Kritik Pedas Terhadap Film Horor ‘Primbon’: Benarkah Budaya Jawa Hanya Sebagai Bahan Sensasi?

Prolite – Belakangan ini, film horor Indonesia seperti film horor terbaru ‘Primbon’, sepertinya semakin suka memanfaatkan budaya Jawa untuk cari sensasi dan keuntungan. Hal ini bikin orang khawatir akan penghormatan budaya dan dampaknya ke warisan budaya Jawa.
Ya emang sih, film horor tuh genre yang populer banget di Indonesia. Tiap tahunnya, banyak banget film horor yang rilis dengan tema dan latar belakang yang beragam. Tapi ada masalah yang sering jadi perdebatan, yaitu soal film horor yang kadang-kadang ngerusak citra budaya Jawa.
Penggunaan Stereotip Pada Film Horor Indonesia
Satu masalah utamanya, film horor Indonesia sering menggunakan stereotip dan gambaran yang kurang bener tentang budaya Jawa. Katanya sih, kalo mau bikin film horor yang pasti laku, ya pake aja budaya Jawa.
Misalnya, tokoh hantunyanya pake “asli” Jawa, judulnya dikasih kosakata Jawa, atau ada aktor pake kostum dukun Jawa. Terus kadang bikin adegan artis kesurupan, yang ngomong-ngomong pake mantra bahasa Jawa.
Eh, jangan lupa juga soundtrack-nya pake tembang Jawa. Padahal liriknya tentang cinta, tapi nggak pada tau artinya, jadi kesannya lagu mistis deh. Terus aksara Jawa juga sering muncul di mantra atau rajah gaib.
Setelah itu, tempatnya disetting di desa dengan nuansa Jawa. Dan pastinya, ada deh kembang, kemenyan, dan dupa ala Jawa sebagai properti yang selalu muncul. Pokoknya ini kayak resep jitu buat bikin film horor Indonesia yang meledak.
Buat kalian yang paham dunia perfilman, pasti udah hapal dan tau rumus-rumus di atas. Mulai dari para filmmaker, aktor, atau aktris, mereka tahu banget, cerita horor + sentuhan budaya Jawa = cuan.
Kalian tinggal ketik di Google aja “film horor Indonesia yang laris”, pasti bakal nemuin unsur Jawa-nya. Apalagi yang terang-terangan menonjolkan nuansa Jawa dari poster filmnya. Contohnya ada “Lampor”, “Lingsir Wengi”, “KKN di Desa Penari”, “Sewu Dino”, “Pesugihan”, “Jailangkung”, dan masih banyak lagi.
Penggunaan stereotip seperti itu sebenernya kurang baik dan malah jadi ngerendahin bahkan ngasih kesan kalau budaya Jawa cuma buat ngebuat adegan jadi lebih serem.
Padahal, budaya Jawa seharusnya dihargai sebagai warisan budaya yang kaya dan kompleks. Ada banyak hal menarik dan makna mendalam di dalamnya, bukan sekadar alat untuk bikin adegan menakutkan.
Perdebatan dan ketidaksetujuan soal masalah ini emang sering banget terjadi. Baik dari pegiat budaya Jawa sampai netizen yang terprovokasi jadi “jawaholic,” suaranya selalu keras dan jelas.
Tapi sayangnya, yang diprotes atau dikritik malah sering cuek aja. Mereka kayak “bodo amat,” karena bagi mereka, yang penting industri film tetap berjalan dan cuan terus mengalir.
Belum Rilis, Film “Primbon” Sudah Menyulut Protes
Isu terbaru yang menyulut protes soal masalah ini adalah film horor Indonesia terbaru berjudul “Primbon” yang bakal keluar tanggal 10 Agustus. Padahal filmnya belum tayang dan jalan ceritanya juga belum diketahui, tapi sepertinya poster ini udah bikin beberapa orang ngerasa tersinggung.
Lho kenapa? Soalnya, di posternya keliatan banget pemakaian atribut kejawaan, kayak kosakata primbon dan pakaian tradisional Jawa. Entah sengaja atau enggak, ini kayak upaya mereka buat bikin film horor pake rumus-rumus yang udah dijelasin sebelumnya.
Jelas dong, ini bikin orang-orang pada protes. Sekarang, teman-teman dari komunitas Jawacana di Jogja lagi sibuk banget, swadaya-swadana, ngadain berbagai acara buat ngangkat citra kejawaan yang sering disalahpahami.
Mereka juga lagi rajin meriset dan menyajikan berbagai hal yang sebelumnya dianggap klenik, syirik, bidah, musyrik, atau mistis, tapi dalam perspektif ilmiah yang bisa dimengerti banyak orang. Tim alumni Sastra Jawa juga lagi ngebedah primbon biar jadi pengetahuan akademik yang berguna. Eh malah dibuat jadi horor lagi.
Padahal, seharusnya kita tahu kalau primbon itu sebenarnya punya makna yang luhur. Itu adalah pengetahuan turun-temurun dari leluhur kita tentang cara menjalani hidup ala budaya Jawa. Mereka lagi berjuang banget supaya primbon bisa jadi alternatif pandangan yang bermanfaat buat mengurai masalah-masalah kehidupan.
Tapi masalahnya, kalau primbon ini diolah oleh industri film horor Indonesia yang lagi superpopuler ini jadi hal yang “seperti dulu lagi,” dengan segala hal mistis, klenik, dan pemahaman bengkok masyarakat tentang kejawaan, maka usaha mereka pun mungkin bakal jadi sia-sia.
Pelestarian Budaya dan Tanggung Jawab Film-maker
Film horor Indonesia seharusnya bisa jadi sarana yang luar biasa buat memperkaya pengetahuan penonton tentang budaya Jawa serta turut serta dalam usaha pelestariannya.
Pembuat film memiliki tanggung jawab besar untuk melakukan riset yang mendalam, bekerjasama dengan ahli budaya, dan menjunjung tinggi integritas budaya yang diambil sebagai inspirasi.
Dalam upaya pelestarian budaya Jawa, film-maker juga bisa mengambil pendekatan edukatif yang lebih bijak. Contohnya, mengangkat kisah-kisah tradisional dengan penuh penghormatan dan ketepatan dalam menggambarkannya.
Dengan cara ini, penonton bisa memahami serta menghargai budaya Jawa tanpa harus terjerumus ke dalam stereotip dan sensasionalisme yang tidak tepat. Melalui film juga, pengetahuan dan apresiasi terhadap budaya Jawa dapat diwariskan dengan lebih baik kepada generasi mendatang.
Penting banget nih bagi pemerintah, industri film, dan masyarakat untuk memberikan penghargaan dan apresiasi ke film-film yang bener-bener menghormati dan melestarikan budaya Jawa.
Kalo film-film yang memberikan pendidikan, inspirasi, dan cinta pada budaya juga didukung dan diapresiasi, pasti nih para pembuat film bakal lebih hati-hati dalam bikin karya mereka.
Jadi, semakin banyak film yang punya nilai positif dan berkontribusi buat pelestarian budaya, semakin banyak juga orang yang sadar dan mengakui usaha mereka.
So, apa pendapat kamu soal film “Primbon” ini dan isu yang ada di dalamnya? Kamu tim pro atau kontra nih? Tolong komen di kolom komentar ya!
Disklaimer: Artikel disadur dari , Author: Paksi Raras Alit.