Tren ‘Crashing Out’ di TikTok: Legal Breakdowns atau Ekspresi Emosi Jujur?

Prolite – ‘Crashing Out’ di TikTok: Legal Breakdowns atau Ekspresi Emosi Jujur?
Pernah nggak sih, kamu scroll TikTok dan tiba-tiba nemu video seseorang yang lagi nangis, breakdown, atau curhat berat banget? Tren ini punya istilah: “crashing out.” Fenomena ini lagi marak di kalangan Gen Z—rekaman momen emosional mentah yang diunggah ke publik, tanpa filter, tanpa sensor.
Apa sih sebenarnya makna dari tren ini? Apakah ini bentuk keberanian untuk jujur secara emosional, atau justru kita mulai normalisasi mental breakdown sebagai tontonan? Yuk kita bahas dari sisi psikologi dan budaya digital!
Apa Itu Tren ‘Crashing Out’?
Menurut artikel dari (edisi Juni 2025), “crashing out” menggambarkan momen di mana seseorang mengalami ledakan emosional besar—nangis, teriak, atau menunjukkan ekspresi keputusasaan—dan memilih untuk merekam serta membagikannya ke media sosial.
Fenomena ini dianggap oleh sebagian Gen Z sebagai bentuk validasi emosi, tempat untuk merasa dipahami oleh komunitas virtual yang juga sedang berjuang secara mental.
Contohnya, banyak video dengan caption kayak:
- “This is my third breakdown this week 💔 #crashingout”
- “I just needed someone to hear me. Even strangers.”
Dengan tagar-tagar seperti #crashingout, #mentaltok, atau #emotionaldump, video-video ini sering kali dapat ribuan views dan komentar yang penuh empati.
Sisi Positif: Ada Ruang Aman dan Rasa Dipahami
Tren ini bisa jadi semacam katarsis digital. Nggak semua orang punya akses ke terapi atau support system yang sehat. Jadi, ketika seseorang upload video crashing out, mereka seperti bilang, “Aku nggak sendiri, dan kamu juga nggak sendiri.”
Menurut Psikolog Klinis Dr. Annisa Paramita (2025), ekspresi emosi secara terbuka bisa membantu mengurangi rasa terisolasi. Apalagi saat ada komentar-komentar yang supportif, kayak:
- “Kamu kuat banget. Aku juga pernah di titik itu.”
- “Peluk virtual ya, semoga kamu merasa lebih baik.”
Ini menunjukkan adanya sense of belonging, dan kadang komunitas virtual bisa terasa lebih memahami daripada dunia nyata.
Sisi Negatif: Romantisasi Distress & Ketergantungan Eksternal
Namun, di sisi lain, ada bahaya tersembunyi: glamorisasi distress.
Ketika breakdown emosional terus-menerus ditampilkan dan mendapat engagement besar, tanpa sadar bisa jadi pola yang nggak sehat. Alih-alih mencari solusi nyata, seseorang mungkin jadi tergoda untuk mengulangi perilaku itu demi validasi sosial.
Beberapa risiko lainnya:
- Coping yang tidak sehat: Mengandalkan reaksi online daripada mengelola emosi dari dalam diri.
- Pemicu bagi penonton: Orang lain yang juga struggling bisa malah makin terpicu oleh konten semacam ini.
- Batas privasi kabur: Emosi terdalam kita seharusnya butuh ruang aman, bukan jadi konsumsi publik.
Sosiolog digital dari Universitas Indonesia, Rafi Prasetyo, mengatakan, “Batas antara ekspresi jujur dan eksploitasi diri jadi makin tipis ketika kamera dinyalakan.”
Solusi Sehat: Belajar Regulasi Emosi & Cari Bantuan Profesional
Kalau kamu merasa relate banget sama tren “crashing out,” itu bukan sesuatu yang salah. Tapi penting juga buat belajar cara mengekspresikan emosi tanpa harus tergantung sama validasi online.
Beberapa strategi yang bisa kamu coba:
1. Latih Emotional Regulation
- Coba teknik deep breathing saat mulai overwhelmed.
- Tulis perasaan di jurnal, biar bisa dipahami lebih jernih.
- Coba naming emotions: “Aku marah,” “Aku takut,” “Aku kecewa.” Mengidentifikasi emosi bantu kita lebih sadar dan nggak langsung meledak.
2. Buat Circle Support Offline
- Temui teman-teman yang bisa diajak ngobrol terbuka.
- Ikut komunitas atau support group offline (banyak loh di kota-kota besar!).
3. Pertimbangkan Bantuan Profesional
- Nggak harus nunggu “parah” dulu buat ke psikolog. Sekarang banyak layanan konsultasi online yang affordable dan rahasia terjaga.
- Coba juga climate cafés, healing circles, atau ruang-ruang reflektif komunitas.
Jadi Otentik Itu Perlu, Tapi Jangan Lupa Rawat Diri Sendiri
Jadi, apakah “crashing out” itu buruk? Nggak selalu. Tapi penting buat kita bedakan antara ekspresi jujur dan pengulangan emosi negatif tanpa arah penyembuhan.
Ekspresikan emosi? Yes. Tapi seimbangin juga dengan skill untuk memulihkan diri. Kita butuh lebih dari validasi digital—kita juga butuh dukungan nyata, kasih ke diri sendiri, dan langkah healing yang sehat.
Yuk, jadi generasi yang berani jujur sama emosi, tapi juga cerdas dalam mengelolanya. Kamu bukan sendirian, dan kamu layak dapat pertolongan yang sesungguhnya 💚✨
Kalau kamu pernah merasakan hal kayak gini, yuk share pengalaman kamu (atau tips sehat kamu) di kolom komentar. Siapa tahu, bisa bantu teman yang lagi butuh.








