih cepat dibandingkan dengan skripsi tradisional.

Ilustrasi mengerjakan proyek akhir – Cr.

Dania Rachma, lulusan Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Diponegoro (Undip) Semarang angkatan 2016, juga memiliki pengalaman serupa.

Perempuan asal Sukoharjo tersebut berhasil lulus tanpa skripsi. Seperti Ginanjar, ia juga diberikan tugas untuk mengerjakan proyek sebagai alternatif dari skripsi konvensional.

Dania menjelaskan bahwa dalam proyek tersebut, mahasiswa diberikan kebebasan untuk menulis tentang berbagai topik seperti pertunjukan, film, lagu, dan hal-hal lain yang terkait dengan sastra Inggris.

Proyek ini memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk mengembangkan kreativitas mereka dalam mengeksplorasi berbagai aspek budaya populer.

Seperti halnya dalam kasus Ginanjar, proyek ini juga memungkinkan Dania untuk menunjukkan pemahamannya tentang sastra Inggris tanpa perlu melibatkan metodologi penelitian seperti dalam skripsi konvensional.

Tujuan Kebijakan Mendikbudristek

Lulus Tanpa Skripsi
Pemaparan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Anwar Makarim di Youtube resminya KEMENDIKBUD RI

Kebijakan ini merupakan bagian dari Merdeka Belajar Episode Ke-26 Tentang Transformasi Standar Nasional dan Akreditasi Pendidikan Tinggi.

Nadiem mengatakan, kebijakan lulus tanpa skripsi ini bertujuan untuk memberikan kebebasan dan otonomi kepada perguruan tinggi untuk menentukan tugas akhir yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik program studinya.

“Skripsi bukanlah satu-satunya cara untuk mengukur kompetensi mahasiswa. Masih banyak metode lain yang bisa digunakan,” kata Nadiem dalam keterangannya.

Nadiem mengatakan, perguruan tinggi tetap bisa menetapkan skripsi sebagai syarat kelulusan jika memang dirasa diperlukan.

Namun, perguruan tinggi juga bisa menetapkan tugas akhir lain yang relevan dengan program studinya, seperti proyek, karya tulis ilmiah, atau pengabdian masyarakat.

Kebijakan lulus tanpa skripsi ini disambut baik oleh berbagai pihak, termasuk mahasiswa. Mereka menilai kebijakan ini akan memberikan keleluasaan kepada mahasiswa untuk memilih tugas akhir yang sesuai dengan minat dan kemampuannya.

Pemaparan terkait perubahan standar kompetensi lulusan

“Skripsi itu cukup berat dan menyita waktu. Dengan adanya kebijakan ini, mahasiswa bisa lebih fokus pada hal-hal yang memang mereka sukai,” kata seorang mahasiswa di Jakarta.

Meskipun demikian, ada juga pihak yang mengkritik kebijakan ini. Mereka menilai skripsi merupakan salah satu cara untuk mengukur kemampuan mahasiswa dalam melakukan penelitian.

“Skripsi itu penting untuk melatih mahasiswa dalam berpikir kritis dan menyelesaikan masalah,” kata seorang dosen di Bandung.

Nadiem mengatakan, perguruan tinggi akan terus berdiskusi dengan berbagai pihak untuk menyempurnakan kebijakan lulus tanpa skripsi ini.