Ancaman Bullying di Sekolah: 16 Insiden dalam 7 Bulan Terakhir

Bullying di sekolah

JAKARTA, Prolite – Selama rentang waktu Januari hingga Juli 2023, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) telah mencatat 16 kasus bullying di sekolah.

Data ini mengungkapkan bahwa distribusi kasus perundungan mengikuti pola yang beragam di setiap jenjang pendidikan. Terdapat beberapa proporsi kasus bullying yang dapat diidentifikasi, di antaranya:

  • Pada tingkat Sekolah Dasar (SD), terdapat 25% dari total kasus perundungan.
  • Pada tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP), juga tercatat 25% dari kasus perundungan.
  • Di jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA), proporsi kasus perundungan adalah 18,75%.
  • Sementara itu, pada tingkat Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), terdapat juga 18,75% kasus perundungan.
  • Di Madrasah Tsanawiyah (MTs), tercatat 6,25% dari kasus perundungan.
  • Dan pada tingkat pondok pesantren, juga terdapat 6,25% kasus perundungan.

Data ini memberikan gambaran bahwa perundungan masih menjadi permasalahan yang merata dan terjadi di berbagai tingkatan pendidikan.

Pelaku dan Korban Bullying di Sekolah Tak Memandang Usia

Cr. radartasik

Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Heru Purnomo, mengungkapkan bahwa jumlah total korban perundungan di lingkungan satuan pendidikan mencapai 43 orang.

Dari jumlah tersebut, 41 orang atau 95,4 persen merupakan peserta didik, sementara 2 orang atau 4,6 persen merupakan guru.

Lebih lanjut, Heru Purnomo menjelaskan bahwa mayoritas pelaku bullying di sekolah adalah peserta didik, yakni sebanyak 87 orang atau 92,5 persen dari total kasus.

Sisanya, tindakan bullying di sekolah yang dilakukan oleh pendidik sebanyak 5 orang atau 5,3 persen, 1 orang tua peserta didik (1,1 persen), dan 1 Kepala Madrasah (1,1 persen).

Hal ini mengindikasikan bahwa peserta didik menjadi kelompok terbesar yang menjadi korban bullying di sekolah dengan persentase sebesar 95,4 persen.

Serta sebagian besar kasus bullying di sekolah juga dilakukan oleh sesama peserta didik, yaitu sekitar 92,5 persen.

“Dari total 16 kasus perundungan yang terjadi di satuan pendidikan, mayoritas, yakni 87,5 persen, terjadi di satuan pendidikan yang berada di bawah kewenangan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).”

“Sementara itu, hanya 12,5 persen kasus perundungan yang terjadi di satuan pendidikan yang berada di bawah kewenangan Kementerian Agama.”

“Meskipun jumlah kasusnya hanya 2, namun jumlah korban yang terlibat mencapai 16 peserta didik,” demikian yang dijelaskan oleh Heru dalam keterangan resminya pada Jumat, (04/08/2023).

Kasus Bullying Tersebar di Berbagai Wilayah

Cr. Pinterest

Kasus bullying di sekolah tersebar di berbagai wilayah, melibatkan 8 provinsi dan 15 kabupaten/kota. Rinciannya adalah sebagai berikut;

  • Provinsi Jawa Barat (Kabupaten Bogor, Garut, Bandung, Cianjur, Sukabumi, dan Kota Bandung)
  • Provinsi Jawa Timur (Kabupaten Gresik, Pasuruan, dan Banyuwangi)
  • Provinsi Kalimantan Selatan (Kota Banjarmasin)
  • Provinsi Jawa Tengah (Kabupaten Temanggung)
  • Provinsi Bengkulu (Kota Bengkulu dan Kabupaten Rejang Lebong)
  • Provinsi Kalimantan Timur (Kota Samarinda)
  • Provinsi Kalimantan Tengah (Kota Palangkaraya)
  • Provinsi Maluku Utara (Kabupaten Halmahera Selatan).

Heru juga menjelaskan bahwa dari total 16 kasus tersebut, 4 di antaranya terjadi pada bulan Juli 2023, padahal pada saat itu tahun ajaran 2023/2024 baru berjalan satu bulan.

Terdapat 4 Kasus di Bulan Juli 2023

Cr. jawapos

Dalam rentang waktu bulan Juli 2023, terdapat 4 kasus bullying di sekolah yang patut diperhatikan.

Pertama, perundungan terhadap 14 siswa SMP di Kabupaten Cianjur, di mana siswa-siswa tersebut mengalami kekerasan fisik karena terlambat ke sekolah.

Tindakan tersebut termasuk kekerasan fisik seperti menjemur dan menendang, yang dilakukan oleh kakak kelas yang sudah bersekolah di tingkat SMA/SMK.

Heru melanjutkan dengan menjelaskan bahwa salah satu kasus terjadi di sebuah Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) di kota Bengkulu.

Dalam kasus bullying di sekolah ini, seorang siswi yang didiagnosa mengalami autoimun menjadi korban perundungan dari 4 guru dan beberapa teman sekelasnya.

Selanjutnya, kasus lainnya terjadi di sebuah SMA di Samarinda, di mana seorang siswa yang diduga sering melakukan perundungan menjadi korban penusukan oleh siswa yang telah lama menjadi korbannya.

Kasus terakhir yang dijelaskan oleh Heru adalah peristiwa seorang guru yang diserang dengan ketapel oleh orang tua seorang siswa.

Serangan ini menyebabkan cedera berat pada mata sang guru dan akhirnya mengakibatkan kehilangan penglihatan permanen. Kejadian ini terjadi setelah sang guru menendang siswa yang tertangkap merokok di sekolah.

Heru juga memberikan pembaruan terkini terkait kasus tersebut. Kedua belah pihak, yaitu guru dan orang tua siswa, telah saling melaporkan kasus ini kepada kepolisian.

Guru dilaporkan atas dugaan kekerasan terhadap anak, sementara pihak guru yang menjadi korban melaporkan kasus ini sebagai penganiayaan yang mengakibatkan luka berat dan cacat permanen.

Perlu Tindakan Nyata Untuk Menangani Kasus Ini

Cr. perguruanalamjad

Rangkaian kasus-kasus yang disebutkan di atas memberikan sorotan tajam terhadap kompleksitas dan keparahan isu perundungan dalam konteks pendidikan.

Fakta-fakta ini menggarisbawahi pentingnya menghadapi tantangan ini dengan tekad dan tindakan yang nyata.

Karena perundungan tidak hanya mengakibatkan luka fisik, tetapi juga menyebabkan dampak psikologis yang serius bagi korban, termasuk rasa malu, rendah diri, dan bahkan depresi.

Selain itu, kasus bullying di sekolah dapat mengganggu proses belajar-mengajar dan menciptakan lingkungan belajar yang tidak aman dan tidak kondusif bagi semua pihak yang terlibat.

Upaya pencegahan bullying di sekolah harus dimulai dari pembentukan kebijakan dan sistem pendidikan dengan mendorong budaya sekolah yang saling menghormati, memiliki rasa empati, serta menghargai perbedaan.

Selain itu, pentingnya meningkatkan kesadaran dan pengetahuan tentang perundungan di kalangan guru, orang tua, dan siswa.

Program pendidikan tentang pencegahan perundungan harus diintegrasikan dalam kurikulum dan diberikan secara berkelanjutan agar dapat berpengaruh terhadap perilaku dan sikap siswa.

Tidak hanya mengedepankan pendekatan pencegahan, tapi langkah-langkah tegas juga diperlukan dalam menangani kasus perundungan yang telah terjadi.

Oleh karena itu, perlu dilakukan proses investigasi yang adil dan transparan untuk menegakkan keadilan bagi para korban.

Selain itu, penting juga menerapkan sanksi yang tepat dan efektif bagi pelaku perundungan sebagai bentuk tanggung jawab dan konsekuensi atas tindakan mereka.

Sekarang sudah saatnya bagi masyarakat, pemerintah, sekolah, dan pihak terkait lainnya untuk bersatu dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dan inklusif, di mana setiap individu merasa dihormati dan dilindungi.

Hanya dengan kerjasama yang kuat dan komitmen bersama, isu bullying di sekolah dapat dihadapi secara efektif demi menciptakan masa depan yang lebih aman dan berdaya bagi para generasi mendatang.